HARUSKAH MENYETOP IMPOR BERAS ?
HARUSKAH MENYETOP IMPOR BERAS ?
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Kedengarannya keren. Hebat. Pemerintah terekam penuh percaya diri. Tahun 2025 ini, Indonesia tidak akan impor beras. Tekad menyetop impor, tengah dikumandangkan. Selain beras, Pemerintah juga akan menghentikan impor jagung, gula konsumsi dan garam
Pemerintah optimis, keempat bahan pangan strategis ini, sudah dapat dihasilkan oleh para petani di dalam negeri dan cukup untuk mencukupi kebutuhan di dalam negeri.
Terlepas dari apa yang mendasari Pemerintah mengumandangkan pengumuman yang cukup heroik itu, muncul pertanyaan dari banyak komponen masyarakat : haruskah Pemerintah mengumumkan tentang tidak akan impor pangan, khususnya beras ? Bukankah akan lebih nyaman bila Pemerintah diam-diam saja bekerja, sambil menggenjot produksi pangan setinggi-tingginya ?
Pemerintah, memang tidak dilarang untuk menyampaiksn kepentingan politiknya kepada masyarakat. Selain itu, impor beras juga tidak diharamkan, kalau akan kita lakukan, mengingat dalam regulasi yang berlaku sekarang, impor beras merupakan pilihan untuk memperkuat ketersediaan beras nasipnal, sekiranya produksi beras dalam negeri dan Cadangan Beras Pemerintah, betul-betul tidak mencukupi kebutuhan masyarakat.
Mengacu pada keterangan diatas, jika produksi beras betlimpah sehingga mencapai 32 juta ton lebih dan cadangan beras Pemerintah mampu doatas angka 2 juta ton, maka menjadi sangat masuk akal jika Pemerintah mengambil sikap menyetop impor beras. Problem akan muncul, jika produksi beras terganggu karena adanya iklim ekstrim dan cadangan beras jumlahnya tidak sesiai dengan yang tercatat diatas kertas.
Keoptimisan Pemerintah untuk peningkatan produksi beras saat ini dan masa mendatang, tentu pantas untuk diberi acungan jempol. Kabinet Merah Putih menghitung target produlsi beras tahun ini, akan lebih baik ketimbang jumlah produksi tahun lalu. Selain itu, penugasan Pemerintah kepada Petum Bulog untuk menyerap gzbah dan beras sebesar-besarnya akan dapat diraih.
Betul yang disampaikan Presiden Prabowo. Sebagai bangsa pejuang, kita harus optimis, jangan cengeng dalam menghadapi tantangan dan rintangan. Kita harus sungguh-sungguh menghadapi dan mengerjakannya. Baru kalau sudah mentok dan tak berdaya, kita segera mengevaluasinya, sekalian mencari jawab, mengapa kita tidak berhasil mewujudkannya.
Begitu pun dengan tekad untuk menyetop impor beras dan bahan pangan lainnya. Kata kunci keberhasilan kita menyetop impor beras, sekiranya kita mampu menggenjot produksi beras sebanyak-banyaknya, sehingga mampu mencapai swasembada. Tanpa tercapainya produksi beras yang berlimpah, omong kosong kita akan mampu mencukupi kebutuhan beras dalam negeri.
Upaya Penerintah meningkatkan produksi beras setinggi-tingginya menuju swasembada, sepertinya benar-benar digarap oleh Pemerintah. Berbagai kelemahan telah ditangani untuk mencari jalan keluar cerdasnya. Diawali dengan penyediaan bibit/benih padi yang unggul dan genjah, telah diupayakan sedemikian rupa, sehingga petani tidak akan mengalami kelangkaan benih/bibit berkualitas.
Begitu pun dengan masalah pupuk. Dengan ditambahnya jumlah kuota pupuk sebanyak dua kali lipat dari ysng berlaku selama ini, Pemerintah berharap agar keluhan petani tentang kelangkaan pupuk waktu musim tanam tidak bakal terdengar lagi. Penambahan kuota dari 4,7 juta ton menjadi 9,55 juta ton pupuk bersubsidi, para petani aksn lebih nyaman dalam menggarap usahataninya.
Kebijakan deregulasi dan dibirokratisasi terkait penyaluran pupuk bersubsidi pun ditengarai akan semakin memperlancar saluran distribusi pupuk yang lebih efesien dan efektip. Dengan memangkas kelembagaan saluran distribusi pupuk, sehingga tinggal tiga yang tersisa, yakni Kementerian Pertanisn, PT Pupuk Indonesia dan Kios/Distributor/Gapoktan, diharapkan prinsip 6 Tepat aksn dapat dicapai.
Faktor lain yang cukup menentukan keberhasilan peningkatan produksi beras adalah soal irigasi yang dikabarkan, lebih dari 40 % mengalami kerusakan. Sinergitas dan kolaborasi Kementerian Pertanisn, Kementerian PU dan TNI-AD, kini telah dikembangkan. Irigasi yang rusak segera diperbaiki, sehingga memperlancar terciptanya peningkatsn produksi.
Hal lain yang dijadikan titik tekan peningkatan produksi beras adalah kehadiran dan keberadaan para Penyuluh Pertanian lapangan. Adanya kebijakan untuk menambah jumlah Penyuluh Pertanian sekaligus dengan mengembalikan lagi status Penyuluh Pertanian menjadi Aparat Pemerintah Pusat dan tidak lagi menjadi Aparat Daerah, diharapkan akan meningkatkan kinerja mereka dalam melaksanaksn kegiatan Penyuluhan Pertanian.
Pertanyaan kritisnya adalah apa yang dapat kita lakukan seandainya produksi beras tetap terganggu karena adanya sergapsn iklim ekstrim dan cuaca yang tidak berpihak kepada para petani, semisal fenomena El Nino beberapa waktu lalu ? Bila tidak ada impor saat itu, dapat dipastikan kita akan mengalami “darurat beras” yang lrbih gawat.
Di tengah-tengah “darurat beras”, impor beras tampil sebagai dewa penolong kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Bahan renungan kita bersama dari mana bangsa ini akan mendapatkan beras sekitar 4 juta ton beras, jika tidak melslui impor dari negara-negara sahabat yang dikenal sebagai produsen beras dunia.
Akhirnya, penting disampaikan kebijakan menyetop impor beras tshun ini telah bulat ditetapkan Pemerintah. Supaya tidak terkesan menelan ludah sendiri, Pemerintah harus berjuang keras untuk dapat menggenjot produksi beras setinggi-tingginya. Dengan beras berlimpah, kita tidak perlu was-was dengan tekad Pemerintah menyetop impor beras tersebut. Semestinya, memang demikian. Bangsa ini perlu terbebaskan dari impor beras.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).