2 July 2024 09:19
Opini dan Kolom Menulis

“Yang Terhormat”

“YANG TERHORMAT”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Wakil Rakyat atau “Yang Terhormat”, di negeri ini memiliki kelas tersendiri dalam melakoni kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Bukan hanya statusnya yang cukup keren, namun upaya untuk meraihnya, bukanlah hal gampang. Menjadi Wakil Rakyat saat ini, tidak semudah kita membolak-balik telapak tangan seperti anak-anak bermain “hom pim pah”.

Dalam sistem Pemilihan Umum yang langsung dipilih rakyat, para Wakil Rakyat, baik Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) maupun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD I dan II), perlu memiliki “kekuatan” untuk menggapainya. Diluar aturan yang dirancang Partai Politik, dukungan anggaran untuk meraihnya, tentu sangat menentukan.

Sekarang ini, untuk menjadi Wakil Rakyat dibutuhkan dukungan anggaran yang tidak kecil. Selain kita harus inten melakukan pembinaan ke daerah pemilihan yang umumnya tidak gratis, calon Wakil Rakyat pun perlu memiliki kapasitas intelektual yang pantas untuk menyandang atribut selaku Wakil Rakyat. Dibalik itu semua, “garis tangan” seseorang, juga sangat menentukan.

Tidak lama lagi, bangsa ini kembali akan memilih para Wakil Rakyat untuk masa bakti 2024-2029. Hari pencoblosannya akan dilakukan tanggal 14 Pebruari 2024. Artinya, kita tinggal menghitung hari, siapa yang akan dipilih rakyat untuk menjadikan dirinya selaku Wakil Rakyat. Dalam hitungan hari inilah, para calon Wakil Rakyat, harus mampu merebut simpati rakyat.

Status Wakil Rakyat “yang terhormat” ini, rupanya tengah diuji oleh perjalanan waktu. Banyaknya para Wakil Rakyat yang ditangkap Aparat Penegak Hukum (KPK, Kejaksaan dan Kepolisian), membuat emblim “yang terhormat”, kini dimasalahkan banyak pihak. Apakah pantas kita menyebut para Wakil Rakyat dengan sapaan “yang terhormat”, padahal dirinya baru saja ditangkap OTT KPK, karena menerima suap dari pengusaha ?

Bagi seorang Wakil Rakyat, perilaku yang dibutuhkan di negeri ini adalah sikap kejujuran dan keteladanan. Rakyat akan menilai sampai sejauh mana karakter politik Wakil Rakyat dalam menjalankan tugas yang diembannya. Rakyat tentu akan senang, jika para Wakil Rakyat ini mampu menyesuaikan kehidupannya dengan apa yang kini tengah dirasakan masyarakat.

Namun begitu, rakyat pasti akan kecewa berat jika menyaksikan ada Wakil Rakyat yang pongah dengan gaya petantang-petenteng. Rakyat betul-betul sangat membenci Wakilnya di Parlemen, yang arogan atau pamer kemewahan. Rakyat sendiri, butuh sosok Wakil Rakyat, yang dalam penampilannya penuh dengan kesahajaan.

Jujur diakui, dalam suasana kekinian, menjadi Wakil Rakyat membutuhkan biaya yang tidak kecil. Semua anak bangsa pun sudah memaklumi hal tersebut. Catatan kritisnya, sekalipun diketahui untuk jadi Wakil Rakyat butuh biaya besar, ternyata minat untuk menjadi Wakil Rakyat semakin meningkat. Orang lebih suka jadi Wakil Rakyat ketimbang jadi petani padi.

Mengapa orang-orang, khususnya dari mantan keluarga pejabat di negeri ini, terlihat banyak yang ingin mengejar posisi Wakil Rakyat di berbagai tingkat Pemerintahan ? Apakah mereka tertarik oleh penghasilannya yang aduhey besar lengkap dengan fasilitas yang diperoleh nya ? Apakah mereka lebih mengejar status, mengingat kalau dilihat kehidupan sehari-hari, penghasilan sebagai Wakil Rakyat jauh lebih kecil dibanding kekayaan yang dimilikinya ?

Atau ada alasan lain, yang hingga kini sangat sulit diungkap secara terang benderang ? Yang jelas, dengan adanya putera/puteri beberapa mantan Presiden yang berhasrat jadi Wakil Rakyat, status Wakil Rakyat memang cukup terhormat. Belum lagi, jika dikaitkan dengan “tradisi politik” di negara kita, posisi Wakil Rakyat sering jadi inceran mantan Gubernur, Bupati atau Walikota.

Pada jamannya, menjadi Wakil Rakyat ketika dwi-fungsi ABRI diberlakukan di negara kita, kehadiran dan keberadaan Fraksi ABRI di DPR/MPR dapat dijadikan bentuk teladan dari kedisiplinan dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Dari sisi masuk kantor saja, mereka sebelum jam 9 sudah lengkap datang di Fraksinya.

Akibatnya, anggota Fraksi lain di DPR pun, menjadi malu kalau harus datang ke gedung DPR di atas jam 9. Selain itu, kalau Rapat Dengar Pendapat dengan para Menteri, anggota-anggota DPR selalu tepat waktu. Hal ini diteladani oleh para anggota DPR dari Fraksi ABRI. Tidak hanya itu. Contoh menarik lain adalah dalam tata cara berpakaian. Anggota Fraksi ABRI selalu tampil necis dan keren.

Pertanyaannya adalah apakah hal yang seperti ini masih berjalan di Senayan, Jakarta atau di gedung-gedung DPRD I dan DPRD II ? Atau malah sudah berbeda sama sekali. Beberapa kali penulis diundang untuk Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan fraksi yang ada di DPRD Provinsi misalnya, hampir tidak pernah ada yang tepat waktu.

Budaya ngaret, betul-betul melestari dalam kiprah para Wakil Rakyatnya. Mereka seperti yang kesusahan untuk bisa tepat waktu. Bahkan ada kesan, jika mereka harus tepat waktu, seperti yang rugi besar. Dari sinilah muncul candaan “kalau bisa diperlambat, mengapa harus dipercepat”. Anehnya lagi kalau hal ini terjadi, bagi mereka budaya ngaret sudah dianggap sebagai hal yang biasa.

Berharap Pemilihan Legislatif 2024 akan menghasilkan sosok Wakil Rakyat yang lebih berkualitas, sepertinya masih menjadi mimpi disiang bolong. Kalau ingin ada perubahan, kita perlu memilih Wakil Rakyat yang benar-benah paham apa tugas dan tanggungjawab yang diamanatkan kepada dirinya. Semoga sosok Wakil Rakyat yang jadi dambaan rakyat akan segera meramaikan panggung politik kita ke depan.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Munafik

MUHASABAH SHUBUHSelasa, 2 Juli 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUNAFIQ Saudaraku, ketahuilah bahwa sifat munafik adalah sifat yang merusak ahlak manusia,

Read More »

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 30 Juni 2024Awa Koswara, S.PdGuru SDN Cibeunying 2 Majalaya Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *