21 December 2024 11:50
Opini dan Kolom Menulis

TRANSISI PAUD KE SD DAN URGENSI PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI

TRANSISI PAUD KE SD DAN URGENSI PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI

Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Mendikbudristek mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar ke-24 yaitu Transisi PAUD ke SD yang menyenangkan. Tindak lanjut dari kebijakan tersebut antara lain; (1) dihapuskannya tes membaca, menulis, dan berhitung (calistung) sebagai syarat masuk SD. Penghapusan tes calistung sebagai syarat masuk SD sebenarnya sudah diamanatkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Oleh karena itu, kebijakan yang digulirkan Mas Menteri tersebut sebagai bentuk penegasan dan eksekusi implementasi kedua regulasi tersebut.

Alasan dihapusnya tes calistung sebagai syarat masuk SD selain menyalahi aturan juga karena tidak setiap anak yang mendaftar ke SD sebelumnya berkesempatan mengikuti pendidikan di PAUD, sehingga tidak fair kalau dites calistung. SD adalah layanan pendidikan dasar. Oleh karena itu, setiap anak baik yang mengikuti atau belum mengikuti PAUD wajib diterima pada jenjang SD. Dan Calistung memang harusnya dipelajari di SD. Bukan di PAUD.

Adanya tes calistung sebagai syarat masuk SD dinilai sebagai hal yang salah kaprah. Pada jenjang PAUD pun sebenarnya sudah cukup lama terjadi kesalahkaprahan, yaitu peserta didik PAUD sudah diajarkan calistung. Bahkan diajarkan menghafal surat-surat pendek Al-Qur’an, mengenal TIK, dan bahasa Inggris. Kesalahkaprahan tersebut bukannya tidak diketahui dan disadari oleh pengelola PAUD. Mereka tahu dan sadar tapi dilematis. Tidak bisa berbuat banyak karena untuk menuruti harapan, keinginan, atau bahkan tuntutan orang tua agar anaknya sudah bisa calistung sejak PAUD. Jika mereka tidak menuruti keinginan orang tua, mereka khawatir PAUD yang mereka kelola tidak lagi mendapat murid pada tahun berikutnya di tengah ketatnya persaingan lembaga PAUD.

Banyak orang tua yang merasa bangga jika anaknya yang masih belajar di PAUD tetapi sudah menguasai calistung atau kemampuan akademik lainnya. Anaknya tersebut dianggap cerdas, padahal hal tersebut menyalahi konsep pembelajaran di PAUD dan mengorbankan hak anak untuk bermain sesuai dengan usia dan kebutuhan mereka.

Mas Menteri menyampaikan bahwa pada jenjang PAUD, dan SD kelas awal masa transisi dari PAUD, perlu ditanamkan fondasi, yaitu: (1) mengenal nilai agama dan budi pekerti, (2) keterampilan sosial dan bahasa untuk berinteraksi, (3) kematangan emosi untuk kegiatan di luar sekolah, (4) kematangan kognitif untuk melakukan kegiatan belajar seperti kepemilikan dasar literasi dan numerasi, (5) pengembangan keterampilan motorik dan perawatan diri untuk berpartisipasi di lingkungan belajar secara mandiri, dan (6) pemaknaan terhadap belajar yang positif.

Saya kira keenam hal tersebut di atas merupakan hal yang sangat penting ditanamkan kepada anak PAUD dan SD karena usia mereka adalah usia yang sangat strategis dalam pembentukan karakter. Apalagi saat ini sejalan dengan implementasi kurikulum merdeka ada Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang pada intinya peserta didik diarahkan menjadi insan Pancasilais, yaitu insan yang mengetahui, memahami, dan melaksanakan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Di negara seperti Jepang dan Australia, pembentukan karakter menjadi prioritas pada pendidikan level PAUD dan SD. Di Jepang, anak diajarkan kemandirian, kesantunan, kecakapan sosial, dan cinta kebersihan. Di Australia, guru lebih khawatir murid-muridnya tidak mau antre daripada tidak bisa mengerjakan soal matematika.
Dalam konteks pembelajaran, pada jenjang PAUD maupun jenjang SD diperlukan pembelajaran berdiferensiasi, yaitu pembelajaran yang disesuaikan dengan karakter, minat, kebutuhan, dan gaya belajar peserta didik. Setiap anak memerlukan proses yang beragam untuk menguasai sebuah materi. Kemampuan peserta didik SD yang sebelumnya belajar di PAUD dengan tidak belajar di PAUD tentunya akan berbeda. Anak yang sebelum masuk SD belajar dulu di PAUD, akan memiliki kesiapan yang lebih baik untuk belajar dan relatif lebih cepat memahami materi pelajaran dibandingkan dengan anak yang langsung masuk SD tanpa belajar dulu di PAUD.

Berkaitan dengan hal tersebut, Mas Menteri berpesan kepada guru PAUD dan SD untuk mengenali karakter peserta didik dan mengidentifikasi kebutuhan belajarnya supaya mendapatkan layanan pembelajaran yang optimal. Sesuai dengan usia dan perkembangan pola pikirnya, anak PAUD dan SD kelas 1 lebih suka dengan pembelajaran dalam bentuk permainan, belajar melalui benda-benda yang konkret, belajar mulai dari hal yang sederhana, nyanyian, dongeng, media-media bergambar, dan sebagainya.

Calistung merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh peserta didik untuk mempelajari berbagai materi pelajaran. Oleh karena itu, sesuai dengan konsep pembelajaran berdiferensiasi, guru perlu menggunakan beragam strategi, metode, dan media pembelajaran agar peserta didik bisa memahami calistung. Guru perlu telaten dan bersabar dalam mengajarkan calistung karena kemampuan setiap anak beragam serta menyiasati cara yang paling efektif untuk mengajarkan calistung.

Dalam konteks literasi dan numerasi, pembelajaran calistung adalah sebagai fondasi untuk menguatkan literasi dan numerasi. Kembali faktor guru menjadi penentu. Kepiawaian guru menyajikan materi akan sangat menentukan keberhasilan calistung. Guru PAUD dan SD harus piawai bernyanyi, bercerita, mendongeng, membuat media pembelajaran yang sederhana, dan membuat soal dalam bentuk cerita atau gambar.

Anak yang memiliki gaya belajar auditori akan lebih cepat memahami materi melalui media rekaman, memutar audio-video, mendengarkan cerita, atau membaca dengan suara nyaring. Anak yang memiliki gaya belajar visual akan lebih cepat memahami materi melalui benda-benda visual seperti kartu angka, kartu huruf, kartu kata, gambar, komik, benda konkrit, berkunjung ke sebuah lokasi, demonstrasi, dan sebagainya. Sedangkan anak yang memiliki gaya belajar kinestetik akan lebih mudah memahami materi pelajaran melalui praktik, simulasi, dan gerakan tubuh.

Pada saat pembelajaran, guru bisa mencoba menempatkan peserta didik yang memiliki gaya belajar visual pada bangku baris paling depan dengan pertimbangan agar mereka bisa lebih jelas melihat video atau gambar yang ditampilkan oleh guru. Peserta didik yang memiliki gaya belajar auditori ditempatkan pada bangku baris tengah dengan pertimbangan agar bisa mendengar suara guru dengan jelas. Dan peserta didik yang memiliki gaya belajar kinestetik pada bangku baris paling belakang dengan pertimbangan agar tidak mengganggu teman-temannya saat belajar.

Pelaksanaan pembelajaran berdiferensiasi perlu diawali dengan asesmen diagnostik, yaitu asesmen yang bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal, minat, kebutuhan, dan gaya belajar peserta didik. Asesmen diagnostik meliputi asesmen diagnostik kognitif dan asesmen diagnostik non-kognitif. Instrumen asesmen kognitif misalnya pre test, tanya jawab, kuis, atau game. Sedangkan asesmen non-kognitif dilakukan melalui angket, wawancara dengan peserta didik atau orang tua peserta didik, observasi ke tempat tinggal peserta didik, dan studi dokumentasi hasil tes psikologi atau nilai rapor. Data dan informasi yang didapatkan melalui asesmen diagnostik menjadi dasar bagi guru untuk menyusun rencana dan strategi pembelajaran berdiferensiasi.

Manisnya Iman

MUHASABAH FAJAR BAROKAH Sabtu, 21 Desember 2024 Bismillahirahmanirahim Assalamu’alaikum wrm wbrkt Manisnya Iman keluargaku saudaraku sahabatku, yang dimuliakan oleh Allah

Read More »

Keindahan Ilmu dan Ahlak

WASILLAH SHUBUH Jum’at, 20 Desember 2024.. Bismillahiir Rohmaanir Rohiim Assalamu’alaikum wrm wbrkt KEINDAHAN ILMU DAN AKHLAK Saudaraku, Ilmu itu kelihatannya

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *