5 October 2024 20:23
Opini dan Kolom Menulis

STOP KEBIJAKAN TOJAI’AH

STOP KEBIJAKAN TOJAI’AH

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Kata “tojai’ah” alias “patulang tonggong” atau pula bertolak belakang dengan ucapannya atau perilakunya, seringkali muncul dari perilaku seseorang. Itu, munafik namanya. Orang-orang seperti itu, ada di sekitar kita, apa pun profesinya. Selain itu, tojai’ah bisa juga muncul lewat kebijakan yang dilahirkan Pemerintah. Arti nya, ada kebijakan yang tidak konsisten. Di satu sisi mengarapkan A namun di sisi yang lain muncul pula kebijakan yang bertolak belakang dengan A.

Tabrakan antar kebijakan seperti nya tidak terjadi sekira nya Pemerintah mampu melakukan pengkajian dahulu sebelum kebijakan itu diterapkan. Sebut saja soal kebijakan diversifikasi pangan dengan Program Bantuan Pangan Beras. Ke dua kebijakan ini benar-benar tojai’ah. Diversifikasi pangan adalah kebijakan yang menuntut masyarakat untuk mengurangi konsumsi beras untuk digantikan dengan bahan pangan karbohidrat lain; sedangkan Program Bantuan Pangan Beras, memaksa masyrakat untuk makan nasi.

Yang cukup menarik untuk dibincangkan adalah mengapa Pemerintah sampai berani melahirkan kebijakan yang sifat nya tojai’ah ? Apakah tidak terpikir adanya program yang harmonis antara satu kebijakan dengan kebijakan lainnya ? Bukankah akan lebih keren, bila Program Bantuan Pangan yang digelontorkan Pemerintah bagi 22 juta rumah tangga penerima manfaat ini, bukan hanya beras ? Artinya, pangan yang diberikan bisa jagung, umbi-umbian, singkong, sagu dan pangan lokal lain sesuai dengan kearifan lokal masing-masing.

Kebijakan Bantuan Pangan Beras sebesar 10 kg/bulan ini, mengingatkan kejadian sekitar 25 tahun lalu. Saat itu, Pemerintah menggelindingkan Program Beras untuk Rakyat Miskin (RASKIN). Ketika itu, banyak pihak terperanjat, khususnya para pejuang diversifikasi pangan di lapangan. Mereka mempertanyakan, mengapa Pemerintah melahirkan kebijakan yang sifatnya tojai’ah ? Bukankah akan lebih saling mendukung, bila program yang digarap disebut PANGKIN, bukan RASKIN ?

PANGKIN atau Pangan untuk Rakyat Miskin adalah program yang dirancang Pemerintah untuk membantu kehidupan rakyat miskin yang tengah menghadapi kesulitan ekonomi. Mereka diberi kesempatan untuk menebus pangan yang diberikan dengan harga sebesar 50 % dari harga pasar. Masyarakat yang makanan pokoknya beras, ya diberi beras. Mereka yang kesehariannya mengkonsumsi jagung sebagai makanan utamanya, ya diberi jagung. Begitu pun mereka yang menjadikan sagu atau singkong serta pangan lokal lainnya sebagai makanan pokok sehari-harinya.
Pengalaman 25 tahun lalu ini, menarik untuk dicermati, karena menggambarkan terjadinya tabrakan kebijakan antara meragamkan pola makan masyarakat dengan kebijakan memaksa masyarakat untuk tetap mengkonsumsi nasi. Yang sering diingatkan para pejuang diversifikasi pangan adalah mengapa hal yang berlangsung 25 tahun lalu itu, kini diulangi lagi dengan Program Bantuan Pangan Beras. Bedanya, hanya dalam teknis penerimaannya saja. Dulu, beras itu harus ditebus penerima manfaat sebesar 50 % dari harga pasar, tapi program yang sekarang, diberikan secara cuma-cuma alias gratis.

22 juta rumah tangga penerima manfaat Program Bantuan Pangan Beras, bukanlah jumlah yang kecil. Jika satu rumah tangga terdiri dari 4 orang saja, maka ada 88 juta jiwa rakyat yang setiap bulannya perlu diberi beras. Sekiranya program itu digelontorkan selama 12 bulan, maka dibutuhkan beras sejumlah 2,64 juta ton. Angka sebesar ini, tentu saja cukup merepotkan untuk dipenuhi, di saat produksi beras dalam negeri turun, karena kondisi iklim dan cuaca yang tidak bersahabat dengan para petani.

Catatan kritisnya adalah kalau Pemerintah ingin serius menerapkan program diversifikasi pangan dan bukan cuma sekedar jargon politik semata,, mengapa hanya beras yang dijadikan pilihan komoditas pangannya ? Bukankah akan lebih relevan dengan semangat meragamkan pola makan, bila jenis pangan yang diberikan kepada masyarakat, bukan hanya beras. Kita sendiri, tidak tahu dengan pasti, mengapa Pemerintah lagi-lagi memilih beras dan bukan jenis pangan karbohidrat lain ?

Kebiasaan menerapkan kebijakan, program dan kegiatan yang sifatnya tojai’ah, sudah waktunya kita tinggalkan. Stop hal-hal yang melahirkan tabrakan penerapan di lapangan.Terlebih bila kebijakan itu berkaitan dengan hal-hal cukup prinsip dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Ini perlu disikapi, karena bila kita bicara soal beras, sebetulnya hal ini berhubungan dengan nasib hajat hidup orang banyak, yang sekarang ini tengah menghadapi suasana cukup merisaukan. Darurat beras, betul-betul tengah dirasakan.

Darurat beras yang kita alami, diawali dengan turunnya produksi beras secara nasional dengan angka cukup signifikan, mengingat adanya sergapan El Nino. Resikonya, kebutuhan beras di dalam negeri, tidak bisa lagi terpenuhi dari hasil produksi petani padi di dalam negeri. Untuk memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak ini, tidak ada jalan lain, selain membuka kembali kran impor yang selama ini kita tutup rapat. Impor beras kembali dibuka dengan angka cukup fantastis. Pemerintah merencanakan kita akan impor beras untuk 2024 ini sekitar 5,17 juta ton.

Emblim beras sebagai komodotas politis dan strategis, sepertinya perlu untuk diselami dan dibahas lebih lanjut. Banyak pihak mengusulkan sebaiknya beras jangan lagi dijadikan komoditas politis, tapi jadikan beras sebagai komoditas ekonomi biasa. Masalahnya, apakah kalau dijadikan komoditas ekonomi Pemerintah akan memiliki keberdayaan untuk mengendalikannya ? Buktinya, dijadikan sebagai komoditas politik pun, terekam Pemerintah seperti yang kesusahan dalam mengatur dan mengendalikan harga dan pasar. Bangsa ini perlu memiliki politik beras yang lebih jelas dan berkualitas.

Suasana perberasan saat ini, betul-betul membutuhkan penanganan dan pengelolaan yang lebih cerdas dan bernas. Turunnya produksi, melejitnya harga di pasar dan fantastiknya angka impor, semakin menguatkan pandangan tentang darurat beras. Kalau harga beras dikatakan mengalami kenaikan harga ugal-ugalan, maka sah saja, bila ada yang menyebut angka impor beras dikatakan gila-gilaan. Lalu, turunnya produksi beras pun, tidak keliru jika disimpulkan sebagai sesuatu yang memalukan sekaligus memilukan.

Darurat beras yang kita alami sekarang, dalam tempo yang sesingkat-singkatnya butuh jalan keluar terbaiknya. Jangan biarkan situasinya seperti sekarang, tanpa ada upaya nyata untuk merubahnya. Hal ini patut jadi perenungan kita bersama. Sebab, jika kita betul-betul memiliki tata kelola perberasan yang cerdas, bernas dan berkualitas, tidak seharusnya bangsa kita mengalami darurat beras. Kondisi ini terjadi, karena selama ini memang banyak hal yang butuh penataan lebih baik lagi.

Titik lemah utamanya, karena sampai detik ini pun, bangsa kita belum memiliki regulasi tentang Perencanaan Pangan, baik tingkat Nasional atau pun Daerah. Padahal, UU Pangan telah mengamanatkan dengan tegas, dalam Penyelenggaraan Pangan menuju Ketahanan, Kenandirian dan Kedaulatan Pangan yang kokoh, dibutuhkan adanya Perencanaan Pangan yang utuh, holistik dan komprehensif. Pertanyaannya adalah apa sih susahnya merumuskan dan merancang sebuah Perencanaan Pangan ?

Ketahanan, Kemandirian dan Kedaulatan Pangan akan tercapai, sekiranya kita mampu mewujudkan terlebih dahulu Swasembada Pangan.
Tanpa kondisi, dimana suatu daerah mampu memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam kawasannya sendiri, yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi dan budaya, omong kosong kita akan meraih tahan, mandiri dan daulat pangan.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *