4 July 2024 11:51
Opini dan Kolom Menulis

STIGMA ANTRI BERAS

STIGMA ANTRI BERAS

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Stigma adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa inggris, memiliki arti noda atau cacat. Jika diartikan lebih jauh lagi maka stigma adalah sebuah ketidak setujuan masyarakat terhadap sesuatu tindakan atau suatu kondisi yang tercipta di tengah kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, antri beras yang kini sedang berlangsung di beberapa daerah, pada dasarnya merupakan bukti nyata kegagalan dalam tata kelola perberasan.

Bagi sebuah negeri agraris, yang pernah memproklamirkan diri swasembada beras, terjadinya antri beras, betul-betul noda kehidupan. Tidak sepantasnya, ada rakyat yang antri beras. Tidak seharusnya pula kita menghadapi kelangkaan beras. Terlebih ketika Pemerintah memposisikan beras sebagai komoditas politis dan strategis. Atas fenomena ini, wajar dipertanyakan ada apa sesungguhnya dengan situasi dan kondisi perberasan nasional ?

Sebagai komoditas yang menjadikan sumber kehidupan dan penghidupan sebagian besar warga bangsa, beras mestilah mendapat perhatian khusus Pemerintah, terutama yang berkaitan dengan ketersediaan beras. Bangsa ini jangan sampai lengah atau teledor dalam menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju swasembada. Itu sebabnya, upaya peningkatan produksi dan produktivitas, harus selalu menjadi titik kuat dan titik tekan dalam pembangunan pertanian.

Perhitungan ketersediaan beras, tidak boleh lagi hanya diukur untuk pemenuhan konsumsi masyarakat. Namun, penting juga diukur dengan kebutuhan beras untuk cadangan beras Pemerintah dan keperluan lain seperti beras untuk bantuan sosial. Jujur diakui, kalau sekedar untuk mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat, produksi beras tahun 2023 terlihat masih lebih besar jumlahnya dibanding dengan kebuhuhan konsumsi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS), menyatakan produksi beras tahun lalu, kita mampu mencapai 30,90 juta ton. Sedangkan konsumsi masyarakatnya sebesar 30,20 juta ton. Angka ini menyimpulkan, kita masih surplus sebesar 700 ribu ton beras. Pertanyaannya apakah produksi beras yang dihasilkan para petani dalam negeri, hanya untuk memenuhi keperluan konsumsi masyarakat ? Ah, rasanya tidak begitu jawabannya.

Surplus beras 700 ribu ton, tidaklah cukup untuk mengisi cadangan beras Pemerintah yang dibutuhkan. Berdasar perhitungan, kebutuhan stok beras aman berkisar antara 1,2 juta ton hingga 1,5 juta ton. Bahkan Presiden Jokowi mengusulkan agar cadangan beras Pemerintah sebesar 3 juta ton. Untuk cadangan beras saja, ternyata kita masih kurang sekitar 500 ribu ton hingga 800 ribu ton. Belum lagi untuk kebutuhan lain seperti bantuan pangan beras.

Program Bantuan Pangan Beras yang diberikan kepada 22 juta keluarga penerima manfaat sebesar 10 kg per bulan, jelas akan membutuhkan jumlah beras yang tidak sedikit. Kalau program ini akan dilanjutkan selama 12 bulan, kita butuh beras sekitar 2,64 juta ton. Untuk 6 bulan saja kita memerlukan 1,32 juta ton beras. Artinya, sangat tidak mungkin untuk jangka pendek, kita akan memenuhi kebutuhan tersebut dari hasil produksi petani di dalam negeri.

Secara akal sehat, untuk mencukupi keperluan tersebut, solusi jangka pendek adalah membuka kembali kran impor beras. Akibatnya wajar untuk tahun ini, Pemerintah telah menandatangani kontrak impor sebesar 3 juta ton beras. 2 juta ton dari Thailand dan 1 juta ton dari India. Sebagai catatan, untuk memperoleh beras impor saat ini, bukanlah hal mudah untuk ditempuh. Tanpa kerja keras dan kerja cerdas, kita pun cukup sulit untuk memperolehnya.

Hal ini pantas terjadi, karena paska pandemi Covid 19, Badan Pangan Dunia (FAO) sering mewanti-wanti bakal terjadinya krisis pangan global. Bewara ini, tentu saja membuat banyak negara di dunia, termasuk para produsen beras dunia melakukan konsolidasi pembangunan pangan di negara masing-masing. Mereka tampak bersiap diri menjaga memungkinan terburuk yang bakal menimpanya. Produsen beras dunia mulai hati-hati menerapkan kebijakan ekspornya.

Untung saja, Pemerintah masih mampu bernegosiasi dengan beberapa nrgara produsen beras di dunia, sehingga masih memperoleh beras impor. Yang gawat, jika para produsen beras dunia menyetop sama sekali kebijakan ekspor beras mereka. Pertanyaannya, dari mana lagi kita akan memperoleh beras ? Jawaban inilah yang butuh pencermatan kita bersama. Produksi dalam negeri kurang, importasi beras terganggu, lalu dari mana lagi kita akan memberi makan mulut-mulut yang menganga ini ?
Sebagai solusi jangka panjang, terkait dengan pemenuhan beras ini, maka dibutuhkan adanya perencanaan beras yang utuh, holistik dan sistemik. Bangsa ini butuh desain perencanaan sistem perberasan berskala nasional dan daerah. Penanganan dan solusi yang diambil, tidak bisa lagi hanya bersifat sektoral. Tapi, diperlukan pendekatan multi sektor dengan mengutamakan spirit sinergitas dan kolaborasi. Akan lebih terukur, bila dirumuskan pula Roadmap pencapaiannya.

Semangat menggenjot produksi dan produktivitas beras, jangan melupakan penanganan di sisi pasar dan konsumsi. Langkah menciptakan harga gabah dan beras yang wajar, perlu diprioritaskan dalam Tata Kelola Perberasan. Jika dibutuhkan, segera lakukan kaji ulang terhadap harga yang ditetapkan dalam Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET). Apakah HPP dan HET ini masih senafas dengan kondisi kekinian ?

Jangan lupakan program diversifikasi pangan. Penanganan sisi konsumsi, kini mendesak untuk digarap. Lahirkan kebijakan untuk mengerem laju konsumsi beras. Langkanya beras merupakan momen yang baik untuk meragamkan pola makan rakyat agar tidak mengandalkan hanya kepada nasi sebagai pangan pokok karbohidrat. Pangan lokal pengganti nasi, seperti sukun, harut, hanjeli dan lain sebagainya jadikan sebagai solusi memupus ketergantungan terhadap nasi.

Akhirnya penting disampaikan, antri beras bukanlah fenomena kehidupan yang pantas untuk dijadikan kebanggaan bagi masyarakat. Antri beras adalah wujud ketidak-mampuan Pemerintah dalam memenuhi kebutuhan beras masyarakat yang memerlukannya. Walau antri beras janua tetjadi di beberapa tempat, namun secara psikologis, hal ini bisa digoreng untuk berbagai kepentingan. Lebih parah, bila ada yang memainkan nya untuk keperluan politik.

Terjadinya antri beras, betul-betul sebuah tragedi kehidupan yang memilukan sekaligus memalukan. Akan tetapi, kalau mau diambil hikmahnya, maka pengalaman ini dapat dijadikan sebagai momentum untuk menata lagi kebijakan perberasan secara nasional dan daerah. Lebih jauh lagi, hal ini pun dapat dijadikan titik awal pengembangan proses hilirisasi perberasan di negeri ini.

 

(PENULIS. KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Jangan Sembunyikan Ilmumu

WASILLAH SHUBUHKamis, 4 Juli 2024. BismillahirahmanirahimAssallamu’alsikum wr wbrkt JANGAN SEMBUNYIKAN ILMUMU. Saudaraku…Ketika saya menyampaikan postingan tentang agama, itu tidak berarti

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *