2 July 2024 09:04
Opini dan Kolom Menulis

“RW06”

“RW06”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

RW06 atau “rewog” adalah istilah dalam bahasa Sunda yang memiliki makna gembul, makan banyak dan cepat. RWO6 umumnya akan berkaitan dengan perilaku seseorang yang dianggap berbeda dengan kebanyakan orang-orang. Contoh, dalam acara perkawinan sebuah keluarga, kita saksikan ada orang yang bolak balik antri mengambil makanan yang dihidangkan secara parasmanan.

Orang-orang umumnya makan cukup satu kali. Tapi seseorang yang RWO6 bisa 3 atau 4 kali menyantap makanan utamanya. Belum lagi dirinya melahap sate ayam dan lontong sebagai makanan tambahan. Tidak cukup dengan itu, dirinya pun terlihat dengan lahapnya memakan spageti. Sikap yang demikian, dalam kehidupan keseharian sering dikatakan sebagai orang yang RWO6.

Perilaku RW06 inilah yang menjadi penghalang utama, mengapa program mengerem laju konsumsi masyarakat terhadap nasi belum memberi hasil yang memuaskan. Mana mungkin kita akan mampu menekan laju konsumsi jika banyak masyarakat yang setiap makan menghabiskan dua atau tiga piring nasi. Itu sebabnya, program diversifikasi pangan seperti yang jalan ditempat.

Walau program meragamkan pola makan masyarakat telah ditempuh sejak 60 tahun lalu, namun dalam perkembangannya, belum mencapai target yang diharapkan. Ketergantungan masyarakat terhadap nasi, sepertinya sangat susah untuk distop dan digeser dengan bahan pangan karbohidrat non beras. Padahal, seabreg kebijakan dan program penganekaraganan pangan sudah banyak digelindingkan.

Kecanduan masyarakat terhadap nasi, betul-betul susah disembuhkan. Bila sehari saja masyarakat tidak mengkonsumsi nasi, seolah-olah tidak ada kehidupan. Bagi sebagian besar masyarakat, nasi adakah segala-galanya. Nasi inilah yang menjadi penyambung utama nyawa kehidupan. Lebih gawat lagi, ternyata belum semua kebijakan Pemerintah berpihak ke program diversifikasi pangan.

Dalam berbagai kegiatan yang dirancang Pemerintah, terlihat masih ada kebijakan yang bertabrakan dengan hasrat meragankan pola makan rakyat supaya tidak bergantung hanya kepada nasi. Sebagai teladan dapat kita cermati yang berkaitan dengan Program Beras untuk Rakyat Miskin (RASKIN) yang kemudian berganti nama menjadi Program Beras Masyarakat Sejahtera (RASTEA).

Program ini benar-benar tojai’ah dengan semangat meragamkan pola makan masyarakat yang ingin kita wujudkan. Betapa tidak ? Masyarakat yang dalam kehidupan kesehariannya mengkonsumsi jagung, sagu atau umbi-umbian sebagai makanan pokoknya, dengan lahirnya Program Raskin atau Rastra, mereka dipaksa untuk mengkobsumsi nasi sebagai nakanan utananya.

Hal yang sama, dapat kita cermati pula dengan adanya Program Bantuan Langsung Pangan, dengan menjadikan beras sebagai komoditas utamanya. Lagi-lagi dengan hadirnya program bansos pangan ini, masyarakat dipaksa untuk mengkonsumsi nasi. Yang muncul jadi pertanyaan adalah mengapa yang kita berikan kepada para penerima manfaat bukan pangan dalam arti luas dan tidak cuma beras ?

Kalau Pemerintah ingin mempercepat terwujudnya program diversifikasi pangan, mestinya program-program yang berkaitan dengan bantuan langsung atau pun bantuan sosial terkait dengan pangan, jangan lagi ditempuh hanya dengan satu jenis bahan pangan yakni beras. Masih banyak bahan pangan karbohidrat non beras ysng bisa diberikan kepada penerina manfaat.

Namun begitu, Pemerintah sendiri seperti yang kurang respon atas aspirasi yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat, bahkan terkesan mengacuhkannya. Pemerintah seperti enggan menjadikan pangan dalam arti luas untuk dijadikan komoditas dari bantuan yang bakal diberikan kepada penerima manfaat. Kita sendiri, tidak tahu dengan pasti, mengapa Pemerintah tidak berkenan untuk melakukannya.

Tanpa ada ketegasan sikap dari Pemerintah, program diversifikasi pangan tak ubshnya hanya sekedar mdlengkapi kebijakan ketahanan pangan semata. Padahal, kalau kita cermati tanda-tanda jaman yang akan kita jelang di masa datang, maka soal meragamkan pola makan masyarakat, menjadi soal serius yang mutlak ditangani. Kita tidak boleh main-main dalam menyelesaikan diversifikasi pangan.

Adanya El Nino atau iklim ekstrim lain, menuntut kepada kita untuk makin sungguh-sungguh dalam mengelola pangan, khususnya beras di negeri ini. Di ujung tahun 2023, kita dihadapkan pada turunnya produksi beras dengan angka yang cukup signifikan. Produksi petani padi dalam negeri, terbukti tidak mampu memenuhi kebutuhan beras untuk berbagai kepentingan, seperti untuk cadangan dan program bantusn langsung beras.

Atas hal yang seperti ini, sampailah kita pada satu kesimpulan, situasi dan kondisi perberasan saat ini berada dalam suasana yang sedang tidak baik-baik saja. Mengingat beratnya tantangan yang mesti dijawab, solusi yang ditawarkan Pemerintah, agar kura menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju swasembada, merupakan pilihan kebijakan yanf pantas didukung sepenuh hati.

Kembali ke judul tulisan tentang RWO6 dan implikasinya. Sikap masyarakat yang menjadikan beras satu-satunya bahan pangan karbohidrat yang layak dikonsumsi, kini sudah saatnya dicerahkan dengan cara pandang baru. Masyarakat perlu selalu diingatkan, bahan pangan karbohidrat yang bisa dikonsumsi, bukan hanya nasi. Masih banyak bahan pangan non beras, yang tersedia di sekitar kita.

Itu sebabnya, program diversifikasi pangan ke depan, perlu dilengkspi dengan pendekatan non teknis, yang selama ini terlihat kalah pamor oleh kegiatan bersifat teknis. Tantangan berat yang harus kita hadapi adalah bagaimana merubah sikap RWO6 masyarakat ke arah sikap wajar.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Munafik

MUHASABAH SHUBUHSelasa, 2 Juli 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUNAFIQ Saudaraku, ketahuilah bahwa sifat munafik adalah sifat yang merusak ahlak manusia,

Read More »

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 30 Juni 2024Awa Koswara, S.PdGuru SDN Cibeunying 2 Majalaya Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *