7 July 2024 01:07
Opini dan Kolom Menulis

RESIKO ANJLOKNYA PRODUKSI BERAS

RESIKO ANJLOKNYA PRODUKSI BERAS

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Banyak rilis di media sosial yang menggambarkan keterbukaan Pemerintah terkait dengan peluang anjloknya produksi beras. Informasi seperti ini, tentu bukan sebuah berita yang menyenangkan. Sebab, sebagai komoditas politis dan strategis, beras memang harus selalu tersedia dan tidak boleh menghilang dari pasar. Urusan beras menyangkut mati hidupanya suatu bangsa.

Seperti diketahui produksi beras saat ini mulai mengkhawatirkan. Atas dasar Catatan Badan Pangan Nasional (Bapanas) dari hasil Kerangka Sampel Area (KSA) BPS total produksi beras Januari-Juli 2024 sebesar 18,64 juta ton. Angka ini menunjukkan, produksi yang dicapai, lebih rendah 2,47 juta ton, dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.

Menurut Pemerintah, turunnya produksi beras, salah satunya disebabkan fenomena anomali iklim El Nino yang menyebabkan kekeringan ekstrem di Indonesia. Bahkan Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengungkapkan ada potensi kekurangan produksi beras hingga 5 juta ton di tahun ini. Namun begitu, Arief masih belum bisa memastikan, apakah kekurangan itu akan ditutup melalui impor atau tidak.

Mengapa ? Sebab, sekarang saja dari kuota 3,6 juta ton kita masih pelan-pelan menggunakannya. Hingga kini, baru sekitar 2 juta ton. Untuk itu, Pemerintah akan berjuang keras untuk tetap mengusahakan hasil dari produksi petani dalam negeri, karena sayang bila kita ambil dari hasil produksi petani luar negeri. Kalau 3 juta ton saja kita impor, hal itu sudah menyedot anggaran sekitar Rp 30 triliun.

Jujur kita akui, selain adanya El Nino, penyebab anjloknya produksi beras dalam negeri, bisa juga disebabkan oleh kelemahan kita dalam merancang perencanaan pangan, khususnya beras yang tidak disiapkan dengan sungguh-sungguh. Banyak pihak mempersoalkan mengapa Pemerintah seperti yang enggan secepatnya merumuskan regulasi tentang perencanaan pangan, baik Pusat atau Daerah.

Seorang sahabat malah sering mempertanyakan, mengapa Pemerintah selalu menggunalan pendekatan selaku “pemadam kebakaran” dalam menjawab masalah perberasan di negeri ini ? Padahal, bila sejak jauh-jauh hari, kita menerapkan pendekatan “deteksi dini”, besar kemungkinan kita tidak selalu mengalami kebakaran jenggot. Kita tentu akan mampu mengantisipasinya secara lebih baik.

Menghadapi “darurat beras” sekarang, akan lebih keren, bila Pemerintah segera membewarakan kepada segenap warga bangsa, soal dihentikannya pendekatan “pemadam kebakaran” dalam menangani problem perberasan. Ke depan. Pemerintah sebaiknya bertekad kuat untuk selalu menggunakan pendekatan deteksi dini, dalam mensolusikan masalah penanganan perberasan di negeri ini.

Darurat beras, terekam kini tengah mengancam dalam melakoni kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Produksi beras yang turun cukup signifikan, membuat kita kembali mengandalkan impor beras adalah bukti nyata ketidak-berdayaan dalam menyediakan beras dari hasil produksi petani di dalam negeri. Impor pun tampil menjadi kebutuhan mendesak yang harus ditempuh Pemerintah. Menyedihkan sekali !
Turunnya produksi beras, membuat petani semakin sulit untuk merubah nasib dan kehidupan. Jangankan produksi turun, di saat berlimpah pun petani tetap kesulitan meningkatkan penghasilan, karena harga jual gabah anjlok di saat panen. Ini sebetulnya yang harus dihindari. Dengan kewenangan yang digenggamnya, Pemerintah mestinya mampu mengendalikan harga di petani.

Ironisnya, turunnya produksi dan anjloknya harga gabah, malah membuat harga beras di pasar, melejit secara ugal-ugalan. Emak-emak pun protes. Bahkan Presiden Jokowi pum sempat menyampaikan kerisauannya. Di satu pihak, Beliau berhadapan dengan aspirasi petani yang kecewa karena harga gabah anjlok, di lain pihak emak-emak juga protes keras, mengingat harga beras yang meroket.

Harga beras di pasar, benar-benar sulit diatur dan dikendalikan Pemerintah. Kekuatan kalangan dunia usaha susah untuk dilawan lewat kebijakan, program dan kegiatan.Pemerintah. Seabreg langkah Pemerintah seolah-olah tidak mampu menurunkan harga beras yang melejit cukup tinggi. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET) beras, sulit dijalankan.

Dihadapkan pada suasana demikian, tidak salah bila ada pihak-pihak tertentu yang menyebut, kini Indonesia sedang mengalami “darurat beras”. Produksi turun, harga beras melejit dan kebutuhan akan beras semakin membengkak, khususnya untuk keperluan konsumsi masyarakat, cadangan beras Pemerintah dan kebutuhan khusus terkait dengan program bantuan pangan beras.

Sinyal anjloknya produksi beras, kini sudah menyala cukup kuat. Tidak lagi, hanya berkelap-kelip seperti lampu disko. Kondisi ini betul-betul cukup merisaukan. Bagaimana pun beras harus selalu ada dan tersedia dengan cukup. Bangsa ini, jangan sampai kekurangan beras. Pemerintah sendiri, jelas perlu berjuang habis-habisan untuk memberi jaminan kepada masyarakat tentang ketersediaan beras itu sendiri.
Sekali lagi penting dicatat, Pemerintah tidak boleh setengah hati dalam mengelola dunia perberasan di negara kita. Sekali saja kita lalai, bisa jadi ada warga bangsa yang tak mampu lagi menyambung nyawa kehidupan. Itu sebabnya, kepada siapapun pemimpin bangsa yang diamanatkan mengelola negara dan bangsa tercinta, perlu sungguh-sungguh menjaga kehormatan yang diberikan.

Mencermati suasana yang tengah tercipta, produksi beras diprediksi, bakal tidak sesuai dengan yang ditargetkan. Langkah menggenjot produksi setinggi-tingginya, susah terwujud, karena adanya sergapan iklim ekstrim seperti El Nino atau La Nina. Namun begitu, menyerah pada keadaan, bukanlah budaya bangsa. Kita lawan tantangan menuju hasil yang diinginkan.

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 6 Juli 2024Naning Kartini (Guru Ngaji SDN Ciawigede Majalaya) Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *