REFORMASI AGRARIA & AKSES LAHAN UNTUK PETANI
REFORMASI AGRARIA & AKSES LAHAN UNTUK PETANI
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Reformasi agraria adalah suatu proses perubahan yang dilakukan untuk memperbaiki struktur kepemilikan dan penggunaan lahan pertanian, dengan maksud untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan, serta mempromosikan pengembangan pertanian yang berkelanjutan dan adil.
Setidaknya ada 4 tujuan reformasi agraria antara lain: pertama mengurangi ketimpangan yang cukup besar antara pemilik lahan besar dan petani kecil. Kedua, memberikan kesempatan kepada petani kecil untuk memiliki dan mengolah lahan sendiri. Ketiga, meningkatkan produksi pertanian dengan cara yang ramah lingkungan dan berkelanjutan. Dan keempat, .eningkatkan pendapatan dan kualitas hidup petani dan masyarakat pedesaan.
Untuk mewujudkan tujuan diatas, dibutuhkan adanya prinsip-prinsip reformasi agraria antara lain:
mengutamakan keadilan dalam distribusi lahan dan sumber daya. Kemudisn, mengutamakan kesetaraan antara petani kecil dan pemilik lahan besar. Lalu, mengutamakan kemandirian petani dalam mengolah lahan dan mengambil keputusan. Dan
mengutamakan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.
Dalam konteks Indonesia, reformasi agraria telah menjadi salah satu prioritas pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat pedesaan, serta mempromosikan pengembangan pertanian yang berkelanjutan dan adil. .
Bagi bangsa kita, yang sebagian besar warga masyarakatnya hidup dan berpenghidupan dari sektor pertanian dalam arti luas, lahan merupakan segala-galanya. Lahan pertanian ini tampil menjadi faktor utama penjamin keberlangsungan hidup warga bangsa. Itu sebabnya, perlindungan terhadap lahan pertanian, khususnya lahan sawah, menjadi sangat pentunf untuk dilakukan.
Sadar akan hal seperti ini, sekitar 15 tahun lalu, Pemerintah telah menerbitkan regulasi setingkat Undang Undang yang mengatur tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Sejarah lahirnya UU No. 41/2009 tersebut menarik untuk disampaikan, karena dalam agenda pembahasan UU ini sempat terjadi perdebatan hangat soal “Sawah Abadi”.

Menariknya, karena dalam pencarian judul dari UU ini muncul usul agar nama judul regulasi yang akan diterbitkan diberi nama UU Sawah Abadi. Pro kontra pun terjadi dalam pembahasan berikutnya. Ujung-ujungnya disepakati tidak menggunakan kata “abadi”, tapi dalam bahasa hukum lebih pas dipilih kata berkelanjutan. Begitu pun dengan kata “sawah”. Lebih cocok diganti dengan “Pertanian Pangan Berkelanjutan”.
Keberadaan lahan pertanian sendiri, khususnya sawah di negeri ini, betul-betul memiliki nilai tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Sawah inilah “mesin” pencetak nasi yang kita konsumsi sehari-hari sebagai kebutuhan bahan pangan utama. Itu sebabnya, keberadaan sawah harus dijaga dan dilestarikan sebagai investasi kehidupan masa depan.
Membabi-butanya alih fungsi lahan pertanian pangan produktif, jangan dibiarkan terus berlanjut. Pemerintah perlu bersikap tegas untuk mengendalikannya. Pemerintah tidak boleh abai terhadap penggerusan lahan yang bermotif kepentingan ekonomi sesaat. Tidak boleh juga terkesan acuh twrhadap suasana yang tengah berlangsung.
Dengan kekuasaan dan kewenangan yang digenggamnya, Pemerintah mestinya dapat menerapkan aturan dengan penuh tanggungjawab. Begitu pun dengan para penentu kebijakan yang terkait dengan penataan ruang, baik tingkat nasional atau daerah. Jangan lagi ruang pertanian dikorbankan, hanya sekedar untuk memuaskan pihak-pihak tertentu.
UU No. 41/2009 sengaja dibuat untuk melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan. Bangsa ini, tidak mau menyaksikan oknum pejabat yang tidak bisa memegang integritas dan martabat selaku Aparat Sipil Negara. Rakyat juga akan protes keras bila ditemukan ada oknum pejabat yang doyan memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk keuntungan pribadi atau golongannya.
Semakin maraknya alih fungsi lahan pertanian, tentu saja menjadi “peer” penting bagi para penentu kebijakan di negeri ini. Ruang pertanian yang tersisa, wajib hukumnya untuk dijaga dan dilestarikan keberadaannya. Regulasi yang mengatur lahan pertanian pangan berkelanjutan atau lahan sawah yang dilindungi, perlu diterapkan dengan tegas dan bertanggungjawab.
Selain tergerus oleh kepentingan pembangunan, khisusnya untuk pengembangan kawasan industri, kebutuhan pemukiman/perumahan penduduk, pemenuhan infrastruktur dasar, jalan bebas hambatan dan lain sebagainya, ternyata kondisi lahan sawah pun banyak yang terganggu kesehatannya. Kesuburan tanah mulai berkurang yang disebabkan oleh berbagai perlakuan kita bersama.
Salah satunya karena tingginya penggunaan pupuk kimia yang membuat unsur hara dalam lahan menjadi berkurang. Inilah dilema pembangunan pertanian yang kita hadapi sejak revolusi hijau menggelinding tahunb1970an. Disatu sisi dituntut untuk meningkatkan produksi dan produktivitas, di sisi yang lain, kita diminta untuk memelihara kesuburan lahan sawah yang ada. Ini yang sulit.
Untuk menggenjot produksi setinggi-tingginya, selama ini kita terkena dengan penggunaan pupuk kimia karena terbukti dengan penggunaan pupuk kimia, produksi meningkat cukup signifikan. Padahal, kalau sejak dulu kita mengkombinasikan penggunaan pupuk dengan pupuk organik, boleh jadi masalah kesehatan lahan sawah, tidak separah saat ini.
Menyikapi kesehatan sawah yang semakin berkurang kesuburannya, tentu jangan dianggap sebagai hal yang sepele. Mana mungkin, kita akan mampu menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju swasembada untuk jangka panjang, bila kita tidak melakukan pengobatan terhadap lahan sawah yang tengah sakit tersebut. Penggunaan pupuk organik terekam masih setengah hati penerapannya.
Belum lagi soal kesuburan lahan sawah yang semakin tidak sehat tertuntaskan, kini bangsa ini dituntut target untuk mencapai angka 32 juta ton beras untuk tahun ini. Target sebesar itu, mesti diraih, sekiranya kita tidak mau terjebak dalam suasana melemahnya ketersediaan beras sebagai dampak menurunnya produksi secara signifikan.
Pengalaman turunnya produksi beras saat ini, tentu membuat dunia pertanian di dalam negeri, mengalami gangguan yang cukup berarti. Harga beras di pasar tampak melejit sangat tinggi. Lalu, kelangkaan beras terjadi. Akibat nya, masyarakat kesulitan memperoleh beras yang biasanya dijual di Indo Maret atau Alphamart Untuk mendapatkan beras dengan harga murah, emak-emak rela mengantri dan berdesak-desakan.
Gambaran ini hanya sebuah teladan dari produksi beras yang menurun cukup signifikan. Hal ini terjadi, tentu bukan karena sergapan El Nino semata, namun bisa jadi dikarenakan semakin tidak suburnya lahan sawah, mengingat adanya perlakuan yang keliru dalam menggenjot produksi setinggi-tingginya. Ini penting dicamkan. Sakitnya lahan sawah perlu segera disembuhkan. Kalau tidak, lahan sebagai investasi kehidupan, tentu akan terganggu pula.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).