4 October 2024 17:26
Opini dan Kolom Menulis

PROGRAM BANTUAN LANGSUNG BERAS : LANJUT ATAU TIDAK ?

HIBAR

PROGRAM BANTUAN LANGSUNG BERAS : LANJUT ATAU TIDAK ?

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Pro kontra soal Program Bantuan Langsung dan Subsidi yang selama ini digarap Pemerintah, masih terus berlangsung. Ada yang setuju, namun ada juga yang tidak. Debatibel ini terus berlangsung, tergantung dari sisi mana dirinya berdiri. Yang jelas, terlepas dari semangat apa pun yang melandasi lahirnya Program yang bernuansa keberpihakan ini, selalu dinantikan oleh sebagian anak bangsa.

Program Bantuang Langsung Beras, bisa disebut sangat enesial, khususnya ketika fakta menggambarkan betapa memprihatinkannya nasib dan kehidupan sebagian besar anak bangsa. Terlebih mereka yang beratributkan sebagai petani berlahan sempit (petani gurem). Seperti yang kita kenali, petani gurem adalah petani yang memiliki lahan pertanian rata-rata 0,3 hektar.

Dalam 10 tahun terakhir (2013-2023), menurut Hasil Sensus Pertanian 2023, jumlah rumah tangga petani gurem mengalami peningkatan sebesar 2,64 juta rumah tangga. Lebih lengkapnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyimpulkan jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Gurem tercatat sebanyak 16,89 juta. Dengan kata lain, mengalami kenaikan sebesar 18,49% dari catatan jumlah RTUP Gurem pada 2013 yang jumlahnya hanya sebanyak 14,25 juta.

Di sisi lain, kita juga dikejutkan dengan kabar, terkait kemiskinan ekstrim. Sebesar 47,94 % penduduk yang terkategorikan kemiskinan ekstrim, berada di sektor pertanian. Artinya, siapa lagi dari mereka, jika bukan petani gurem dan petani buruh. Dengan demikian, dapat disimpulkan, kaum tani inilah warga bangsa yang kehidupannya masih mengenaskan.

Kemauan politik untuk membebaskan kaum tani dari belenggu kemiskinan, sesungguhnya telah direncanakan dan dirumuskan sejak lama. Genderang perang melawan kemiskinan pun telah ditabuh puluhan tahun silam. Anehnya, seiring dengan perjalanan waktu, ternyata kemiskinan masih saja menjadi “trade mark” kaum tani, terutama petani berlahan sempit.

Petani bangkit mengubah nasib, sepertinya lebih mengumandang sebagai wacana ketimbang fakta kehidupan di lapangan. Kaum tani tetap terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan yang tak berujung pangkal (the vicious circle of poverty). Kesengsaraan dan kemelaratan, seolah-olah enggan lepas dari kehidupan kaum tani.

Begitu pun dengan hak petani untuk hidup sejahtera. Kalimat petani sejahtera, hanya ada diatas kertas. Yang terjadi malah petani hidup memilukan. Pemerintah sendiri, tampak kesulitan untuk menunaikan peran dan tanggungjawabnya. Kewajiban Pemerintah untuk mensejahterakan kehidupan petani, terekam masih sebatas cita-cita, belum jadi realita.

Atas gambaran ini, wajar jika profesi petani padi menjadi semakin tidak diminati oleh kaum muda di perdesaan. Mereka lebih senang berduyun-duyun datang ke kota untuk mengadu nasib dan masa depannya. Mereka lebih memilih kerja serabutan di kota-kota besar, dari pada tinggal di kampung halamannya, untuk bekerja sebagai petani padi.

Lebih merisaukan lagi adalah adanya sikap dari para orang tua yang selama ini berprofesi sebagai petani padi, melarang anak-anaknya untuk bekerja jadi petani padi. Di benaknya, dalam suasana kekinian, profesi petani bukanlah pilihan kerja yang menjanjikan. Jadi petani padi, identik dengan melanjutkan hidup miskin, yang selama ini diwariskan para leluhurnya.

Para orang tua pun tampak rela menjual sebagian sawah ladang miliknya, hanya untuk membiayai anak-anaknya menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Para orang tua percaya, hanya lewat pendidikan yang lebih baik, peluang jadi Aparat Sipil Negara/Pegawai Negeri Sipil atau jadi Pegawai Swasta yang cukup besar, akan lebih terbuka.

Dengan kondisi kehidupannya yang cukup mengenaskan, kaum tani dan kelompok miskin lain, masih mampu bertahan hidup dan menyambung nyawa, karena adanya aneka program bantuan langsung atau subsidi dari Pemerintah. Termasuk Program Bantuan Langsung Beras bagi 22 juta rumah tangga sebesar 10 kg per bulan, selama 12 bulan.

Catatan kritisnya adalah apakah setelah Presiden Jokowi lengser seabreg progran bantuan langsung dan subsidi ini akan dihentikan, mengingat ada pandangan yang menyebut program semacam itu dianggap tidak mendidik ? Bila, program tersebut akan dihentikan, lalu apa yang menjadi penggantinya ? Artinya, kita jangan terlalu gampang menghapus kebijakan, padahal penggantinya belum ada.

Bagi golongan masyarakat yang terjebak dalam suasana hidup miskin, atau seering juga disebut sebagai “korban pembangunan”, yang namnya program bantuan langsung dan subsudi benar-benar menjadi “dewa penolong” kehidupan. Kesulitan hidup yang menjeratnya, sedikit banyak tertolong dengan adanya program bantuan dan subsidi ini.

Mereka betul-betul mensyukuri adanya program bantuan langsung dan subsidi. Mereka tentu berharap agar program seperti ini terus berlanjut. Mereka tidak ingin nyawa kehidupannya terputus karena distopnya program bantuan langsung dan subsidi. Itu sebabnya, kepada Presiden terpilih hasil Pilpres 2024, para “korban pembangunan” ini, dimohon untuk terus melanjutkannya.

Itu alasannya, kalau semangat Presiden Terpilih akan melanjutkan kebijakan Pemerintahan sebelumnya, tentu kita optimis, kebijakan yang dicintai oleh masyarakat miskin ini akan terus berkesinabungan. Catatan kritis nya adalah mampukah kita merumuskan Program Bantuan Langsung dan Subsidi uang mendidik dan memandirikan kehidupannya ? Mari kita lihat perkembangannya.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *