4 July 2024 10:31
Opini dan Kolom Menulis

PETANI & “MONEY ORIENTED”

PETANI & “MONEY ORIENTED”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

“Money oriented” identik dengan orang yang mata duitan. Mereka selalu menempatkan uang di atas segalanya. Fenomena semacam ini tampak berlaku universal. Dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, kini semakin terang benderang. Lalu, muncul pertanyaan bagaimana dalam kehidupan kaum tani ? Apakah petani juga telah terjebak dalam “money oriented” juga ?

Omong kosong, jika dalam mengarungi kehidupan, orang-orang tidak membutuhkan uang. Untuk apa orang banting tulang bekerja ? Jawabnya tegas, ya untuk menghasilkan uang. Seorang tukang becak yang setiap hari bercucuran keringat mengantar penumpangnya, juga menginginkan jasa dalam bentuk uang. Artinya, uang itu sangatlah penting.

Seiring dengan perguliran jaman, dalam kehidupan kaum tani pun, kini kita banyak mengalami pergeseran. Petani yang pada jamannya tidak mengalami kesusahan bila dikumpulkan untuk mendapatkan informasi tentang teknologi baru oleh petugas Pemerintah, sekarang kita akan dihadapkan kepada masalah serius, sekiranya meminta petani untuk berkumpul.

Yang pertama kali ditanyakan adalah ada uang sakunya tidak ? Atau afa juga yang bertanya, pulangnya dikasih amplop atau tidak ? Petani rupanya sudah memahami, bila para petugas Pemerintah yang datang ke lokasi pertemuan, maka mereka selalu mendapat uang perjalanan dunas. Jika petugas dapat uang, mengapa petani yang dikumpulkannya tidak diberi uang transportasi ?

Dalam program yang lain, petani juga pernah mendapatkan uang saku selama dua hari, ketika mereka dikumpulkan untuk mengikuti sosialisasi program yang dikembangkan sebuah eselon 1 di Kementerian. Kejadian-kejadian semacam ini tentu saja membuat persepsi di benak petani, kalau mereka dikumpulkan, pulangnya pasti akan diberi uang saku atau uang transpor.

Tak kalah menariknya untuk dibincangkan, berkembangnya “money oriented” dalam kehidupan petani, ternyara mampu menghilangkan nilai-nilai budaya yang selama ini tumbuh dalam kehidupan masyarakat tani. Salah satunya berkaitan dengan “budaya leuit”. Tumbuhnya sikap petani yang “money oriented”, membuat jarang sekali petani yang memiliki leuit.

Hal ini bisa dimengerti, karena saat panen berlangsung, petani menjual seluruh hasil panennya kepada bandar atau tengkulak. Petani lebih membutuhkan uang, ketimbang membawa pulang sebagian hasil panennya itu. Dengan kata lain, dari pada membangun leuit disekitar runahnya, lebih baik membelu beras ketika membutuhkan nya.

Petani lupa, apa yang ditempuhnya itu, sangat jelas menurunkan nilai tambah ekonomi dalam kehidupannya. Petani menjual gabah dengan harga murah, beberapa waktu kemudian petani harus membeli beras dengan harga cukup mahal. Petani bukan lagi tercatat sebagai produsen, namun dirinya pun merangkap sebagai konsumen. Inilah yang disebut sebagai “net consumer”.

Bila Pemerintah ingin melakukan perlindungan terhadap petani atas sikap yang “money oriented”, maka yang perlu ditempuh adalah dengan menumbuh-kembangkan lagi budaya leuit dalam kehidupan petani. Para Penyuluh Pertanian dimintakan untuk tampil sebagai “prime mover” dan selalu mengingatkan petani tentang pentingnya leuit dalam kehidupan.

Maraknya sikap masyarakat tani yang “money oriented”, boleh jadi dipacu pertama kali oleh diberlakukannya proses Pemilihan Umum secara langsung. Setelah pejabat publik dipilih langsung oleh rakyat, baik kalangan eksekutif ataupun legislatif, maka sejak itulah yang namanya politik uang marak terjadi dibanyak daerah.

Bagi orang-orang yang ingin jadi Wakil Rakyat, dirinya perlu memiliki uang yang cukup untuk dijadikan “uang saweran” bagi masyarakat. Tanpa ada uang saweran, sekalipun dirinya tergolong idealis, sulit baginya untuk terpilih jadu Wakil Rakyat. Banyak calon Wakil Rakyat gagal berkantor di Senayan, Jakarta, karena kurang di dukung oleh dana yang kuat.

Dengan adanya Pemilihan Umum yang dipilih secara langsung oleh rakyat, maka mulailah sikap “money oriented” merasuk dalam setiap sanubari anak bangsa. Masyarakat petani pun dihadapkan pada hal-hal yang transaksasional. Dalam setiap kegiatan selalu ada imbalannya. Semua kegiatan tidak ada yang gratis. Untuk kumpul-kumpul saja, pulangnya diberi amplop.

Akibatnya wajar, jika para Penyuluh Pertanian di beberapa daerah terlihat kalah karisma dibandingkan dengan Tim Sukses calon pemimpin publik. Bukti nyatanya, jika ada undangan untuk kumpul-kumpul, umumnya petani lebih antusias dan ramai-ramai untuk datang ke acara undangan Tim Sukses dari pada undangan Penyuluh Pertanian.

Di bebak petani sepertinya telah tertanam, jika Tim Sukses yang mengundang, maka pulangnya pasti akan ada sesuatu yang bakal dibawanya untuk tambahan biaya kehidupan kesehariannya. Itu sebabnya, di masa Pemilihan Umum, baik legislatif atau eksekutif, Penyuluh Pertanian perlu pinter-pinter mengatur jadwal, jika akan mengumpulkan para petani.

Akhirnya perlu kita sadari, banyak nilai-nilai kehidupan masyarakat tani, yang seiring dengan perjalanan waktu, mengalami pergeseran. Tidak bisa dipungkiri, sikap “money oriented” kini tampil menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kaum tani. Semoga ada solusi atas kecenderungan sikap kaum tani yang mulai meminggirkan nilai budaya adiluhung dari kehidupannya.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Jangan Sembunyikan Ilmumu

WASILLAH SHUBUHKamis, 4 Juli 2024. BismillahirahmanirahimAssallamu’alsikum wr wbrkt JANGAN SEMBUNYIKAN ILMUMU. Saudaraku…Ketika saya menyampaikan postingan tentang agama, itu tidak berarti

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *