7 October 2024 01:20
Opini dan Kolom Menulis

Pesan Moral Untuk PJ.Gubernur Jawa Barat

PESAN MORAL UNTUK PJ. GUB JABAR

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Ketika Pemerintah memutuskan untuk mengangkat Kang Bey Triadi sebagai Pj. Gubernur Jawa Barat, banyak pihak yang merasa terkejut. Pasalnya, yang ramai digadang-gadang dan diunggulkan banyak kalangan adalah Prof. Kerry. Nama Kang Bey, jarang disebut. Apalagi dijagokan beberapa komponen bangsa berbasis kedaerahan.

Namun begitu, Pemerintah tentu lebih paham dan memiliki pertimbangan khusus, mengapa Kang Bey yang harus memimpin Jawa Baeat setelah Kang Emil merampungkan tugas dan tanggungjawabnya sslaku Gubernur Provinsi Jawa Barat. Untuk itu, tidak terlampau keliru, jika kita pun menyampaikan ucapan “wilujeng sumping Kang Bey di Tatar Sunda, wilujeng mancen tugas, kanggo kaberkahan warga Jaw Barat”.

Sebagai Pj. Gubernur Jawa Barat yang dalam beberapa bulan ke depan akan menyelenggarakan Pemilihan Umum Serentak 2024, Kang Bey diharapkan mampu menjadi nakhkoda yang baik dalam mengendalukan Jawa Barat sebagai Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di negwri ini.
Dengan jumlah penduduk hampir menembus angka 50 juta jiqa, Jawa Barat butuh sentuhan khusus dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Bagi Kang Bey, bila dirinya mampu menjalankan kehormatan dan tanggungjawab yang diembannya dengan baik, tentu akan memberi catatan tersendiri dalam melaksanakan pekerjaannya sebagai Aparat Sipil Negara. Itu sebabnya, sebagai rasa “kadeudeuh” dari warga Jawa Barat, dalam kesempatan kali ini, penulis ingin memberi “pesan moral” kepada Kang Bey.

Untuk kesempatan sekarang, titik tekan pesan yang disampaikan, lebih diboboti oleh betapa seriusnya Pj. Gubernur Jawa Barat menata-ulang kebijakan pembangunan pertanian, terlebih dalam menghormati “ruang pertanian” yang dimiliki. Alasannya singkat, karena selama ini, kondisi pertanian di Tatar Sunda berada dalam suasana yang sedang tidak baik-baik saja. Itu pun, jika tidak mau dikatakan amburadul.

Sebagai alumni Universitas Katolik Parahiyangan (UNPAR), Kang Bey, pasti pernah mendengar ungkapan yang disampaikan Pastor Brouwer. Intinya : Bumi Pasundan Lahir Ketika Tuhan Sedang Tersenyum. Kalimat ini, tentu bukan hanya sekedar wejangan seorang Pastor, namun yang diutarakannya itu berbasis kepada fakta kehidupan. Betapa indah dan nyaman hidup di Tanah Parahiyangan.

Di sisi lain, semakin menyusutnya “ruang pertanian” di negara kita, tentu menjadi soal serius dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Membabi-butanya alih fungsi lahan pertanian produktif ke non pertanian, telah dituding sebagai biang kerok utamanya. Di lain pihak, langkah Pemerintah untuk mengganti lahan pertanian yang beralih fungsi lewat progran pencetakan sawah, seperti yang kurang berhasil.

Banyak program pencetakan sawah di daerah, sekedar hanya untuk menggugurkan kewajiban belaka. Bahkan ada yang bilang, program pencetakan sawah yang ditempuh, benar-benar sangat memilukan dan tidak membawa hasil seperti yang ditargetkan. Padahal, cukup besar juga anggaran yang dikucurkan untuk proyek pencetakan sawah di berbagai lokasi di daerah.

Resiko politik bangsa yang sebagian besar warga masyarakat nya tergantung kepada bahan pangan, tentu harus mampu melakukan pengendalian terhadap lahan pertanian yang dimilikinya. Pengendalian bukan hanya tertuang di atas kertas melalui regulasi yang dilahirkan, namun yang tak kalah pentingnya, sampai sejauh mana regulasi tersebut dapat diterapkan dalam kehidupan nyata di lapangan.

Memang, Pemerintah telah menerbitkan Undang Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, lengkap dengan beberapa Peraturan Pemerintahnya. Di Daerah pun tidak mau ketinggalan. Dibuatlah Peraturan Daerah lengkap dengan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikotanya.

Lalu, apa coba yang terjadi berikutnya ? Inilah jawaban yang mengundang pertanyaan lanjutan. Antara kemauan politik dengan tindakan politik, tampak sangat jauh berbeda. Semangat untuk menjaga dan melestarikan “ruang pertanian” sepertinya kalah gertak dengan semangat yang berkeinginan mengurangi ruang pertanian.

Berbagai alasan sering muncul dalan kehidupan, mengapa alih fungsi, tidak boleh tidak, harus dilakukan. Tidak bisa juga tidak, yang namanya pengembangan perumahan dan pemukiman atas tekanan masyarakat yang membutuhkan tempat tinggal, mesti diprioritaskan pembangunan nya. Belum lagi yang berkenaan dengan kebutuhan infrastruktur dasar pembangunan.

Akibatnya, tidak mengherankan jika setiap dilakukan revisi RTRW daerah, yang namanya penyusutan ruang pertanian selalu terjadi di Tanah Merdeka ini. Yang mengherankan adalah mengapa Pemerintah seperti yang tak berdaya menghadapi suasana yang demikian. Pemerintah sepertinya, ok-ok saja bila ada kalangan yang berkehendak untuk mengalih-fungsikan lahan pertanian ke non pertanian.

Padahal, kalau Pemerintah mau bersikap tegas dengan pengendalian yang ketat, setidaknya pengurangan ruang pertanian bakal dapat dicegah. Perilaku yang demikian, sebaiknya jangan terus dilanjutkan. Pemerintah perlu berani mengatur kembali proses alih fungsi lahan yang terjadi.

Kalau titik lemahnya karena regulasi yang kurang menggigit, maka menjadi tugas para anggota legislatiflah untuk semakin kritis dalam menyusun Undang Undang dan Peraturan Daerahnya. Berbagai Pasal dan Ayat yang dianggap lemah, sudah saatnya diperkuat dengan Pasal dan Ayat yang lebih menunjukkan keberpihakan terhadap ruang pertanian.

Kita ingin agar para perumus regulasi benar-benar memberi titik kuat pada kajian filosofi dari keberadaan ruang pertanian. Bahkan, sepatutnya regulasi yang disusun jangan lagi ada Pasal atau Ayat abu-abu yang dapat diutak-atik, hanya untuk memberi kepuasaan sesaat bagi segelintir orang.

Yang tak kalah serius untuk diingatkan adalah semakin gencarnya alih kepemilikan lahan petani ke non petani. Banyak petani menjual lahan sawah yang dimilikinya untuk berbagai alasan dan pertimbangan. Ada yang sengaja melepas sawah ladangnya untuk membiayai anak-anak mereka agar dapat menempuh jenjang pendidikan yang lebih baik.

Bahkan yang mengagetkan adalah munculnya persepsi baru di kalangan para orang tua yang saat ini berprofesi sebagai petani. Mereka memiliki keyakinan menjadi petani di negeri ini tidak akan pernah hidup sejahtera dan bahagia. Mereka lebih meyakini, suasana hidup sejahtera, jika kehidupan anak-anak nya keluar dari dunia pertanian.

Akibatnya secara ikhlas, mereka menjual sawah yang dimilikinya. Mereka percaya, hidup sejahtera dan bahagia, peluangnya akan tercapai kalau anak-anak mereka dapat menjadi pegawai negeri atau bekerja di perusahaan swasta yang cukup besar. Semua cita-cita ini bakal terwujud, kalau anak-anak mereka memiliki jenjang pendidikan yang lebih baik.

Ada juga contoh yang lain. Dari pada tetap bertahan jadi petani, banyak kaum muda yang merengek kepada orang tuanya untuk dibelikan motor agar dirinya dapat menjadi tukang ojek. Di benak sebagian anak muda perdesaan, menjadi tukang ojek lebih bergengsi ketimbang menjadi petani, sekali pun orang tua mereka harus menjual dan mengalihkan kepemilikan sawah ladangnya kepada orang lain, yang jelas-jelas bukan petani.

Alih fungsi dan alih kepemilikan lahan pertanian, kelihatannya kurang mendapat perhatian yang serius. Mestinya, Pemerintah segera melakukan kajian khusus terhadap fenonena yang berkembang. Pemerintah harus segera mencari jalan keluarnya, agar keberadaan Indonesia sebafai negeri agraris tetap terjaga dengan baik. Semoga pesan moral ini menjadi pencermatan khusus Kang Bey.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

“LIANG COCOPET”

“LIANG COCOPET” OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA “Liang Cocopet” adalah ungkapan umum dalam kehidupan masyarakat. Tatar Sunda, yang intinya menggambarkan tempat

Read More »

Tanda Terimanya Sebuah Amal

MUHASABAH AKHIR PEKANMinggu, 6 Oktober 2024 TANDA DITERIMANYA SUATU AMAL BismillahirrahmanirrahiimAssalamu’alaikum wr wbrkt… Saudaraku,Perlulah kita ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *