4 July 2024 10:55
Opini dan Kolom Menulis

PENGGUGATAN KAUM TANI

PENGGUGATAN KAUM TANI

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Di banyak negara, termasuk di Tanah Merdeka ini, kaum tani seringkali terpinggirkan atau bahkan kerap termarginalkan dari keramaian pentas pembangunan. Hak kaum tani untuk dapat hidup sejahtera, seperti yang kalah pamor dengan 9 Naga yang ditengarai menguasai jalan dan perkembangan perekonomian negara dan bangsa.

Akibatnya, wajar jika kaum tani di negeri ini, lebih layak dikatakan sebagai korban pembangunan ketimbang disebut selaku penikmat pembangunan. Membengkaknya jumlah petani gurem dalam 10 tahun terakhir (2013-2023) seperti dilaporkan hasil Sensus Pertanian 2023, mengindikasikan jumlah anak bangsa yang layak divonis selaku korban pembangunan menjadi semakin bertambah.

Kenaikan jumlah rumah tangga petani gurem sebesar 2,64 juta rumah tangga ini, jelas menunjukkan keberadaan mereka semakin terpojok. Semakin menyempitnya lahan pertanian yang dikuasainya, menunjukkan alih fungsi lahan yang semakin membabi-buta, membuat kaum tani tidak mampu lagi menjaga dan mempertahankan lahan garapannya. Lalu, terjadilan proses guremisasi petani.

Petani gurem umumnya akan dimaknai dengan kepemilikan lahan garapan yang sempit, rata-rata 0,25 hektar. Kehidupan mereka cukup memprihatinkan. Mereka hidup hanya sekedar menyambung nyawa dari hari ke harinya. Lebih sedih lagi, mereka hidup sangat bergantung kepada aneka macam bantuan, bukan karena keiletan dan kemandiriannya. Tanpa bantuan, praktis tidak ada kehidupan.

Salah satu tugas penting yang diemban Pemerintah adalah mensejahterakan kehidupan kaum tani. Negara semestinya hadir di tengah kesulitan hidup mereka. Paling tidak, ada dua masalah klasik yang selama ini rutin harus dihadapi para petani. Pertama, ketika musim panen tiba, petani dihadapkan pada harga gabah anjlok dan kedua, saat musim tanam tiba, petani mengeluh kelangkaan pupuk bersubsidi.

Tidak lama lagi, panen raya musim tanam Oktober-Maret 2024, yang mundur masa tanamnya satu hingga dua bulan, dalam bulan April-Mei 2024, bakal berlangsung. Bagi petani sendiri, panen raya merupakan saat yang ditunggu-tunggu. Sebab, pada momen panen raya inilah nasib dan kehidupan petani padi akan ditentukan. Panen raya menjadi salah satu penentu kualitas hidup petani akan lebih baik, jalan ditempat atau lebih buruk lagi.

Banyaknya kaum tani yang berharap pada tibanya panen raya, tentu sudah sama-sama kita pahami. Jangankan petani, Pemerintah pun optimis, pada waktu panen raya, harga beras akan menurun menuju harga yang wajar. Petani selalu optimis, bila Pemerintah benar-benar berpihak kepada petani, mestinya Pemerintah akan mendampingi dan mengawal jalannya panen raya di berbagai daerah.

Harapan petani kepada Pemerintah, memang tidak macam-macam. Petani berharap agar pada saat panen raya tiba, harga jual gabah di tingkat petani tidak anjlok. Ini perlu dicamkan. Mengapa ? Sebab, sudah menjadi nasalah klasik, setiap musim panen datang, harga gabah selalu anjlok, dan Pemerintah sendiri terlihat seperti yang tak berdaya menghadapinya.

Catatan kritisnya, mengapa Pemerintah seperti yang kesulitan untuk menjaga harga gabah agar berada pada angka wajar ? Dengan segudang kekuasaan dan kewenangan yang digenggamya, Pemerintah sepatutnya mampu menerbitkan regulasi yang mampu mengendalikan harga gabah dan beras, supaya memuaskan semua pihak, baik petani, pedagang dan masyarakat luas.

Tugas dan tanggungjawab mengendalikan harga gabah, memang ada di Pemerintah. Dalam hal penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah dan Beras atau pun Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras, Badan Pangan Nasional memiliki peran cukup penting. Bapanas inilah yang dituntut untuk selalu mencermati pergerakan harga gabah dan beras di lapangan.

Badan Pangan Nasional sebagaimana diamanatkan Peraturan Presiden 66/2021, memiliki tugas dan fungsi menetapkan HPP dan HET. Peran ini tentu sangat penting, karena berdasar hitung-hitungan Bapanas inilah berapa sebaiknya HPP dan HET ditetapkan. Termasuk, apakah saat ini Peraturan Badan Pangan Nasional No.6/2023 tentang HPP Gabah dan Beras masih tepat diberlakukan ?

HPP Gabah yang dipatok pada angka Rp.5000,- per kg, sepertinya, perlu dihitung ulang. Terlebih dengan adanya suara petani yang merasa senang jika harga gabah diatas angka Ro.7000,- per kg. Untuk itu, agar menghadapi panen raya, para petani masih tetap riang gembira, maka HPP Gabah sebaiknya dinaikan dari Rp.5000,- per kg menjadi sekitar Rp.6500,- hingga Rp.7000,- per kg.

Dengan HPP Gabah sebesar itu, sindrom harga gabah disaat panen raya selalu anjlok pun, tidak akan merugikan para petani. Kalau harga gabah jatuh, maka Pemerintah berkewajiban untuk memberi harga gabah petani diatas angka HPP. Pertanyaannya sekarang apakah Pemerintah memiliki niat untuk menyenangkan para petani dengan harga sebagaimana disuarakan para petani ?

Mestinya, jika Pemerintah berkehendak untuk menurunkan harga beras yang kini melesat cukup tinggi, maka seiring dengan itu, Pemerintah juga berkewajiban untuk menjaga harga gabah agar tetap menguntungkan petani secara wajar. Tinggal sekarang, sampai sejauh mana Badan Pangan Nasional, mampu menerbitkan regulasi yang mendukung ke arah pencapaian maksud diatas.

Bapanas sebagai perumus kebijakan dan Perum Bulog sebagai operatornya di lapangan, dengan pengelola yang ada sekarang, tentu memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai untuk mewujudkannya. Dengan kata lain, dapat disampaikan “penggugatan petani” terhadap harga gabah tidak melorot saat panen raya berlangsung, bukan lagi sebuah wacana, tapi menjadi sebuah fakta kehidupan.

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Jangan Sembunyikan Ilmumu

WASILLAH SHUBUHKamis, 4 Juli 2024. BismillahirahmanirahimAssallamu’alsikum wr wbrkt JANGAN SEMBUNYIKAN ILMUMU. Saudaraku…Ketika saya menyampaikan postingan tentang agama, itu tidak berarti

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *