Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Suatu hari saya pernah berdiskusi dengan seorang guru Sekolah Luar Biasa (SLB). Kami mendiskusikan isu-isu aktual terkait dengan implementasi kurikulum merdeka. Salah satu hal yang kami diskusikan terkait dengan pembelajaran berdiferensiasi. Saya bertanya kepada guru SLB tersebut bagaimana pengalamannya mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi di kelas yang diajarnya.
Guru tersebut kemudian menjawab bahwa dia mengajar di level SDLB. Baginya, pembelajaran berdiferensiasi, pada dasarnya bukan hal yang baru karena memang sudah biasa dilakukan di SLB yang notabene peserta didiknya Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Kalau pembelajaran di SLB tidak berdiferensiasi, bisa repot di kelas. Peserta didik tidak akan mendapatkan layanan pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu, di saat guru-guru disarankan untuk mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi pada kurikulum merdeka, guru-guru SLB tidak mengalami kesulitan.
Guru SLB dalam setiap aktivitas pembelajarannya berinteraksi dan berkomunikasi dengan ABK yang memiliki beragam keunikan. Mereka harus bisa memberikan layanan pembelajaran kepada setiap ABK pada kelas yang diampunya. Dari konteks psikologis, guru SLB harus juga memacu semangat, menjaga mental dan memotivasi ABK untuk mau belajar. Selain itu, guru SLB juga harus berkomunikasi dengan orang tua peserta didiknya agar mau bekerjasama ikut membimbing dan mengawasi kegiatan belajar anaknya di rumah. Kadang, membangun kerjasama dengan orang tua peserta didik ABK menjadi tantangan tersendiri karena tidak setiap orang tua mau melakukannya dengan berbagai alasan.
Guru SLB tersebut menyampaikan bahwa muridnya sebanyak 6 orang dengan 4 kebutuhan khusus. Masing-masing 3 orang anak tuna grahita, 1 orang anak tuna rungu, 1 orang anak down syndrome, dan 1 orang anak autis. Untuk memfaslitasi pembelajaran untuk 6 orang anak yang memiliki kebutuhan yang berbeda tersebut tentunya diperlukan strategi pembelajaran yang beragam.
Pengelolaan peserta didik disesuaikan dengan tingkat kesulitannya dan kebutuhannya. Mulai dari yang paling mudah hingga yang paling sulit. Dia menuturkan bahwa pada saat mulai pembelajaran, peserta didik yang ditanganinya terlebih dahulu adalah 3 orang anak tuna grahita. Alasannya karena secara fisik dan mental mereka tidak memiliki masalah. Hanya kemampuan untuk memahami materi memang lambat. Oleh karena itu, guru perlu sabar dan telaten membimbing anak tuna grahita selama pembelajaran.
Setelah 3 orang peserta didik tuna grahita dikondisikan pembelajarannya oleh guru tersebut, kemudian lanjut ke peserta didik yang tuna rungu. Strategi dan metode mengajar anak tuna rungu tentunya berbeda dengan anak tuna grahita. Setelah selesai mengondisikan anak tuna rungu, lanjut menangani anak yang down syndrome tentunya dengan strategi, metode, bahan ajar, dan media yang berbeda. Terkait materi ajar, jika anak tuna grahita dan anak tuna rungu misalnya diberikan materi mengurutkan angka dari 1-10, maka anak down syndrome hanya diberikan materi mengenal angka saja mengingat kemampuannya yang terbatas. Setelah itu, guru memfasilitasi proses belajar peserta didik yang autis dengan strategi dan metode pembelajaran yang berbeda.
Berdasarkan gambaran singkat di atas, bisa kita bayangkan begitu sangat luar biasanya tugas seorang guru SLB karena dia harus menangani anak berkebutuhan khusus melalui beragam stategi dan metode pembelajaran. Walau pun demikian, panggilan hati sebagai seorang guru menjadikannya tetap melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, karena tentunya dia sadar segala tanggung jawab dan konsekuensinya sebagai seorang guru SLB. Intinya, guru SLB jangan mati gaya dalam mengembangkan strategi, metode, dan media pembelajaran ABK.
Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang memfasilitasi keunikan dan kecerdasan yang beragam setiap peserta didik. Pada pendidikan umum saja, pembelajaran berdiferensiasi menjadi tantangan tersendiri bagi guru, apalagi pada pendidikan khusus. Di pendidikan umum, jumlah peserta didiknya relatif lebih banyak dibandingkan dengan di pendidikan khusus. Begitu pun kebutuhan belajar peserta didiknya tidak sekompleks di pendidikan khusus. Peserta didik di SLB jumlahnya antara 5-6 orang, tetapi keunikan dan kebutuhan khusus setiap peserta didik menjadikan hal tersebut sebagai tantangan tersendiri bagi guru SLB.
Kita harus memberikan apresiasi khusus kepada guru-guru SLB yang melaksanakan tugas dengan sangat luar biasa. Tidak setiap orang bisa dan mau menjadi guru SLB. Rasa cinta dan kepedulian terhadap pendidikan khusus menjadi energi dan motivasi bagi mereka memilih studi pada jurusan pendidikan khusus. Mereka sudah membulatkan niat untuk membimbing ABK sebagai ladang pengabdiannya.