17 December 2024 05:49
Opini dan Kolom Menulis

PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI DAN MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI PESERTA DIDIK

PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI DAN MEMBANGUN KEMAMPUAN BERPIKIR TINGKAT TINGGI PESERTA DIDIK

Oleh: IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan)

Seiring dengan diimplementasikanya Kurikulum Merdeka sebagai bagian dari paket kebijakan Merdeka Belajar yang dikeluarkan oleh Kemendikbudristek, guru diarahkan untuk mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi. Pembelajaran berdiferensiasi pada intinya adalah pembelajaran yang disesuaikan dengan karakteristik, minat, kebutuhan, dan gaya belajar peserta didik.

Pembelajaran berdiferensiasi adalah upaya untuk mewujudkan pembelajaran inklusif dan pembelajaran yang berpihak kepada peserta didik mengingat setiap peserta didik unik dan memiliki kecerdasan yang beragam. Dengan demikian, maka guru harus merancang pembelajaran yang menerapkan multi strategi, multi metoda, multi media, dan multi asesmen. Hal ini tentunya bukan hal yang mudah bagi guru karena jumlah peserta didik yang harus ditangani dalam satu kelas belasan sampai dengan puluhan orang. Manajemen kelas pun menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi guru karena setiap peserta didik memiliki kebutuhan dan gaya belajar yang berbeda.

Carol Ann Tomlinson, Profesor University of Virginia yang merupakan peneliti dan penulis buku pembelajaran berdiferensiasi pengelolaan pembelajaran di kelas diibaratkan mengendalikan sebuah equalizer sound system, dimana operatornya harus mampu menentukan posisi tombol seperti bass, treble, dan tombol-tombol lainnya dalam posisi yang pas sehingga suara yang keluar enak didengar. Begitu pun dengan guru. Dia harus mampu memosisikan “tombol-tombol” pembelajaran pada posisi yang pas sehingga tercipta pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan bagi peserta didik. Tombol-tombol pembelajaran yang dimaksud adalah strategi, metode, media, teknik asesmen, dan instrumen asesmen yang sesuai dengan kondisi peserta didik.

Pembelajaran berdiferensiasi bisa dilakukan melalui pendekatan kelompok atau pendekatan individu. Intinya, disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kebutuhan di kelas. Dengan demikian, pembelajaran berdiferensiasi bersifat dinamis. Di sini lah peran guru sebagai manajer pembelajaran diperlukan dalam mengelola pembelajaran dengan optimal.

Para praktik pembelajaran berdiferensiasi, guru dapat mengarahkan agar peserta didik memiliki kemampuan berpikir kritis (critical thinking) dan kemampuan berpikir tingkat tinggi (Higher Order Thinking Skills/HOTS). Beberapa strategi pembelajaran diferensiasi dapat dilakukan seperti; berbasis konten (isi materi), berbasis proses, berbasis produk, atau berbasis lingkungan belajar. Selama pembelajaran, guru dapat menggunakan stimulus dalam bentuk rekaman, video, gambar, teks bacaan, gerakan, dan sebagainya mengingat beragamnya gaya belajar setiap peserta didik.

Peserta didik yang memiliki kemampuan awal yang relatif lebih tinggi dari peserta didik lainnya tidak akan mengalami kesulitan saat guru memberikan soal atau latihan dengan kesulitan yang relatif tinggi. Mengapa peserta didik yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi perlu diberikan pembelajaran dan asesmen yang HOTS? Karena jika diberikan pembelajaran dengan materi level yang di bawah kemampuan mereka, bisa terjadi mereka bosan karena pembelajaran kurang menantang. Mereka mungkin saja sudah tahu dengan materi yang disampaikan oleh guru sehingga tidak mendapatkan hal yang baru. Mereka merasa selama berada di dalam kelas waktunya kurang efektif karena kompetensi mereka tidak meningkat.

Bagi peserta didik yang kemampuannya relatif di bawah peserta didik lainnya atau memerlukan waktu yang relatif lebih lama, maka guru perlu menyesuaikan bahan ajar dan strategi pembelajarannya. Peserta didik dengan tipe seperti ini jangan diberikan materi dengan level tinggi atau HOTS, tetapi berikan materi dengan level rendah (Lower Order Thinking Skills/LOTS), karena kalau dipaksakan diberikan pembelajaran yang HOTS, mereka akan mengalami kesulitan.

Di saat peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi diberikan materi pada level bawah merasa bosan, begitu pun peserta didik yang memiliki kemampuan rendah diberikan materi level tinggi akan mengalami kesulitan. Dua-duanya menjadi peserta didik yang gagal mengalami pembelajaran yang berpihak kepada mereka. Dengan demikian, jika guru memberikan materi yang kurang sesuai dengan karakteristik, dan kemampuan peserta didiknya, maka kedua tipe peserta didik ini tidak dapat mengikuti pembelajaran yang optimal.

Pada perumusan tujuan pembelajaran berbasis kurikulum merdeka, guru diberikan kebebasan untuk mengacu kepada beberapa teori pembelajaran, yaitu teori Taksonomi Bloom yang telah direvisi oleh Krathwohl dan Anderson (2001), 6 aspek pemahaman yang dikembangkan oleh Tighe dan Wiggins (2005), dan taksonomi Marzano (2000).

Taksonomi Bloom yang direvisi oleh Krathwohl dan Anderson bersifat hierarkis terdiri dari : C-1 (mengingat), C-2 (memahami), C-3 (mengaplikasikan), C-4 (menganalisis), C-5 (mengevaluasi), dan C-6 (menciptakan). Level C-1, C-2, dan C-3 dikategorikan sebagai level LOTS, sedangkan level C-4, C-5, dan C-6 dikategorikan sebagai HOTS.

Ranah C-1 adalah mengingat kembali informasi yang telah dipelajari, termasuk definisi, fakta-fakta, daftar urutan, atau menyebutkan kembali suatu materi yang pernah diajarkan kepadanya. C-2 menjelaskan ide atau konsep seperti menjelaskan suatu konsep menggunakan kalimat sendiri, menginterpretasikan suatu informasi, menyimpulkan, atau membuat parafrasa dari suatu bacaan.

C-3 menggunakan konsep, pengetahuan, atau informasi yang telah dipelajarinya pada situasi berbeda dan relevan. C-4 memecah-mecah informasi menjadi beberapa bagian, kemampuan untuk mengeksplorasi hubungan/korelasi atau membandingkan antara dua hal atau lebih, menentukan keterkaitan antar konsep, atau mengorganisasikan beberapa ide dan/atau konsep.

C-5 kemampuan untuk membuat keputusan, penilaian, mengajukan kritik dan rekomendasi yang sistematis. Dan C-6 merangkaikan berbagai elemen menjadi satu hal baru yang utuh, melalui proses pencarian ide, evaluasi terhadap hal/ide/benda yang ada sehingga kreasi yang diciptakan menjadi salah satu solusi terhadap masalah yang ada. Termasuk memberikan nilai tambah terhadap suatu produk yang sudah ada. Taksonomi Bloom sangat familiar di kalangan guru. Disamping dijadikan acuan untuk merumuskan tujuan pembelajaran dan indikator, juga menjadi acuan untuk menyusun instrumen asesmen hasil belajar peserta didik.

Dalam 6 aspek pemahaman yang digagas oleh Tighe dan Wiggins, inti dari pencapaian tujuan pembelajaran adalah memahami. 6 aspek yang dimaksud antara lain; (1) penjelasan (explanation), (2) interprestasi (interpretation), (3) aplikasi (application), (4) perspektif (perspective), (5) empati (empathy), dan (6) pengenalan diri (self-knowledge).

Penjelasan (explanation) mendeskripsikan suatu ide dengan kata-kata sendiri, membangun hubungan antar topik, mendemonstrasikan hasil kerja, menjelaskan alasan/cara/prosedur, menjelaskan sebuah teori menggunakan data, berargumen dan mempertahankan pendapatnya.

Interprestasi (interpretation) menerjemahkan cerita, karya seni, atau situasi. Interpretasi juga berarti memaknai sebuah ide, perasaan atau sebuah hasil karya dari satu media ke media lain, dapat membuat analogi, anekdot, dan model. Melihat makna dari apa yang telah dipelajari dan relevansi dengan dirinya.
Aplikasi (application) menggunakan pengetahuan, keterampilan dan pemahaman mengenai suatu dalam situasi yang nyata dalam kehidupan sehari-hari atau sebuah simulasi (menyerupai kenyataan). Perspektif (perspective) melihat suatu hal dari sudut pandang yang berbeda, siswa dapat menjelaskan sisi lain dari sebuah situasi, melihat gambaran besar, melihat asumsi yang mendasari suatu hal dan memberikan kritik.

Empati (empathy) menaruh diri di posisi orang lain. Merasakan emosi yang dialami oleh pihak lain dan/atau memahami pikiran yang berbeda dengan dirinya. Menemukan nilai (value) dari sesuatu. Pengenalan diri (self-knowledge) memahami diri sendiri; yang menjadi kekuatan, area yang perlu dikembangkan serta proses berpikir dan emosi yang terjadi secara internal.

6 aspek ini tidak bersifat hierarkis seperti halnya level kognitif pada Teori Bloom. Oleh karena itu, peserta didik bisa diarahkan untuk menguasai aspek mana saja, tanpa harus memulai dari level bawah menuju ke level yang lebih tinggi. Jika peserta didik dapat melakukan salah satu dari 6 aspek tersebut, berarti mereka telah menguasai atau mendemonstrasikan sebuah tingkat pemahaman.
Teori Marzano menggunakan 3 sistem dalam domain pengetahuan, yaitu; (1) sistem kognitif, (2) sistem metakognitif, dan (3) sistem diri (self-system). Teori Marzano terdiri dari 6 level, yaitu; (1) mengenali dan mengingat kembali (retrieval), (2) pemahaman, (3) analisis, (4) pemanfaatan pengetahuan, (5) metakognisi, dan (6) sistem diri.

Mengenali dan mengingat Kembali (retrieval) maksudnya informasi dalam batas mengidentifikasi sebuah informasi secara umum. Pemahaman maksudnya melibatkan dua proses yang saling berkaitan yaitu integrasikan dan simbolisasi. Analisis maksudnya adalah analisis disini berupa kemampuan menggenerasi informasi baru yang belum diproses oleh seseorang. Ada lima proses analisis, yaitu (a) mencocokkan, (b) mengklasifikasikan, (c) menganalisis kesalahan, (d) menyamaratakan, dan (e) menspesifikasikan.

Pemanfaatan pengetahuan maksudnya adalah pemanfaatan pengetahuan digunakan saat seseorang ingin menyelesaikan tugas tertentu. Ada empat kategori umum pemanfaatan pengetahuan, yaitu; (a) pengambilan keputusan, (b) penyelesaian masalah, (c) percobaan, dan (d) penyelidikan. Sistem metakognisi sistem metakognisi berfungsi untuk memantau, mengevaluasi dan mengatur fungsi dari semua jenis pemikiran lainnya. Ada empat fungsi dari metakognisi, yaitu (a) menetapkan tujuan, (b) memantau proses, (c) memantau kejelasan, dan (d) memantau ketepatan.

Sistem diri menentukan apakah seseorang akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu tugas. Ada empat jenis dari sistem diri, yaitu (a) memeriksa kepentingan, (b) memeriksa kemanjuran, (c) memeriksa respon emosional, dan (d) memeriksa motivasi secara keseluruhan.

Pembelajaran berdiferensiasi perlu diupayakan dilakukan dalam suasana yang menyenangkan, menantang, dan bermakna untuk semua peserta didik. Guru disamping sebagai salah satu sumber belajar juga berperan sebagai manajer dan fasilitator pembelajaran.
Dalam pembelajaran HOTS, guru harus tepat memilih stimulus dan media pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran dan sesuai dengan karakter dan gaya belajar peserta didik untuk membangun kemampuan berpikir kritis dan kemampuan berpikir tingkat tinggi. Peserta dengan gaya belajar auditori akan lebih tepat dengan stimulus dalam bentuk audio. Peserta didik dengan gaya belajar visual akan lebih tepat dengan stimulus dalam bentuk tayangan video, gambar, atau benda nyata. Dan untuk peserta didik dengan gaya belajar kinestetik, stimulus yang digunakan lebih tepat dengan menggunakan gerakan langsung atau video yang isinya gerakan-gerakan sebagai model bagi mereka.

Selain stimulus dan media yang tepat, guru pun mengoptimalkan keterampilan proses. Misalnya kemampuan memberikan pertanyaan-pertanyaan pemantik untuk memancing peserta didik menjawab dengan bebas dan berpendapat secara logis dan argumentatif, berdiskusi, bekerja dalam kelompok, sampai tergerak untuk membuat sebuah karya sebagai wujud pemahaman materi pelajaran.

Pembelajaran berdiferensiasi bukan hal yang mudah dilakukan mengingat jumlah siswa yang relatif banyak, terbatasnya tenaga dan kemampuan guru, serta terbatasnya dukungan sarana dan prasarana. Walau demikian, bukan mustahil dilakukan oleh guru kreatif, inovatif, dan mau terus belajar hal-hal baru.

Penuntut Ilmu dan Pemburu Harta

𝓑𝓲𝓼𝓶𝓲𝓵𝓵𝓪𝓪𝓱𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓶𝓪𝓪𝓷𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓲𝓲𝓶 Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuuh Senin, 16 Desember 2024 / 14 Jumadilakhir 1446 Penuntut Ilmu dan Pemburu Harta عن

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *