12 January 2025 02:47
Opini dan Kolom Menulis

Pembangunan Pertanian VS Pembangunan Petani

PEMBANGUNAN PERTANIAN VS PEMBANGUNAN PETANI

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Dalam Focus Grup Diskusi (FGD) yang mengambil tema “Mencari Paradigma Pembangunan Petani” yang digelar oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Bandung, Jawa Barat muncul pertanyaan, apa sebetulnya perbedaan mendasar antara Pembangunan Pertanian dan Pembangunan Petani ? Selanjutnya, apakah betul, Pembangunan Petani merupakan bagian integral Pembangunan Pertanian ?

Pertanyaan ini, tentu menarik. Jawabannya, pasti bisa macam-macam. Fenomena yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, memang terkesan pembangunan petani bagian dari pembangunan pertanian. Sebab, kalau ada masalah yang berkaitan dengan petani, maka kelembagaan Pemerintah yang diminta untuk menanganinya, pasti ke Kementerian Pertanian atau Dinas Pertanian yang ada di daerah.

Catatan kritisnya adalah apakah betul setiap masalah yang berkaitan dengan kebutuhan petani merupakan tugas dan urusan serta tanggungjawab Kementerian Pertanian ? Rasanya tidak juga. Kementerian Pertanian dan Dinas Pertanian serta segenap jajarannya, lebih ditekankan untuk mengurus sisi produksi dan produktivitas hasil pertanian. Sedangkan di luar itu, mestunya jadi urusan Kementerian/Lembaga lain.

Sebagai contoh, jika jalan dari sentra produksi ke pasar rusak berat, jelas hal ini bukannya tanggungjawab Kementerian Pertanian atau Dinas Pertanian untuk memperbaikinya, namun sesuai dengan tugas dan fungsi nya, perbaikan jalan adalah pekerjaan Kementerian PU atau Dinas PUPR yang ada di daerah. Sekali lagi perlu ditegaskan, tugas dan urusan Kementerian Pertanian, utamanya menggenjot produksi setinggi-tingginya.

Tidak hanya itu teladannya. Jika saat musim panen tiba, harga jual di tingkat petani anjlok, tidak sedikit petani yang datang ke Dinas Pertanian mempertanyakan jatuhnya harga. Padahal, tugas dan urusan harga komoditas berada dibawah kendali Kementerian Perdagangan atau Badan Pangan Nasional. Bukan urusan Kementerian Pertanian. Petani tidak tahu, urusah harga terkait dengan tanggungjawab Kementerian Perdagangan.

Dilihat dari tujuannya sendiri, pembangunan pertanian berbeda dengan pembangunan petani. Tujuan pembangunan pertanian adalah meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian setinggi-tingginya menuju swasembada. Sedangkan tujuan pembangunan petani adalah mewujudkan kesejahteraan. Harapannya, jika produksi meningkat, kesejahteraan petani akan terwujud. Sayang, harapan ini belum dapat dibuktikan dalam kehidupan para petani.

Mestinya, pembangunan pertanian dan pembangunan petani, dapat berjalan selaras. Produksi pertanian, wajib hukumnya untuk terus ditingkatkan. Yang penting dicarikan solusinya adalah sampai sejauh mana produksi yang meningkat cukup signifikan ini mampu mendongkrak kesejahteraan para peraninya. Salah satu faktor penyebabnya, ternyata harga jual di tingkat petani umumnya rendah, sehingga penghasilan petani jauh dibawah harapan yang diimpikannya.

Akan lebih keren, jika Pemerintah mampu merancang perencanaan per komoditas pertanian, mulai dari sisi produksi hingga ke hilir. Perencanaan komoditas ini, perlu disiapkan secara sistemik dan tidak berhenti di sisi produksi. Pemerintah penting membuat jaminan, produksi yang dihasilkannya itu bakal terjual dengan harga yang menguntungkan petani. Jangan sampai produksi meningkat, namun ketika panen, harganya jatuh karena adanya permainan bandar atau pedagang.

Inilah suasana yang terjadi di banyak komoditas pertanian, khususnya padi. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, hampir setiap tahun produksi padi meningkat cukup signifikan. Ironisnya, kenaikan produksi ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan petani padinya. Dilihat dari Nilai Tukar Petani yang rutin dirilis BPS, yang namanya kesejahteraan petani, ternyata tidak berkorelasi positip dengan kenaikan produksi.

Dibandingkan dengan petani lainnya, petani padi merupakan jumlah terbesar dari potret petani yang ada di negeri ini. Sebagian besar dari mereka tergolong petani berlahan sempit. Mereka inilah yang kita sebut sebagai petani gurem dan petani buruh. Mereka hidup menderita dan terjebak dalam suasana hidup miskin. Bagi mereka, hidup tak ubahnya hanya sekedar menyambung nyawa agar kehidupan tetap dapat berlangsung. Inilah gambaran warga bangsa yang butuh pembelaan bersama.
Hasrat untuk meningkatkan harkat dan martabat mereka ke kehidupan yang lebih layak, sudah sering ditempuh. Banyak strategi yang dipilih, 8kebijakan, program dan kegiatan diluncurkan untuk merubah potret diri mereka. Anehnya, seiring dengan perjalanan waktu, nasib dan kehidupan petani padi berlahan sempit, seperti yang belum banyak mengalami perubahan. Mereka susah untuk dibebaskan dari suasana hidup yang penuh dengan keprihatinan. Mereka tetap miskin dan melarat.

Atas hal yang demikian, wajar jika kita meminta kepada Pemerintah untuk dapat melahirkan “terobosan cerdas” agar masalah semacam ini tidak berlarut-larut. Pemerintah penting menata-ulang agar kebijakan pembangunan pertanian benar-benar mampu berkorelasi positip dengan pembangunan petani. Mesti dicari model dan pendekatan, supaya naiknya produksi secara otomatis dapat mendongkrak kesejahteraan petani padinya.

Satu tantangan berat yang harus dijawab adalah langkah apa yang sebaiknya digarap Pemerintah agar produksi yang meningkat di saat panen, dapat dijual dengan harga yang pantas dan memberi keuntungan layak bagi petani. Pemerintah sebetulnya dapat belajar, mengapa dalam beberapa bulan lalu, harga gabah dapat melonjak tinggi, sehingga membuat petani merasa senang dan bahagia. Harga gabah melewati angka Rp. 7000,- per kilogram, merupakan momen yang ditunggu-tunggu para petani padi.

Kegembiraan petani padi ini, mestinya penting dijadikan cermin Pemerintah, sekiranya ada ketulusan hati untuk mensejahterakan petani. Namun betapa ironisnya, ketika ada pihak-pihak tertentu, yang ingin segera menurunkan lagi harga gabah agar sesuai dengan Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Justru yang perlu dilakukan dengan adanya gambaran seperti ini, Pemerintah perlu secepatnya meninjau ulang HPP. Apakah angkanya masih cocok atau tidak ?

Bagi para petani padi, naiknya harga gabah adalah berkah kehidupan yang patut disyukuri. Suasana ini, betul-betul telah dinantikan cukup lama. Mereka ingin kerja kerasnya menanam padi dapat dihargai dengan harga gsbah yang wajar. Ukuran wajarnya, tentu bukan HPP. Bagi mereka, yang wajar itu adalah yang memberi untung dan mampu membuat senang. Di benak mereka, HPP yang berlaku sekarang, tak ubahnya seperti mengekangnya memperoleh penghasilan yang wajar.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *