PANEN DI SAAT HUJAN : PETANI MENANTI SINAR MATAHARI
PANEN DI SAAT HUJAN : PETANI MENANTI SINAR MATAHARI
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Nasib dan kehidupan petani padi di Tanah Merdeka, rupanya cukup sulit untuk terbebaskan dari rasa was-was. Setelah petani mendapat solusi atas masalah harga gabah yang selalu anjlok saat panen raya tiba, kini petani padi dihadapkan pada persoalan panen di waktu hujan. Petani risau, bila saat panen tiba, ternyata sinar matahari enggal untuk muncul di tengah kehidupan petani.
Inilah salah satu problem serius yang harus dijawab petani, sekiranya mereka ingin menghasilkan gabah kering panen yang berkualitas. Walaupun produksi padi meningkat cukup signifikan, namun jika saat panen berbarengan dengan datangnya musim hujan, dapat dipastikan para petani akan merasakan kekecewaan yang cukup berat. Hasrat untuk menghasilkan gabah berkualitas, ternyata masih sulit untuk dibuktikan.
Panen padi di saat hujan, membuat petani sangat kesulitan untuk memperoleh gabah berkadar air baik. Keinginan untuk menghasilkan gabah berkadar air 25 % misalnya, susah diwujudkan, karena sinar matahari tak muncul-muncul. Di lain pihak, para petani juga sangat terbatas dalam kepemilikan alat pengering gabah. Alhasil, petani cenderung akan mendapatkan gabah basah.
Dihadapkan pada suasana demikian, tidak bisa tidak, Pemerintah perlu melahirkan kebijakan untuk segera memfasilitasi petani dengan alat pengering gabah yang mudah dioperasikan oleh para petani. Alat pengering gabah ini akan sangat membantu petani, ketika sinar matahari tak kunjung muncul karena tengah berlangsung musim hujan.
Sekalipun sekarang Pemerintah telah membebaskan persyaratan kadar air dan kadar hampa dalam penyerapan gabah yang dihasilkan petani, namun petani pun tidak ingin menghasilkan gabah berkualitas buruk. Petani, pasti ingin menghasilkan gabah yang tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Bayangkan, jika petani menghasilkan gabah apa adanya, maka betapa sulitnya Pemerintah dalam proses penyimpanannya.
Panen raya padi kali ini, betul-betul merupakan ujian cukup berat bagi perjalanan pembangunan pangan ke depan. Dimulai dengan adanya semangat pencapaian swasembada pangan, sampai ke penegasan Pemerintah akan menghentikan impor beras, hal ini jelas merupakan pekerjaan yang tidak gampang untuk digarap. Banyak tantangan dan kendala yang perlu dicarikan jalan keluarnya.
Rintangan yang sulit dicarikan jawabannya adalah masih berlangsung nya iklim ekstrim yang secara mendadak dapat menyergap kehidupan. Ingat fenomena El Nino sekitar 3 tahun lalu, yang membuat bangsa ini kelimpungan, karena tidak menduga akan dampak El Nino yang dilahirkan nya. Darurat beras pun tak dapat dihindari dan harus berjuang keras untuk menghadapinya.
Pertanyaan kritisnya adalah apakah dalam menyambut tibanya panen raya padi sekarang, kita akan terbebaskan dari sergapan iklim ekstrim dan cuaca buruk lagi ? Jawabannya, tentu harus diantisipasi sedini mungkin. Jangan lagi, kita menggunakan pendekatan sebagai pemadam kebakaran. Bahkan akan lebih keren, jika kita mulai menerapkan pendekatan deteksi dini.
Pemerintah sendiri, sepertinya sudah berjuang keras untuk menggenjot produksi beras setinggi-tingginya menuju swasembada. Berbagai upaya dan langkah telah ditempuh. Diawali dengan pembenahan di sisi hulu seperti penerapan benih unggul, penataan kuota dan tata kelola pupuk bersubsidi yang lebih efektif dan efesien, perbaikan irigasi, revitalisasi Penyuluhan Pertanian dan lain-lain, telah dilakukan cukup inten.
Sayangnya, sekalipun semangat menggenjot produksi telah mengumandang sejak tahun 2023 lalu, ternyata produksi beras secara nasional tahun 2024 jauh dibawah target yang diharapkan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi beras nasional tahun lalu hanya sebesar 30,41 juta ton. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan produksi beras nasional tahun 2023.
Dua tahun lalu itu, produksi beras nasional mencapai 31,10 juta ton. Artnya, sejak Pemerintah menyatakan perlunya meningkatkan produksi dan produktivitas beras, maka yang terjadi, bukannya hasil yang menyenangkan. Yang terjadi malah produksi beras secara nasional menurun sekitar 700 ribu ton. Daro sini banyak pihak mempersoalkan, mengapa hal semacam ini harus terjadi ?
Lalu, bagaimanq dengan produksi beras secara nasional untuk tahun ini ? Apakah produksi beras tahun 2025 akan lebih tinggi ketimbang tahun 2024 ? Apakah prediksi BPS yang menyebut Indonesia bakal surplus beras 5 juta ton itu akan menjadi kenyataan ? Atau tidak, dimana angka-angka statistik itu baru merupakan sebuah proyeksi, yang butuh pembuktian di lapangan ?
Prediksi BPS ini, tentu sudah mempertimbangkan kemungkinan terburuk, jika dalam perjalanannya muncul hal-hal yang tak diinginkan. Sebut saja ada sergapan La Nina yang datang secara tiba-tiba. Jika La Nina hadir sebagai tamu yang tak diundang, apakah kita sudah siap menyambutnya dengan penuh kesiap-siagaan ? Atau belum, mengingat hal itu tidak dijadikan fokus pembahasan ?
Kemudian, bagaimana bila panen raya kali ini diiringi dengan tingginya curah hujan, sehingga petani cukup kesulitan untuk mendapatkan gabah kering panen yang berkualitas ? Artinya, sekalipun petani diberi kebebasan kadar air dan kadar hampa dalam menjual gabah kering panennya, namun petani tetap memiliki tanggungjawab agar gabah yang dijualnya, tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Atas gambaran demikian, tentu kita berharap agar panen raya kali ini, dapat berjalan normal, dan iklim betul-betul berpihak kepada sektor pertanian. Setidaknya, sinar matahari tetap muncul untuk menyibari gabah para petani.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).