19 April 2025 00:06
Opini dan Kolom Menulis

OBSESI KEMAKMURAN PETANI

OBSESI KEMAKMURAN PETANI
 
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
 
     Kemakmuran berasal dari kata kerja Latin “affluere”, yang berarti “mengalir berlimpah”. Dengan demikian, seseorang atau sesuatu yang diberkati dengan kekayaan atau telah menerima banjir kekayaan, dapat disebut hidup dalam kemakmuran. Selanjutnya, dilihat dari sudut pandang ekonomi, kemakmuran adalah kemampuan untuk memenuhi sebagian besar kebutuhan hidup, baik itu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, maupun kebutuhan tertier. 
 
     Dari pengertian tersebut, bisa disimpulkan bahwa kemakmuran pun dapat dilihat dari tingkat konsumsi masyarakat dalam mengkonsumsi sesuatu. Keluarga yang kesehariannya mengkonsumsi nasi sebagai pangan pokok, cenderung akan dikatakan lebih makmur ketimbang yang menjadikan singkong atau jagung sebagai makanan pokoknya.
 
      Kemakmuran merupakan suatu keadaan yang tumbuh berkembang, berkemajuan, memiliki keberuntungan baik dan/atau memiliki status sosial yang sukses. Kemakmuran sering kali mencakup kekayaan, tetapi juga meliputi faktor-faktor lain yang mungkin saja terpisah dari kekayaan pada berbagai tingkat, misalnya kebahagiaan dan kesehatan.
 
     Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) yang diterbitkan pada 2020, Norwegia menempati peringkat teratas sebagai negara yang paling makmur di dunia, diikuti oleh Irlandia, Swiss, Hong Kong, dan Islandia.
Lantas, apa dan bagaimana yang disebut dengan Obsesi Kemakmuran Petani itu sendiri ? 
 
     Obsesi adalah ide atau perasaan yang sangat merasuki pikiran. Petani makmur sendiri merupakan potret kehidupan petani yang dalam kiprah kesehariannya, telah mampu menjawab sekaligus menyelesaikan masalah lahir batin kehidupannya. Dengan demikian, Obsesi Petani Makmur lebih memberi makna adanya harapan kehidupan yang lebih baik bagi petani.
 
     Gambaran petani di negara kita, belumlah seindah yang dibayangkan. Petani, terlebih petani gurem dan petani buruh, terekam masih hidup nelangsa dan memprihatinkan. Hanya sebagian kecil, petani yang dapat merasakan nikmatnya pembangunan. Akibatnya lumrah, jika kemudian banyak pihak yang memvonis petani identik dengan korban pembangunan.
 
     Menyedihkan, memang ! Tidak seharusnya petani menjadi korban. Di negeri ini, petani memiliki hak untuk hidup sejahtera. Kewajiban Pemerintahlah untuk mensejahterakan nya. Itu sebabnya, siapa pun yang diberi amanah rakyat untuk mengelola bangsa dan negara, sudah sepatutnya mereka jangan sampai melupakan hak petani dan kewajiban Pemerintah atas petani.
 
     Di sisi lain, banyak pihak mempertanyakan, mengapa sebagai bangsa yang telah mampu menyabet penghargaan dunia atas kisah sukses Swasembada Beras, nasib dan kehidupan petaninya masih hidup menderita ? Apakah tidak ada korelasi positip antara swasembada beras dengan kesejahteraan petani ? Bukankah bila produksi berlimpah, maka penghasilan petani akan semakin membaik ?
 
     Pertanyaan ini wajar mengemuka. Aneh bukan, kok bisa bila produksi meningkat maka kesejahteraan petani jalan ditempat ? Yang betul adalah jika petani mampu menggenjot produksi hingga tercapai swasembada, mesti ya penghasilan petani jadi meningkat, sehingga kesejahteraan petani jadi semakin membaik dan tidak lagi jalan ditempat.
 
     Anggapan kalau produksi meningkat otomatis kesejahteraan petani semakin membaik, kelihatannya perlu segera dihapus dari benak kita bersama. Sebab, fakta menunjukan, naiknya produksi, ternyata belum mampu mendingkrak penghasilan petani. Mengapa ? Jawabannya, karena yang namanya kesejahteraan petani akan dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya, faktor harga di petani.
 
     Selama jebakan harga gabah di saat panen raya masih terus berlangsung, seperti harga gabah yang selalu anjlok, maka selama itu pula kesejahteraan petani sulit untuk membaik. Ini yang membuat kita sering geleng-geleng kepala. Kenapa ya, Pemerintah seperti yang tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan harga gabah pada saat panen raya ?
 
     Lalu, bagaimana dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki untuk melahirkan kebijakan perlindungan dan pembelaan terhadap petani ? Untuk komoditas gabah dan beras misalnya, selama ini Pemerintah tampil dengan menerapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan Harga Eceran Tertinggi (HET). Sayang, kebijakan ini terkesan kalah hebat ketimbang kekuatan pasar sebagai penentu harga.
 
     Bila kita bicara soal kesejahteraan dan kemakmuran petani, faktor harga jual gabah di tingkat petani, betul-betul sangat menentukan. Cukup mengagetkan, mengapa setiap musim panen tiba, harga gabah selalu anjlok ? Padahal, jauh-jauh hari sebelum tiba panen raya, petani sering bersuara dan minta kepada Pemerintah untuk menjaga harga gabah agar tetap berada pada tingkat yang menguntungkan petani.
 
     Bagi sebagian besar petani di negeri ini, panen raya kerap kali dipersepsikan sebagai momen untuk menjemput dan menghadirkan masa depan yang lebih baik. Panen raya merupakan kesempatan emas untuk dapat berubah nasib. Penantian panjang sekirar 3 bulan lebih, pasti akan membuat para petani kecewa berat, jika harga jual gabah petani di saat panen raya anjlok. 
 
     Suara petani seperti ini, tentu sudah terdengar oleh Pemerintah. Bahkan ada pejabat Pemerintah yang meminta kepada segenap stakehorders perberasan untuk menjaga agar harga gabah tidak anjlok pada saat panen raya. Catatan kritisnya, mengapa sekalipun Pemerintah sudah memahami dengan baik apa yang nenjadi aspirasi petani, saat panen raya harga gabah tetap anjlok ?
 
     Membingungkan ! Mengapa setiap panen raya harga gabah selalu anjlok ? Padahal, beberapa waktu sebelumnya, para petani sempat riang gembira, karena harga gabah di perani mampu menembus angka Ro.7000,- per kg. Sayang, kegembiraan petani tidak berlangsung lama. Saat panen raya tiba, harga gabah lagi-lagi anjlok seperti musim panen yang lalu-lalu.
 
     Tak terbayang, jika suasana anjloknya harga gabah saat panen raya menjadi nilai kehidupan dalam dunia pertanian di Tanah Merdeka, boleh jadi yang namanya kemakmuran petani, tetap mengedepan sebagai cita-cita. Persoalannya adalah apakah kita tidak memiliki kemampuan untuk melahirkan terobosan cerdas agar pada saat panen raya, harga gabah sesuai dengan yang diinginkan para petani ?
 
      Sebagai warga bangsa yang telah mampu mengharumkan nama bangsa dan negara di panggung internasional melalui kisah sukses swasembada beras, keberadaan petani benar-benar sangat strategis dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Petani harus dibela dan dilindungi, kalau ada pihak-pihak yang ingin meminggirkannya dari pentas pembangunan.
 
     Itu sebabnya, ke depan kita berharap agar di negeri ini, tampil pemimpin bangsa yang tanpa paksaan berkenan untuk memuliakan para petani. Sosok ini dimintakan untuk berani membawa pedang samurai dalam rangka memakmurkan kehidupan kaum tani. Andai semangat ini dapat diwujudkan, “obsesi kemakmuran petani”, tentu bakal kita buktikan dalam kehidupan sehari-hari. Saatnya, kita jelang suasana tersebut.
 
(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

JEBAKAN IJON !

JEBAKAN IJON ! OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Ijon adalah praktik jual beli atau perjanjian pinjaman yang melibatkan tanaman atau hasil

Read More »

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah Hj. Teti Yatmikasari, S.Pd, MM Kepala SDN Majalaya 09 Kab Bandung Semoga almarhum diampuni dosanya

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *