2 July 2024 09:02
Opini dan Kolom Menulis

“Nu Dibendo”

NU DI BENDO

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Dalam kehidupan masyarakat Sunda ada yang disebut dengan bendo. Diterjemahkan secara bebas, bendo sendiri diartikan sebagai tutup kepala yang terbuat dari kain. Dalam pemahaman lain, bendo menggambarkan kekuasaan seseorang atau rezim. Jadi, kalimat “nu di bendo” identik dengan “nu kawasa” atau “yang berkuasa”.

Kekuasaan dan kewenangan berada dalam genggaman penguasa. Dalam sistem Pemerintahan yang menganut prinsip demokrasi, untuk merebut kekuasaan sangat ditentukan oleh rakyat. Pilihan rakyat secara langsung yang akan menentukan jadi pemimpin bangsa. Itu sebabnya, demokrasi bisa dimaknai pula sebagai kedaulatan ada di tangan rakyat.

Di negara kita, alat untuk memilih pemimpin bangsa, dilakukan melalui proses Pemilihan Umum. Belum lama ini, kita sudah melewati proses tersebut, sehingga untuk 5 tahun ke depan (2024-2029) kita sudah memiliki Presiden terpilih dan Wakil Rakyat terpilih. Tidak lama lagi, kita juga akan melangsungkan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota).

Pengalaman membuktikan, untuk meraih posisi “nu di bendo”, dalam suasana kekinian, bukanlah hal yang gampang untuk diraih. Selain memerlukan dukungan politik dari Partai Politik, juga sangat membutuhkan dana yang cukup besar. Menjadi pemimpin bangsa, tidak ada yang gratis. Tanpa modal kuat, jangan mimpi jadi “nu kawasa”.

Kekuasaan dan kewenangan, sejatinya merupakan amanah yang harus diwujudkan oleh orang-orang terpilih. Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota adalah orang-orang di jajaran eksekutif yang dipercaya rakyat untuk menyelenggarakan Pemerintahan. Sedangkan di kalangan legislatif, rakyat mempercayakannya kepada para Wakil Rakyat (DPD, DPR RI, DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II).
“Nu di Bendo” atau “penguasa”, mestinya mampu menampilkan diri sebagai panutan rakyar yang telah memilihnya. Sebagai panutan penguasa pun dituntut untuk dapat mempertontonkan keteladanan dalam kiprah hidup sehari-harinya. Contoh, ketika Pemerintah mengkampanyekan program diversifikasi pangan, mereka perlu memberi teladan kepada rakyat untuk mengurangi konsumsi nasi.

Artinya, mana mungkin program diversifikasi pangan akan sukses, bila pemimpinnya sendiri setiap saat masih mengkonsumsi nasi. Padahal, akan lebih keren dan mendukung penuh keinginan meragamkan pola makan, kalau pemimpinnya pun mengkonsumsi nasi jagung atau nasi singkong sebagai psngan pokoknya. Yang penting jangan sampai terlihat hanya mengkonsumsi nasi. Apalagi terlihat rewog.

Kalau tidak memiliki karakter dan moral yang baik, yang namanya “nu di bendo” terkadang memiliki kesesatan berpikir dalam melakoni kehidupannya. Merasa diri punya kekuasaan dan kewenangan, terkadang “nu di bendo” lupa atas kehormatan dan tanggung-jawab yang diembannya. Istilah “ceuk saya soto nya soto. Padahal yang sebenarnya sayur lodeh”.

Gaya dan model kepemimpinan yang enggan dikritik, kelihatannya mulai mewabah dalam pribadi “raja kecil” yang ada di daerah. Mereka ingin apa yang ditempuhnya benar semua. Mereka akan marah jika ada stafnya yang mencoba memberi saran pendapat atas masalah yang dihadapi. Bahkan mereka pun bisa memutasi pejabat yang tidak loyal ke daerah yang terpencil.

Akibatnya wajar, jika dalam kehidupan birokrasi di Pemerintahan Daerah, apa yang disampaikan Kepala Daerahnya, dinilai sebagai “sabda pandito ratu”. Kepala Daerah adalah segalanya. Hanya dirinya yang dapat memindahkan jabatan seseorang dari yang basah ke kering atau sebaliknya. Alhasil, seluruh staf yang ada di Pemda, pasti tidak akan berani menolak apa yang dititahkan Kepala Daerah.

Tidak hanya itu. Selain soal mutasi jabatan, Kepala Daerah pun memiliki kekuasaan dan kewenangan untuk mengelola tata ruang dan wilayah daerahnya. Tidak boleh ada seorang pejabat pun di daerah yang berani mengurak-atik tata ruang. Kepala Daerah seolah-olah memiliki kewenangan untuk “menghitam-putihkan” ruang yang dikuasainya.

Satu lagi yang jadi kekuasaan mutlak Kepala Daerah adalah soal penetapan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD). Bersama TAPD (Tim Anggaran Pembangunan Daerah) yang dipimpin Sekretaris Daerah, Kepala Daerah akan melakukan lobi politik dengan Panitia Anggaran di DPRD. Setelah kompromi politik disepakati, maka APBD pun ditetapkan secara bersama.

“Nu di Bendo” memang tidak bisa dilawan. Di negeri ini, nu di bendo seolah menguasai semua jabatan dan staf yang ada dilingkungan kekuasaannya. Dirinya ibarat raja yang bisa bersikap sesukanya. Kalau dirinya sedang mujur, maka perilaku buruknya tida akan pernah ketahuan. Tapi, bila sedang apes, seabreg keburukannya pasti akan dikenali semua orang.

Itulah yang kini menimpa mantan Menteri Pertanian. Dalam Sidang Kasus Korupsi dan Grativitasi di Kementerian yang dipimpinnya terekam perilaku yang tidak terhormat. Bayangkan, kok bisa dirinya menggunakan anggaran Kementerian untuk membayar kartu kredit pribadinya atau membayar cicilan kredit mobil pribadi. Lebih sedih lagi, untuk memenuhi permintaan tersebut para pejabat di Kementerian terpaksa harus urunan.

 

Munafik

MUHASABAH SHUBUHSelasa, 2 Juli 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUNAFIQ Saudaraku, ketahuilah bahwa sifat munafik adalah sifat yang merusak ahlak manusia,

Read More »

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 30 Juni 2024Awa Koswara, S.PdGuru SDN Cibeunying 2 Majalaya Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *