6 October 2024 09:35
Opini dan Kolom Menulis

NILAI RAPOR DAN REFLEKSI PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI Oleh: IDRIS APANDI (Praktisi Pendidikan)

NILAI RAPOR DAN REFLEKSI PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI

Oleh: IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)

Pada akhir tahun ajaran, peserta didik mendapatkan buku rapor. Nilai yang tertera pada buku rapor adalah cerminan pencapaian kompetensi peserta didik selama satu tahun ajaran. Nilai buku rapor juga sebagai bentuk informasi dari satuan pendidikan kepada orang tua peserta didik, dasar kenaikan kelas, dan dapat menjadi salah satu persyaratan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Pada buku rapor, selain tercantum nilai yang bersifat kuantitatif, juga tercantum deskripsi ketercapaian kompetensi peserta didik yang biasanya menginformasikan hal yang menonjol dan hal yang masih perlu bimbingan. Idealnya, guru dalam memberikan deskripsi ketercapaian kompetensi peserta didik diharapkan secara otentik, objektif, apa adanya sehingga informasi yang disampaikan benar-benar tepat dan akurat sehingga peserta didik, dan orang tua tahu kondisi faktualnya.

Begitu pun guru dan wali kelas yang berada pada kelas atau jenjang lebih tinggi. Nilai rapor bisa menjadi pertimbangan dalam memberikan layanan pembelajaran kepada seorang peserta didik. Apa hal yang menjadi keunggulannya dan hal yang kurang menonjolnya. Hal yang menjadi keunggulannya bisa dikembangkan atau ditingkatkan agar seorang peserta didik bisa mencapai prestasi terbaik, sedangkan hal yang tidak terlalu menonjol, jangan terlalu dipaksakan untuk ditingkatkan karena akan membuat peserta didik tidak stres. Cukup mencapai level kompetensi minimum saja.

Harapan yang ideal tersebut ambyar saat guru menggunakan e-rapor yang sudah disertai dengan template deskripsi ketercapaian kompetensi peserta didik. Saat seorang guru memasukkan nilai peserta didik, maka otomatis deskripsi ketercapaian kompetensinya muncul. Jika ada beberapa anak yang memiliki nilai yang sama, misalnya 75, maka deskripsi ketercapaian kompetensinya sama padahal mungkin saja kondisi faktual ketercapaian kompetensi mereka beragam.

Misalnya si A, si B, si C, dan si D sama-sama mendapatkan nilai 75 di buku rapor. Walau nilainya sama, tetapi mungkin saja ketercapaian kompetensinya berbeda. Si A unggul di matematika tetapi lemah di bahasa. Si B sebaliknya, unggul di bahasa tetapi lemah di matematika. Si C unggul pada bidang seni dan prakarya tetapi lemah dalam olah raga. Sedangkan di D unggul dalam olah raga tetapi lemah dalam IPA. Inilah gambaran begitu kompleksnya soal penilaian kompetensi peserta didik, apalagi kalau peserta didiknya puluhan orang sehingga atas pertimbangan kemudahan dan kepraktisan, guru menggunakan aplikasi e-rapor yang sudah ada template ketercapaian kompetensi walau dampaknya informasi yang diberikan kepada peserta didik dan orang tua menjadi kurang jelas dan kurang akurat.

Pada buku rapor selain tercantum nilai akademik dari mata pelajaran kurikulum nasional, muatan lokal (mulok) daerah, dan kurikulum khas satuan pendidikan (bagi sekolah-sekolah tertentu), juga tercantum nilai kegiatan ekstrakurikuler beserta kategori atau deskripsinya. Untuk memfasilitasi minat dan bakat peserta didik, sekolah menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler (ekskul). Ada kegiatan eksul wajib seperti pramuka dan ekskul pilihan yang disesuaikan dengan minat, bakat, dan kondisi satuan pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas, dalam konteks pembelajaran berdiferensiasi, nilai rapor dapat menjadi sarana refleksi pembelajaran untuk peserta didik, guru, satuan pendidikan, dan orang tua peserta didik. Dulu, yang disebut anak cerdas adalah anak yang nilai semua mata pelajarannya (harus) 8, 9, bahkan 10 walau kadang penguasaannya terhadap materi hanya bersifat kognitif dan nilai didapatkan melalui satu tes terstandar seperti paper and pencil test.

Nilai kuantitatif yang tercantum pada rapor dianggap menjadi segala-galanya dalam menggambarkan ketercapaian kompetensi peserta didik. Paradigma inilah yang perlu diluruskan dan diubah. Seorang anak yang berprestasi tidak harus unggul pada setiap mata pelajaran yang diikutinya, tetapi bisa saja berprestasi pada bidang tertentu yang diminatinya secara tekun.

Fakta empirik dalam kehidupan nyata, banyak orang yang waktu sekolah nilai rapornya standar minimalis, prestasinya biasa-biasa saja alias tidak menonjol tetapi sukses menjadi wirausaha, pengusaha, atau jadi karyawan berprestasi. Oleh karena itu, nilai rapor atau IPK bagi lulusan PT tidak menjadi jaminan untuk mencapai sukses di masa depan, tetapi bisa menjadi bekal untuk dioptimalkan dalam mencapai cita-cita.

Selain nilai akademik, ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan seperti kesungguh-sungguhan, keuletan, dan kerja keras. Hasil penelitian Howard Gardner menunjukkan bahwa kesuksesan seseorang 20% ditentukan oleh hard skill (pengetahuan dan keterampilan teknis) dan 80% ditentukan oleh soft skills (mental yang kuat, ulet, gigih, pantang menyerah, kemampuan beradaptasi, kreativitas, dll.).

Selain penggunaan satu jenis tes terstandar, penerapan sistem rangking juga membuat setiap anak dipaksa baik oleh guru maupun orang tua untuk mendapatkan nilai setinggi-tingginya agar disebut berprestasi. Akibatnya, banyak anak yang sebenarnya tertekan dengan kondisi seperti itu.

Anak yang mendapat rangking yang bagus mungkin merasa senang dan gembira. Orang tuanya pun merasa bangga. Hal berbeda dialami oleh anak yang mendapatkan rangking rendah. Dia minder, malu, kurang percaya diri, menyembunyikan buku rapornya, tidak boleh dibaca oleh orang lain, bahkan oleh orang tuanya sendiri karena takut dimarahi. Kadang orang tuanya pun ada yang merasa kecewa saat melihat nilai rapor anaknya jelek lalu memarahinya. Bukan memotivasinya. Kemudian membanding-bandingkan dengan anak yang lain. Hal ini yang membuat seorang anak kena mental, semakin merasa tertekan dan merasa tidak berguna di lingkungan keluarga dan teman-temannya.

Beberapa waktu yang lalu viral di media sosial ada orang tua yang memberikan apresiasi, happy, dan tetap bangga pada anaknya saat anaknya memperlihatkan rapornya dan berada pada rangking 27 dari 27 orang peserta didik alias posisi paling buncit. Orang tua anak tersebut kemudian menulis pesan bahwa mungkin saja di bidang akademik kemampuan anaknya rendah tapi pada aspek nonakademik, anaknya memiliki keunggulan. Pesan bijak tersebut layak diapresiasi dan bisa menjadi inspirasi bagi para orang tua lainnya. Intinya, setiap anak bisa berprestasi pada bidang sesuai minat dan passion-nya masing-masing. Setiap orang tua tentunya memiliki harapan bahkan ego terkait masa depan anaknya, tetapi orang tua yang bijak tentunya tidak boleh memaksakan keinginannya kepada anak terkait pilihan pekerjaannya di masa depan.

Orang tua (dan juga guru) perlu memberikan apresiasi bagaimana pun ketercapaian kondisi peserta didik. Perjalanan anak dalam mencapai cita-cita masih jauh, masih ada proses yang akan dilalui oleh mereka. Dan dalam menjalani proses tersebut, bisa saja terjadi perubahan. semangat belajarnya meningkat dan prestasinya pun meningkat karena mendapatkan layanan pembelajaran yang sesuai dengan minat dan karakteristiknya.

Setiap anak adalah unik. Memiliki kecerdasan yang beragam. Tugas orang tua dan guru adalah memfasilitasi layanan pembelajaran yang sesuai dengan minat dan passion anak. Setiap anak berhak dan bisa sukses pada bidang yang ditekuninya masing-masing. Inilah substansi dan esensi pendidikan yang berpihak kepada peserta didik.

Idris Apandi

Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *