20 November 2024 08:21
Opini dan Kolom Menulis

Ngegel Curuk

NGEGEL CURUK

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Ngegel curuk dalam bahasa Sunda diartikan “handeueul sabab teu kabagean atawa teu meunang nu dipiharep”. Dalam bahasa Indonesianya, memiliki makna kiasan sama dengan ungkapan gigit jari, artinya kecewa, tidak mendapatkan apa yang diharapkan.
Contoh kalimat nya “Dadang ngan ukur bisa ngégél curuk sabab celana Cinos di Mall anu dicirian ku manehna geus dibeuli ku batur”. Artinya ‘Dadang hanya bisa kecewa karena celana Cinos di Mall yang ia incar sudah dibeli orang’.

Dalam kehidupan keseharian, ngegel curuk lebih mengedepan sebagai sikap kekanak-kanakan (childness). Sikap ini mestinya tidak perlu terjadi. Bagi sebagian orang perilaku menggigit-gigit jari, bisa juga sebagai ekspresi kegugupan. Semua ini berlangsung secara spontan, tanpa ada komando terlebih dahulu. Untung, sampai saat ini kita belum mendengar ada orang yang gigit jari sampai putus jarinya, karena dirinya kecewa yang cukup dalam.

Di negeri ini, orang yang mengalami rasa kecewa, mungkin hanya sampai menggigit jari. Beda dengan di Jepang atau Korea. Di negeri sahabat tersebut, banyak kaum muda yang kecewa langsung bunuh diri. Terlebih bila dirinya dikecewakan oleh kekasihnya. Di negara kita, rupanya belum separah itu. Kalau ada pemuda diputus kasihnya oleh gadis yang dicintainya, boleh jadi hanya sampai dengan gigit jari. Setelah sekian lama, dirinya langsung mencari penggantinya.

Itu di satu sisi. Di sisi yang lain, khususnya disaat bangsa ini menyelenggarakan Pesta Demokrasi, sering kita saksikan banyak calon anggota DPR/DPRD yang merasa kecewa karena dirinya gagal menjadi Wakil Rakyat. Bagi mereka yang bercita-cita ngantor di Senayan, Jakarta sebagai anggota DPR/MPR, akhirnya hanya tinggal kenangan. Hasrat untuk menjadi pemimpin rakyat, pupus sudah. Seabreg dana yang telah dikeluarkan, habis seperti yang tak berbekas.

Dana kampanye yang cukup besar, tidak mampu mendongkrak raihan suara. Mereka lupa, rakyat sekarang sudah semakin cerdas, setelah sekian lama mencermati proses Pemilihan Umum secara langsung. Di depan setiap calon anggota DPR/DPRD yang ikut mencalonkan diri, rakyat akan manggut-manggut, seolah mereka menjadi pendukung utama. Namun, ketika Hari H, ketika saat pencoblosan/pencontrengan di laksanakan mereka lebih mengedepankan pilihan nurani nya. Soal “amplop” yang diterimanya, itu sih urusan nanti.

Setelah gagal lalu ngegel curuk, boleh jadi sikap itu merupakan wujud kekecewaan yang sangat ringan. Ada juga calon yang gagal terpilih sebagai Wakil Rakyat yang menjadi “langlang lingling” ibarat orang gila. Dirinya memaki orang yang dipercaya jadi Tim Sukses pemenangan dirinya. Mengapa ysng terjadi malah Sukses Tim, bukan sukses dirinya jadi anggota legislatif. Dirinya baru tahu, dana ysmg digelontorkan untuk konsituennya, banyak disunat untuk kebutuhan Tim Sukses.

Hal yang tidak jauh berbeda, juga dialami oleh para pemimpi jadi Kepala Daerah, baik Gubernur, Bupati dan Walikota. Di negeri ini, dalam situasi kepolitikan sekarang, tidak ada satu pun jabatan publik yang dapat diraih dengan gratis. Untuk merebutnya dibutuhkan dana yang cukup besar. Seorang sahabat yang bercita-cita menjadi seorang Walikota, sampai harus mrnggadaikan sekitar 50 sertifikat tanah keluarga besarnya guna kelancaran pencalonannya. Jabatan Walikota saja butuh dana puluhan milyar untuk merebutnya. Pasti akan lebih besar lagi jumlahnya untuk jabatan Gubernur.

Bukan hanya di dunia politik saja, kita harus siap dengan rasa kecewa. Dalam dunia bisnis pun, jari kita harus selalu bersih dan siap untuk digigit. Para pengusaha yang mengandalkan bisnisnya dari APBN/APBD harus siap dengan kekalahan dalam tender proyek. Sistem koneksi dan katabelece, saat ini sudah tidak bisa lagi digarap. Sebab, sekalinya apes, karena kena Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya, maka yang bakal diraih bukannya keuntungan, tapi dirinya harus tinggal di Hotel Pordeo.

Contoh lain terkait dengan ngegel curuk ini adalah ketika Hari Lebaran tiba. Banyak pihak yang berharap dalam meramaikan Hari Kemenangan ini seorang kawan lama, sangat berharap akan kembali mendapat THR dari teman sekampungnya yang kini jadi pejabat Eselon 1 di Kementerian. Setiap tahun dirinya diberi THR. Entah kenapa untuk Lebaran kali ini, teman baiknya itu tidak mengirim THR. Akibatnya wajar bila dirinya tampak kecewa dan hanya mampu ngegel curuk saja.

Atas berbagai teladan yang dikemukskan diatas, perilaku ngegel curuk, pasti akan semakin sering terjadi. Harapan yang begitu tinggi, terbukti tidak mampu melawan realita ysng ada. Menggantungkan cita-cita setinggi langit, kini hanya ada di atas kertas. Ungkapan ini terkesan semakin tidak realistik. Hal ini identik dengan keinginan untuk menangkap bayangan diri sendiri. Semakin didekati, maka semakin menjauh. Ke depan, masih banyak harapan yang bisa jadi kenyataan. Tinggal bagainana kita mampu menyikapinya.

Setelah terowongan panjang selalu akan ada cahaya. Sikap optimis harus selalu melekat dalam nurani anak bangsa. Jauhkan sikap pesimis. Masa depan bangsa yang cerah, jelas masih dapat kita kejar. Hilangkan sikap keraguan, kita tidak akan mampu mengejarnya. Disinilah diperlukan adanya inovasi dan teknologi. Bermodalkan integritas dan terus menerapkan pendekatan sinergitas dan kolaborasi, kita yakin segudang tantangan yang menghadang, bakal mampu kita selesaikan dengan baik.

Orang yang sering ngegel curuk, ke depan tidak perlu terjadi lagi. Setiap harapan yang ingin diraih, harus mengacu kepada kenyataan. Sebelum mengumbar sesuatu, ada baiknya dikaji dengan seksama. Sudah tidak jamannya lagi kita menyimpan hasrat seperti yang mengecat langit. Ciptakan suatu keinginan yang betul-betul menapak bumi. Buat cita-cita yang lebih terukur dan akuntabel. Jangan lagi membodohi rakyat dengan ungkapan yang cuma asal bunyi. Hindarkan pencitraan dalam menampilkan diri. Jangan sampai semuanya jadi kebohongan publik.

Warga Jawa Barat misalnya tentu tidak ingin ngegel curuk, ketika Visi mewujudkan Jawa Barat Juara tidak tercapai. Kesalahannya, jelas bukan di tangan warga Jawa Barat, namun tetap berada di pencetus Visi tersebut. Pertanyaannya adalah apakah Jawa Barat Juara itu, memang keinginan dan kebutuhan rakyat Jawa Barat atau hasrat politik seseorang yang ingin mendapat dukungan rakyat dalam kampanye politiknya ?

Artinya, kalau sampai akhir jabatannya, Jawa Barat tidak lagi juara dalam hal peningkatan produksi padi tertinggi di Indonesia, bahkan tersalip oleh Jawa Tengah dalam beberapa tahun terakhir ini, tentu sangat keliru kslau para petani yang disalahkan. Namun akan lebih bijak, jika pencetus Visi itulah ysng perlu segera berkaca diri, lantas merenung dan membuat jawaban cerdas, mengapa Jawa Barat tidak dapat jadi Juara dalam hal peningkatan produksi padi di negeri ini.

Semoga di masa mendatang, khususnya setelsh hajatan demokrasi, tidak terlalu banyak anak bangsa yang harus ngegel curuk karena ambisi politiknya tidak tercapai.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Wafat Setelah Mengucapkan Kalimat Tauhid

𝓑𝓲𝓼𝓶𝓲𝓵𝓵𝓪𝓪𝓱𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓶𝓪𝓪𝓷𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓲𝓲𝓶Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuuh Wafat Setelah Membaca Kalimat Tauhid عن معاذ بن جبل رضي الله عنه قال ،قال رسول

Read More »

PERAN STRATEGIS KP3

PERAN STRATEGIS KP3 OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Sebagaimana dijelaskan dalam Keputusan Direktur Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian tentang Petunjuk Teknis

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *