29 November 2024 17:46
Opini dan Kolom Menulis

“NGALEUEUT PIKEUN NGADAMEL SAWATARA MIMITI”

“NGALEUEUT PIKEUN NGADAMEL SAWATARA MIMITI”
 
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
 
     Kata-kata “buhun ngaji diri” ngaleueut pikeun ngadamel sawatara mimiti” bisa diterjemahkan sebagai bersabar untuk mencapai sesuatu yang dimulai. Pengertian ini, tentu sangat relevan dengan suasana kekinian, dimana banyak anak bangsa yang sekarang ini terekam sedang mengadu nasib untuk menjadi pemimpin bangsa, baik dikalangan eksekutif atau legislatif. 
 
     Di era Orde Baru, untuk menjadi “Wakil Rakyat”, seorang kader politik harus sabar dan telaten. Mencapai puncak ada berbagai persyaratan yang harus dilalui. Banyak pelajaran berharga yang harus dilalui, sebelum dirinya menyandang atribut “yang terhormat”. Seorang kader harus melalui banyak saringan dan seleksi cukup ketat sebelum ditugaskan menjadi anggota legislatif. 
 
     Calon Wakil Rakyat, biasanya akan mempersiapkan diri terlebih dahulu dalam kelemvagaan Kelompok Kerja (Pokja). Selama 5 tahun dirinya akan belajar memahani dan mendalami masalah yang ada di Pokja. Setelah itu, mereka yang tersaring dan terpilih akan digodok di kelembagaan Badan Pengelola Kader (BAPEKADA) juga selama 5 tahun. Kalau terpilih maka dirinya akan masuk dalam Pengurus Dewan Perwakilan Daerah. Selama 5 tahun pula dirinya akan mengasah diri.
 
     Bayangkan 15 tahun seorang kader politik digodok di kawah candradimuka sebelum dirinya diberi tiket untuk menjadi seorang Wakil Rakyat. Itu pun kalau yang bersangkutan dinilai pantas untuk ditugaskan menjadi Wakil Rakyat. Berpegang kepada ukuran Prestasi, Dedikasi, Loyalitas dan Tidak Tercela (PDLT), seorang kader politik akan diberi kesempatan untuk menjadi Wakil Rakyat yang berkualitas. Yang gagal, ya berjuang lagi selama 5 tahun.
 
     Kata-kata buhun “ngaji diri”, ngaleueut pikeun ngadamel sawatara mimiti, memang menjadi salah satu ukuran dalam memulai sesuatu. Termasuk memulai menjadi Wakil Rakyat. Menjadi Wakil Rakyat bukan hanya sekedar untuk ngantor di Senayan Jakarta atau di depan Gedung Sate, Bandung. Apalagi jika niat dasar nya hanya dijadikan profesi pekerjaan demi mengebulkan asap dapur kekuarganya. 
 
     Seorang Wakil Rakyat mengemban kehormatan dan tanggungjawab yang sangat mulia. Itu sebabnya, sangat pas jika Wakil Rakyat sering disebut sebagsi “yang terhormat”. Akan tetapi, jika saat ini kita saksikan adanya Wakil Rakyat yang korupsi, sehingga harus mengenakan rompi berwarna orange, apakah Wakil Rakyat masih cocok disebut yang terhormat ? Ah, rasanya tidak. Mereka yang ketangkap KPK, Kejaksaan dan Polri lebih pantas disebut sebagai “pengkhianat rakyat”.
 
     Kita sendiri tidak tahu dengan pasti, mengapa di era Orde Baru jarang terdengar adanya Wakil Rakyat di setiap tingkatan Pemerintahan yang terseret perilaku korup ? Namun sebaliknya, di era Reformasi banyak para Wakil Rakyat yang harus menjadi penghuni Lapas Sukamiskin di Bandung. Bahkan tidak tanggung-tanggung yang namanya Ketua DPR pun kini masih mendekam di penjara, karena terjerat kasus Papa Minta Saham.
 
     Terlepas dari banyaknya para Wakil Rakyat yang harus berhubungan dengan Aparat Penegak Hukum, tapi yang namanya Wakil Rakyat, bukanlah jabatan yang begitu gampang untuk diraih. Selain membutuhkan ketelatenan dan kesabaran untuk melewati tahapan demi tahapan, ternyata sekarang ini dibutuhkan modal yang tidak kecil untuk menggapainya. Tanpa modal yang kuat, jangan harap mampu menjadi seorang Wakil Rakyat.
 
     Tidak lama lagi, tepatnya 14 Pebruari 2024, kembali bsngsa ini akan memilih para Wakil Rakyat periode 2024-2029. Berbagai baligo berukuran jumbo sudah dapat kita temukan di tempat-tempat strategis dan banyak mengundang rakyat untuk melihatnya. Disamping itu, kita juga saksikan banyak spanduk fan poster yang bertebaran di berbagai tempat. Semua itu wajar terjadi, karena para calon Wakil Rakyat ingin merebut simpati para pemilih sebesar-besarnya.
 
     Catatan kritisnya adalah mengapa yang jadi ukuran menjadi Wakil Rakyat mestilah orang yang memiliki sumber dana yang kuat dan tidak lagi mengandalkan kekuatan idealisme dan kemampuan intelektual ? Lalu, apakah benar, hanya orang-orang yang memiliki kedekatan dengan para pemilik partai politik dan bermodal kuat saja yang bakal mampu menjadi Wakil Rakyat, baik di tingkat Pusat atau pun Daerah. 
 
     Fenomena lain yang muncul di era Reformasi adalah adanya “pewarisan” jabatan politik dari seseorang kepada orang dekatnya. Di beberapa Kabupaten/Kota, seorang Kepala Daerah cenderung meminta isteri atau anak-anaknya untuk melanjutkan kepeminpinannya. Jabatan Bupati atau Walikota yang diwariskan kepada orang terdekat, sudah sering kita lihat. Bahkan bisa saja sebuah keluarga menjadi Kepala Daerah selama 15 tahun.
 
     Dalam dunia kepolitikan, yang namanya jabatan politik, memang harus direbut. Lewat sistem Pemilihan Umum secara langsung, tidak ada lagi jabatan politik yang sifatnya gratis. Bukan hanya jabatan Wakil Rakyat yang memerlukan modal cukup besar, tapi untuk jadi Kepala Daerah, malah membutuhkan dukungan dana yang jauh lebih besar lagi. Sebagai gambaran, jadi Bupati di Jawa, butuh modal sekitar puluhan milyar rupiah.
     Biaya yang dikeluarkan akan lebih besar lagi, sekiranya ingin merebut jabatan Gubernur. Bagi seseorang yang tidak kuat dukungan cuan nya, jangan bermimpi jadi Kepala Daerah tingkat Provinsi. Atas gambaran yang demikian, posisi jabatan publik, hanya akan bisa diraih oleh orang-orang tertentu, yang secara lahiriah nemiliki kekuatan cuan yang kuat. Akibatnya wajar, jika saat ini banyak Wakil Rakyat yang berbasiskan sosok pengusaha.
 
     Akhirnya penting diingatkan, untuk meraih posisi apapun dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat, dibutuhkan kesabaran dan ketelatenan dalam mengarunginya. Berbagai pengalaman yang diutarakan diatas, diharapkan mampu menjadi bahan pembelajaran kita bersama. Terlebih bagi mereka yang bercita-cita untuk menjadi pejabat publik.
 
     Semoga kata-kata buhun yang dipaparkan dalam tulisan ini, mampu memberi pencerahan tentang pentingnya kita “berkaca diri” sebelum memutuskan keinginan yang akan diraih.
 
(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Wayang Kehidupan

Wayang kehidupan (Tatang)    Pentas sekejap menguras air mata Emosi jiwa melanda Menata masa mengingat rasa Rindu menggebu mengingat ibu

Read More »

Nasib “Petani Jerami”

NASIB “PETANI JERAMI” OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Ketika masih menjabat Gubernur Jawa Barat, Kang Emil sapaan akrab Ridwan Kamil, menawarkan

Read More »

Pelangi Pematang Sawah

Pelangi Pematang Sawah (Tatang Rancabali) Masa mudaku lekat keringat Memeluk peluh penuh keluh Pundak hendak memikul beban Gelandang menuju gelanggang

Read More »

Murah Hati

MUHASABAH DIRIKamis, 28 November 2024 BismillahirahmanirahimAsalamu’alaikum wrm wbrkt MUTIARA HATI Saudaraku,Hidup ini disebut  enteng enteng bangga Namun agar hidup ini

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *