4 July 2024 10:55
Opini dan Kolom Menulis

NERAKA IKLIM

NERAKA IKLIM

OLRH : ENTANG SASTRAATMADJA

Presiden Jokowi dalam salah satu kesempatan, mewanti-wanti potensi 50 juta petani kekurangan air, lantaran kondisi iklim yang kurang bersahabat dengan dunia pertanian dan kehidupan kaum tani. Hal ini patut dicermati dengan seksama, mengingat dunia akan menuju pada “neraka iklim”, dengan suhu mencapai rekor tertinggi untuk lima tahun ke depan.

Suasana ini betul-betul merisaukan. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan “warning” dari Badan Pangan Dunia (FAO), yang menyatakan, kalau masalah ini tidak segera dicarikan jalan keluarnya, dipredikasi pada tahun 2050, warga dunia bakal dilanda kelaparan. Itu sebabnya, cukup beralasan, jika Pemerintah, baik Pusat atau Daerah, perlu lebih cerdas dalam membaca isyarat jaman yang tengah bergulir.

Adanya iklim ekstrim, membuat banyak negara agraris cukup kesulitan dalam mengelola pembangunannya. Salah satunya adalah negara kita. Adanya El Nino melahirkan gagal panen di banyak sentra produksi padi dengan angka cukup terukur. Akibatnya, produksi beras turun cukup signifikan, sehingga melahirkan masalah ikutannya, yang berujung terganggunya ketahanan pangan bsngsa dan negara.

El Nino yang berbarengan dengan musim kemarau berkepanjangan, bagi bangsa kita, jelas melahirkan tragedi kehidupan yang memilukan. Lebih parah lagi, ternyata Pemerintah sendiri, belum siap untuk menjawabnya. Pemerintah tampak belum mampu melakukan pendekatan deteksi dini. Pemerintah masih sulit melepaskan diri dari pendekatan sebagai “pemadam kebakaran”.

Bayangkan, kalau jauh-jauh hari kita sudah menyiapkan program pompanisasi, perluasan areal tanam, percepatan masa tanam dan lain sejenisnya, tentu kita tidak perlu kelabakan menghadapi sergapan El Nino. Sayang, hal itu belum msmpu kita siapkan dengan baik. Baru setelah ada kejadian, kita pun tampak seperti yang “kebakaran jenggot”.

Jujur harus kita akui. El Nimo, kini telah membawa korban. Pemerintah kerap menuding El Nino inilah yang jadi biang kerok turunnya produksi beras. Dengan turunnya produksi mengingat sergapan El Nino, membuat Pemerintah terpaksa harus mengandalkan impor beras sebagai solusinya. Impor beras pun tampil menjadi kebutuhan dan bukan lagi sebagai pelengkap perdagangan internasional.

Yang perlu dijadikan percik permenungan adalah apa solusinya jika dunia dihadapkan pada krisis pangan, khususnya beras seperti yang selama ini diingatkan oleh Badan Pangan Dunia (FAO) ? Apakah negara produsen beras dunia masih akan menggelindingkan kebijakan ekspor beras ke banyak negara atau mereka akan menyetop sementara kebijakan ekspornya, mengingat lebih mengutamakan kebutuhan beras dalam negerinya dahulu ?

Bagi negara kita sendiri, untuk menghadapi iklim ekstrim, Pemerintah tidak bisa lagi menggunakan cara-cara lama, yang selama ini dijadikan pilihan dalam mengeksekusi kebijakan. Pemerintah, perlu secepatnya merevitalisasi tata kelola perberasan. Dalam kaitan ini, sangat diperlukan adanya Perencanaan Pangan/Beras yang sifatnya utuh, holistik dan komprehensif.

Perencanaan Pangan/Beras yang penting dirumuskan dan didesain secara berkualitas adalah soal berapa sebetulnya kebutuhan konsumsi masyarakat, soal cadangan beras Pemerintah yang aman dan keperluan untuk program bantuan pangan beras khusus. Tidak kalah penting untuk dirumuskan adalah soal peluang terjadinya iklim ekstrim yang melahirkan adanya El Nino dan La Nina.

Tetlepas dari benar atau tidaknya tentang “neraka iklim”, tentu hal itu tidak boleh dianggap sebagai angin lalu. Pengalaman suhu panas di beberapa negara sahabat, patut dijadikan dasar kesiap-siagaan bagi bangsa kita untuk mengantisipasinya. Fenomena El Nino, sangat baik dijadikan proses pembelajaran. Jangan sampai kita mengacuhkan apa yang telah terjadi.

Pengalaman yang kita alami, sepertinya masih pantas dijadikan guru terbaik dalam mengarungi kehidupan. Walaupun belum sampai pada suasana “neraka iklim”, namun pengalaman El Nino belum lama ini, telah menyebabkan produksi beras mengalami gagal panen dengan angka cukup signifiksn. Pemerintah memprediksi, gagal panen berkisar antara 380 ribu ton hingga 1,2 juta ton.

Sekalipun El Nino menyergap kehidupan nyata, tidak semestinya produksi beras turun dengan angka cukup tinggi, sekiranya kita memiliki “jurus pamungkas” untuk menghadapinya. Dengan menerapkan pendekatan deteksi dini, dan tidak lagi memposisikan diri sebagai pemadam kebakaran, tentu Pemerintah mampu mengantisipasi hal-hal yang bakalan terjadi.

Catatan kritisnya adalah apakah Pemerintah mampu melepaskan diri dari jebakan selaku pemadam kebakaran dalam menstrategikan kebijakan pembangunan yang dijalaninya ? Ini penting dijawab dengan jujur, karena kalau kita ikuti perkembangan yang terjadi selama ini, ternyata Pemerintah cukup kesulitan untuk melepaskan diri selaku pemadam kebakaran.

Ada atau tidak ada iklim ekstrim, ada atau tidak ada El Nino dan La Nina, upaya menggenjot produksi beras, harus tetap berlangsung. Sebagai bangsa, yang sebagian besar masyarakatnya, sangat tergantung kepada nasi sebagai bahan pangan utamanya, Pemerintah tidak boleh teledor untuk memenuhi kebutuhan beras masyarakatnya. Beras harus selalu ada dan harganya pun terjangkau oleh masyarakat.

Akhirnya menarik untuk dijadikan bahan pencernatan, terkait dengan “neraka iklim”. Kita tetap berharap agar kondisi iklim selalu kondusif dan menjalin persahabatan dengan kaum tani. Itu sebabnya, Pemerintah berkewajiban untuk selalu dapat mengantisipasi berbagai fenomena dan kecenderungan iklim yang bakal menyergap kehidupan. Saat yang tepat untuk betsahabat dengan iklim.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Jangan Sembunyikan Ilmumu

WASILLAH SHUBUHKamis, 4 Juli 2024. BismillahirahmanirahimAssallamu’alsikum wr wbrkt JANGAN SEMBUNYIKAN ILMUMU. Saudaraku…Ketika saya menyampaikan postingan tentang agama, itu tidak berarti

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *