14 April 2025 01:28
Sastra dan Budaya

Nak, Aku Ayahmu

Nak, Aku Ayahmu

(Tatang Rancabali)

Seorang bapak setengah abad duduk di kursi jati ukir Jepara yang mulai lapuk, menatap nanar meja berhias dua sisir pisang uli yang dibawa dari rumah orang tua hasil panen adiknya.

Matanya berkaca-kaca, mengingat masa belasan tahun silam ketika menimang dan bermain bersama gadis ciliknya. Bahkan ketika hari jum’at tiba, tidak mau ketinggalan, selalu ikut ke mesjid untuk sholat Jum’at. Setelah wudhu, memakai kerudung hitam, berjalan memegang tangan. Sesampainya di dalam mesjid duduk rapi sejajar jemaah mendengarkan khutbah Jum’at. Kadang kau tertidur lelap di atas sajadah. Itu dulu, ya dulu. Ketika kau masih imut-imut, belum mengenal dunia.

Kini aku selalu menunggu sapamu, senyum manis seperti dulu. Itu hanyalah sekedar angan. Sehari semalam terhitung dua puluh empat jam tapi aku hanya melihatmu dalam hitungan detik. Kau disini, aku disini di dalam rumah yang sama tapi tersekat dinding. Sapaku kau sambut senyum sinis dengan muka bengis. Kau terlalu asyik dengan ilmu yang dipelajari hingga lupa diri.
Nak, aku ayahmu. Walaupun tak sekaya dan sepintar orang lain yang selalu memberikan kesenangan bergelimang harta untuk menyenangkan anaknya. Sadarilah akulah yang masih membiayai kehidupanmu.

Rancabali, 12-11-2024:20.40

 

“HOG HAG”

“HOG HAG” OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Dari berbagai bahan bacaan yang ada, dalam bahasa Sunda, ‘Hog Hag’ artinya saling berbantah.

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *