27 October 2024 18:25
Opini dan Kolom Menulis

“MONYET NGAGUGULUNG KALAPA”

“MONYET NGAGUGULUNG KALAPA”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Banyak sekali wejangan kehidupan dalam budaya Sunda yang tumbuh dan berkembang di Jawa Barat. Salah satunya “monyet ngagugulung kalapa”. Kalimat ini merupakan sebutan untuk orang yang nggak bisa menguasai suatu hal dengan sangat mendalam. Atau bisa juga dikatakan sebagai orang yang hanya tahu bungkusnya saja, tanpa memahami apa yang menjadi esensi kedalamannya.

Sebagai teladan dari kejadian “monyet ngagugulung kalapa”, dapat terlihat ketika seseorang ditugaskan jadi Pejabat Tinggi Pratama di Dinas Pertanian. Dirinya bukan tamatan dari Perguruan Pertanian, namun S1 dan S2 nya menempuh bidang hukum. Dengan demikian, tatkala dirinya diminta untuk menyampaikan sambutan pelantikan, dirinya banyak mengulas pertanian, sekali pun terkesan ibarat monyet ngagugulung kalapa.

Sebentar lagi segenap warga bangsa yang telah memiliki hak pilih, tentu akan datang berduyun-duyun ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk mencoblos Kepada Daerahnya, baik Gubernur atau Bupati/Walikota. Rakyat akan menentikan suara hatinya terkait dengan siapa yang paling pantas mejadi Kepala Daerah. Akan tampak keren, jika yang dililih adalah orang cukup senior dan memiliki jam terbang cukup tinggi.
Proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dengan menerapkan sistem pemilihan secara langsung, memang telah sering kita lakukan. Lewat proses semacam ini, setiap anak bangsa yang memenuhi syarat pencalonan, sah-sah saja untuk “berkompetisi” dalam Pilkada. Hanya sosok yang disukai rakyat saja yang bakal merebut hati rakyat untuk memilihnya.

Kalau begitu, maka setiap anak bangsa yang telah memenuhi persyaratan, boleh saja ikut untuk menampilkan diri sebagai salah seorang Calon Kepala Daerah. Artinya, tidak menutup peluang mereka yang lahir dan menamatkan SDnya di Desa Pada Asih Kecanatan Congeang Kabupaten Sumedang, lalu melanjutkan sekolah ke Perancis, sehingga meraih S3, bisa terpilih jadi Kepala Daerah.

Pertanyaannya adalah apakah setelah dirinya terpilih dan mendapat kepercayaan dan kehormatan dari rakyat yang memilihnya, tidak akan seperti monyet yang ngagugulung kalapa ? Sejauh mana dirinya akan memiliki suasana kebatihan dengan warga masyarakat yang ada di daerahnya, setelah puluhan tahun tinggal di negeri orang ?

Selaku ilmuwan, tentu dirinya dengan cepat akan memahami kondisi obyektif daerahnya. Banyak cara dan metode yang bisa dipelajari untuk mengenali isu-isu strategis apa saja yang paling menonjol di daerahnya ? Lewat pendekatan teknokratik, dirinya bakal mampu merumuskan perencanaan pembangunan yang berkualitas, sekali pun hanya tahu luarnya saja.

Akan tetapi, apakah kedalaman dari isu yang berkembang akan dapat diselaminya dengan baik ? Jangankan yang baru datang dari luar negeri, mereka yang kesehariannya tinggal di daerah itu pun, belum tentu ada pemahaman utuh terhadap isu tersebut. Sebagai teladan, apakah dirinya akan paham dengan susahnya memerangi kesenjangan yang kini makin melebar diantara golongan masyarakat ?

Akibatnya, wajar jika di awal masa jabatannya dirinya perlu getol belajar dan mendalami setiap isu strategis yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Ini penting, sebab jika tidak, maka orang-orang akan menyebutnya seperti monyet ngagugulung kalapa. Lebih parah lagi, jika dirinya sok tahu dan menganggap semua tahu apa yang dilakoninya.

Suasana semacam ini bisa muncul dan menjadi masalah besar dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di daerah. Terlebih juga bila dalam dirinya telah tertanam stigma bahwa Kepala Daerah itu ibarat “raja kecil” di daeran. Celotehan “ceuk saya soto, nya soto” pun muncul menjadi gaya Kepala Daerah. Psdahal, yang disajikannya itu sayur lodeh.

Gaya monyet ngagugulung kalapa, sepertinya semakin marak dan dipertontonkan banyak pihak. Itu sebabnya, penting dipesankan agar setiap orang yang bercita-cita ingin jadi pejabat publik, jangan sekali pun memiliki niat ibarat monyet ngagugulung kalapa. Bukan saja hal itu merupakan penipuan atas diri sendiri, juga merupakan cermin kedunguan seorang pemimpin.

27 Nopember 2024, tidak lama lagi bakal menjemput segenap warga bangsa yang telah memiliki hak pilih, untuk melaksanakan hak politiknya memilih Kepala Daerah. Kedatangan mereka ke Tempat Pemungutan Suara, tentu berharap agar Kepala Daerah yang dipilihnya (Gubernur, Bupati/Walikota) adalah sosok pemimpin yang berkarakter dan cinta terhadap rakyat.

Itu sebabnya, kepada mereka yang mencalonkan jadi Kepala Daerah, jangan sekalipun memiliki keinginan untuk berhadapan dengan Aparat Penegak Hukum, untuk kemudian jadi penghuni Hotel Prodeo. Jadilah Kepala Daerah yang selalu menghormati hukum dan menjauhi perbuatan yang tercela. Kepala Daerah adalah panutan rakyat. Bukan pengkhianat rakyat.

Kita percaya, tidak ada seorang pun Kepala Daerah yang senang diibaratkan monyet ngagugulung kalapa. Menjadi Kepala Daerah, tidak cukup hanya bermodalkan popularitas atau memiliki kekayaan cukup banyak. Kepala Daerah juga mesti mampu menjaga kehormatan dan memiliki moral yang teruji dan tidak luluh oleh godaan tahta, harta dan wanita.

Semoga jadi percik permenungan kita bersama.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *