20 December 2024 14:05
Opini dan Kolom Menulis

MESTINYA, BERAS ITU “MILIK” PETANI

MESTINYA, BERAS ITU “MILIK” PETANI

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

 

Soal beras, kini mulai menghangat dan banyak dibahas berbagai pihak. Sebagai komoditas politis dan strategis, hal ini wajar terjadi, karena masalah beras akan terkait dengan keberlangsungan dan nasib suatu bamgsa. Meminjam istilah Proklamator Bangsa Bung Karno, bagi kita, beras bisa saja dihubungkan dengan ungkapan “urusan beras terkait dengan mati hidupnya bangsa”.

 

Itu sebabnya, kita tidak boleh bermain-main dengan urusan beras, baik dalam perencanaan atau pun pelaksanaannya di lapangan. Tata Kelola Perberasan harus selalu terukur, holistik, komprehensif dan profesional. Urusan beras jangan sampai dijadikan komoditas politis, cuma untuk memuaskan kepentingan sekelompok orang. Ingat, beras menyangkut sumber kehidupan dan sumber penghidupan rakyat banyak.

 

Atas hal yang demikian, wajar jika tidak ada satu pun negara dan bangsa di dunia yang jaďi berantakan karena kelebihan bahan pangan atau beras, namun banyak contoh yang dapat kita lihat adanya negara dan bangsa di dunia yang “bubar jalan” karena kekurangan bahan pangan atau beras.

 

Pernyataan ini menarik dan penting untuk dijadikan percik permenumgan bersama, khususnya mereka yang telah diberi amanah untuk mengelola negeri dan bangsa tercinta. Seharusnya mereka meyakinkan Ibu Pertiwi, apa yang dijadikan dasar kebijakan perberasan, pada intinya diarahkan untuk menciptakan berkah kehidupan bagi seluruh masyarakat. Termasuk di dalamnya meningkatkan kesejahteraan hidup para petani nya.

 

Jujur harus diakui, dalam suasana kekinian beras bukan lagi “milik” petani. Bagi sebagian besar kaum tani, disamping sebagai produsen, mereka juga tercatat sebagai “net consumer”. Sebagai produsen, petani hanya akan menghasilkan gabah kering panen (GKP). Petani akan menjual GKP nya ke bandar, tengkulak, penggilingan atau Perum BULOG.

 

Petani sendiri tidak memiliki kemampuan untuk mengolah GKP menjadi beras, mengingat keterbatasan yang ada, selain juga dituntut oleh kebutuhan mendapatkan penghasilan. Tidak jarang pula kita saksikan ada petani yang saat panen, hanya mendapat setumpukan jerami, karena gabah yang dipanennya dipakai untuk bayar utang atau pinjaman. Muka nya memelas dan merenungi nasib dirinya.

 

Suasana seperti ini, tentu saja jangan dibiarkan berlarut-larut. Petani sendiri berharap agar negara hadir dalam kesulitan hidup mereka. Petani menunggu kapan Pemerintah akan melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap nasib petani. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang meminta agar Pemerintah secepatnya melahirkan terobosan cerdas agar nasib dan kehidupan petani menjadi semakin baik.

 

Catatan kritisnya adalah apakah Pemerintah mampu mendengar sekaligus menghayati apa yang disuarakan para petani tersebut ? Atau tidak, mengingat para petinggi negeri ini, terekam tengah sibuk mengurus dirinya masing-masing ? Lebih gawat lagi ada yang was-was, karena nasib nya ada dalam genggaman KPK.

 

Dilihat dari nilai tambah ekonomi, ketimbang petani jual gabah, akan lebih untung jika petani menjual beras. Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Beras hampir dua kali lipat Harga Gabah Kering Panen. Petani sendiri, bukan tidak mau menjual hasil panennya dalam bentuk beras, namun karena ketidak-berdayaan mereka mengolah gabah menjadi beraslah, masalah utama yang dihadapinya.

 

Disinilah Pemerintah hadir untuk mensolusikan apa yang menjadi keinginan (will) dan kebutuhan (need) petani lewat kebijakan dan langkah terbaiknya. Bila petani berkehendak agar ujung dari proses budidaya tanamannya dalam bentuk beras dan bukan gabah, maks sangat diperlukan adanya mesin-mesin penggilingan padi skala mini.

 

Melalui pola bantuan sosial alat-alat mesin pertanian (alsintan), Pemerintah dapat memberi dukungan agar Bansos Alsintan, bulan hanya alat-alat pertanian yang berurusan dengan upaya menggenjot produksi setinggi-tingginya menuju swasembada, tapi dalam rangka percepatan peningkatan kesejahteraan petani, Pemerintah perlu memberi dukungan maksimal terhadap penanganan paska panennya.

 

Pemberian Bansos Alsintan Penggilingan Padi skala mini kepada Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) adalah kebijakan yang sangat relevan untuk digarap. Selain itu, kita berharap agar para Penyuluh Pertanian tetap semangat dalam melakukan tugas, fungsi dan kewenangannya untuk melaksanakan proses pembelajaran, pemberdayaan dan pemartabatan kepada para petani agar dapat tampil selaku bangsa yang merdeka.

 

Dengan dimilikinya mesin penggilingan padi skala mini oleh Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani, kita optimis, nilai tambah ekonomi yang selama ini tidak diterima petani, sedikit banyak akan beralih ke petani. Tinggal sekarang sampai sejauh mana Tata Kelola atau manajemen nya dapat digarap dengan baik oleh Kelompok. Peran dan kehadiran para Penyuluh Pertanian, tentu sangat dimintakan.

 

Para Penyuluh diminta untuk selalu mengajar petani dengan segudang inovasi. Mulai dari yang berkaitan dengan teknik budidaya tanaman, sistem pemasaran hasil pertanian, penanganan paska panen, hingga ke penguatan kelemvagaan petani. Terlebih mengoptimalkan keberadaab Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani dalam memposisikan diri sebagai lembaga penggilingan padi skala mini di perdesaan.

 

Dalam semangat agribisbis perberasan, petani sebagai pelaku utama sudah seharusnya tampil sebagai pebisnis yang tangguh dan disegani keberadaannya. Diawali dengan menjadikan petani sebagai pemilik beras, kita yakin, penghasilan petani bakal meningkat. Langkah ke arah itu, memang tidak gampang. Petani perlu disiapkan bisa tampil sebagai pengusaha perberasan yang jempolan. Dengan dukungan segenap komponen bangsa kita optimis hasrat itu akan terwujud.

(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *