MENYOAL HADIAH UNTUK GURU
Oleh IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Jelang peringatan Hari Guru, cukup banyak perbincangan di media sosial yang menyoal guru. Selain masalah kesejahteraan dan peningkatan profesionalisme guru, juga banyak perbicangan terkait dengan pemberian hadiah atau cinderamata untuk guru. Ada yang pro maupun yang kontra. Kalau saya perhatikan dari diskusi di media sosial, justru yang ”antusias” membahas masalah ini bukan guru itu sendiri, tetapi orang tua atau orang yang bukan berprofesi sebagai guru. Bahkan, pada diskusi tersebut, tanggapan miring dan nyinyir terhadap guru sudah muncul karena soal pemberian hadiah saat hari guru.
Seingat saya, zaman saya belajar di SMP tahun 90-an, setiap tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru atau juga Hari PGRI. Saat itu, guru dan siswa melaksanakan upacara di alun-alun. Saat upacara, bagian yang paling saya sukai adalah pada saat paduan suara menyanyikan lagu ”Hymne guru” dan Lagu ”Terima Kasih Guruku”. Lirik-lirik lagunya terasa menyerap di hati sanubari. Setelah upacara, ya selesai. Tidak ada karangan bunga, kue, atau cokelat untuk guru. Tetapi saat ini kondisinya berbeda, jelang hari guru, justru profesi guru banyak dibahas dikaitkan dengan masalah hadiah untuk guru. Dan sekali lagi, yang banyak membahasnya justru orang tua, bukan kalangan guru.
Di sekolah ada komite sekolah, paguyuban orang tua, atau koordinator kelas (korlas). Pengurus paguyuban atau korlas yang biasanya menginisiasi adanya pemberian hadiah untuk wali kelas. Orang tua/wali dimintai iuran untuk pengadaan hadiah untuk wali kelas. Hal ini yang kadang memicu polemik. Ada orang tua yang sukarela membayar iuran, tapi ada juga orang tua yang keberatan membayar (walau mampu), dan ada orang tua yang kurang mampu membayar.
Orang tua yang keberatan membayar atau yang tidak mampu membayar iuran khawatir “ditandai” oleh pengurus atau orang tua yang membayar. Orang tua yang keberatan membayar pun akhirnya terpaksa membayar. Lalu, curhat di media sosial dengan harapan ada yang membela, utamanya dari orang tua atau pihak yang berpikiran sama dengannya. Hal ini menyebabkan polemik soal hadiah untuk guru semakin melebar.
Selain orang tua, ada juga murid yang berinisiatif memberikan hadiah kepada wali kelasnya. Wali kelas memang biasanya menjadi “langganan” hadiah baik pada saat akhir tahun maupun pada saat peringatan hari guru. Di kalangan guru, hal ini pun kadang menjadi kecemburuan. Seolah hanya wali kelas yang berjasa kepada murid, sedangkan guru yang tidak menjadi wali kelas diabaikan. Tidak mendapatkan hadiah dari murid.
Bagi pihak yang setuju dengan adanya hadiah bagi guru, mereka berpandangan bahwa hadiah yang diberikan sebagai bentuk apresiasi atas jasa dan dedikasi guru, sedangkan bagi pihak yang kurang setuju terhadap pemberian hadiah kepada guru, mereka mengaitkannya dengan soal etika, bahkan mengaitkannya dengan gratifikasi yang berpotensi melanggar hukum dan memunculkan kekhawatiran terjadinya konflik kepentingan dan perlakuan diskriminatif guru terhadap anak dari orang tua yang memberikan hadiah dan yang tidak memberikan hadiah terhadap guru.
Secara manusiawi, setiap orang, termasuk guru pasti senang mendapatkan hadiah. Walau demikian, saya yakin, kalangan guru sebenarnya tidak pernah mempersoalkan hadiah saat peringatan hari guru. Bagi guru, tanggal 25 November sebagai hari bersejarah dan bermakna bagi profesi mereka. Tidak ada harapan lebih dari guru dari orang tua atau murid-muridnya terkait hadiah. Kalau pun berharap hadiah, para guru berharap “hadiah” dari pemerintah (guru ASN PNS dan P3K) atau dari pengelola yayasan (GTY/guru honorer), utamanya terkait dengan kesejahteraan, kejelasan nasib, perlindungan, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang berpihak kepada guru.
Bagi orang tua atau siapa pun yang memberikan hadiah terhadap guru, luruskanlah niat, jangan sampai hadiah yang diberikan kepada guru menjadikan profesi guru sebagai tertuduh bahwa guru ingin diberi hadiah. Kalau sekiranya pemberian hadiah bagi guru akan lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya, sebaiknya jangan dipaksakan. Jangan sampai guru yang tidak tahu menahu urusan hadiah yang sebenarnya diinisiasi oleh orang tua/wali namaya terbawa-bawa menjadi jelek.
Pihak guru atau sekolah pun sebaiknya menghindari untuk menyampaikan pernyataan yang tendensius atau memancing-mancing baik kepada murid maupun kepada orang tua/ wali terkait pemberian hadiah supaya tidak menjadi miskomunikasi antara kedua belah pihak dan pada akhirnya merugikan nama baik guru atau sekolah.
Kalau pun mau ada syukuran hari guru di sekolah, sebaiknya difasilitasi oleh sekolah sesuai dengan kemampuan masing-masing sekolah. Menghindari untuk meminta partisipasi dari orang tua/wali agar tidak memunculkan polemik dan prasangka buruk. Walau demikian, jika ada pihak orang tua ingin berpartisipasi, sekolah bisa mempertimbangkannya. Asal tidak mengikat dan tidak berimplikasi terhadap adanya konflik kepentingan. Selain itu, bisa juga sekolah mengajak orang tua/wali dan murid untuk merayakan hari guru bersama-sama secara sederhana. Misalnya melalui tulisan/video ucapan selamat, doa, atau nyanyian.
Saya yakin, bagi seorang guru, hakikat sebuah kebahagiaan baginya bukanlah hadiah dalam bentuk materi, tetapi saat murid-muridnya bisa memahami materi yang disampaikan oleh guru, berbudi pekerti luhur, dan meraih kesuksesan di masa depan. Di momentum peringatan Hari Guru, berikanlah hadiah dalam bentuk doa-doa terbaik bagi mereka. Mari doakan para guru-guru kita agar senantiasa sehat, panjang umur, terlindungi, dan terjamin kesejahteraannya. Selamat Hari Guru Nasional.