25 April 2025 23:15
Opini dan Kolom Menulis

MENJUAL SAWAH DEMI ANAK SEKOLAH

MENJUAL SAWAH DEMI ANAK SEKOLAH

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Selain saat ini berkembang alih fungsi lahan yang terekam semakin membabi-buta, di banyak daerah juga marak berlangsung alih kepemilikan lahan sawah petani ke non petani. Dua hal inilah yang kini harus kita hadapi dalam menjaga, memelihara dan melestarikan ruang pertanian. Hal ini patut dicamkan, karena jika tidak segera dicarikan solusinta, boleh jadi suatu waktu bakan tampil jadi masalah yang sangat krusial dan merisaukan.

Banyaknya petani yang menjual sawah dan ladang miliknya merupakan catatan tersendiri dalam dunia pertanian di negara kita. Sawah dan ladang yang menjadi sumber kehidupan petani, kok bisa-bisanya dijual ? Lalu dari mana petani akan mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya ? Ini yang mengkhawatirkan di masa depan.

Salah satu alasan, mengapa petani padi rela melepas sumber utama penghasilannya ? Selidik punya selidik, ternyata menjadi petani padi sekarang, sama saja dengan menjebakkan diri kedalam suasana hidup miskin dan sengsara. Berprofesi sebagai petani padi, tidak ada satu pun yang menjamin bakal hidup sejahtera. Yang pasti jadi petani padi, hanyalah sekedar untuk menyambung nyawa kehidupan.
Rame-ramenya para petani menggelar aksi protes kepada Pemerintah terkait dengan turunnya harga gabah menjelang panen raya, tentu perlu dicermati dengan seksama.
Petani wajar protes. Bayangkan, sebelum panen raya berlangsung, harga gabah di pasaran mampu menembus angka Rp.7000,- per kg. Petani tentu senang dengan harga sebesar itu. Beberapa orang petani malah menyampaikan secara langsung suara hatinya kepada Presiden Jokowi.

Yang membuat petani kecewa, menjelang panen raya berlangsung, ternyata penyakit klasik setiap panen raya tiba, harga gabah selalu anjlok, kini sinyalnya sudah mulai berkelap-kelip. Petani was-was, jangan-jangan di saat panen raya, harga gabah benar-benar bakal anjlok lagi. Itu sebabnya, petani meminta agar pada saat panen raya, Pemerintah dapat hadir ditengah kehidupan petani padi.

Pemerintah hari ini, harus beda dengan yang lalu-lalu. Jika masa lalu, terekam Pemerintah seperti yang tak berdaya menghadapi sepak terjang kalangan tertentu yang doyan memainkan harga gabah di waktu panen raya, kini sudah saatnya Pemerintah tampil beda. Dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, Pemerintah selalu tampil mendampingi petani untuk membela dan melindunginya.

Sebagai pemegang mandat rakyat, Pemerintah pasti tidak akan disalahkan jika waktu panen raya tiba, Pemerintah dapat membela dan melindungi petani dari perilaku oknum yang doyan memainkan harga gabah di tingkat petani. Bahkan petani akan bangga, jika Pemerintah bukan hanya melakukan pendampingan, namun sekaligus menetapkan harga jual gabah dan beras, yang betul-betul menguntungkan bagi petani beserta keluarganya.

Namun demikian, jika Pemerintah tidak mampu mewujudkan harapan petani diatas, boleh jadi para petani akan kecewa berat dan mengambil sikap terhadap profesi petani padi. Persoalan seriusnya, bagaimana jika para petani sampai pada kesimpulan, profesi petani padi sudah tidak menjanjikan lagi. Menjadi petani padi, tak ubahnya dengan hidup dalam lautan kemiskinan.

Bila petani saat ini bersikap demikian, tentu ada beberapa alasan yang dapat mereka ajukan. Pertama, semakin gencarnya kaum muda perdesaan yang meninggalkan tanah kelahirannya, hanya sekedar untuk mengadu nasib di perkotaan. Mereka enggan menjadi petani padi, karena tidak ada jaminan dari Pemerintah, menjadi petani padi bakalan hidup sejahtera dan bahagia.

Kedua, para orang tua yang berprofesi sebagai petani semakin banyak yang melarang anak-anak mereka untuk bekerja sebagai petani melanjutkan pekerjaan orang tuanya sebagai petani. Para orang tua akan bangga kalau anak-anak mereka dapat bekerja sebagai Aparat Sipil Negara (ASN) atau jadi pegawai swasta multi-nasional.

Ketiga ada kesan dalam suasana kekinian profesi petani padi di negara kita, semakin tidak bergengsi di masyarakat, karena profesi petanu tidak mampu menghantarkan yang menggelutinya ke arah kondisi hidup yang menjanjikan. Menjadi petani, khususnya petani berlahan sempit, hanyalah sekedar untuk menyambung nyawa kehidupan semata.

Akibatnya, para orang tua yang sekarang bekerja selaku petani, banyak yang menjual sawah dan ladang mereka, demi membiayai anak-anak mereka untuk dapat meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi kagi. Mereka optimis, hanya dengan pendidikan yang lebih baik, maka anak-anak mereka memiliki peluang lebih besar untuk jadi pegawai negeri atau karyawan swasta yang bergengsi.

Jika tidak ada kebijakan khusus terkait dengan profesi petani padi, boleh jadi pekerjaan sebagai petani padi bakal semakin ditinggalkan. Salah satu dampak yang kini mengedepan dalam kehidupan sehari-hari adalah semakin gencarnya terjadi alih kepemilikan lahan sawah petani ke non petani. Umumnya mereka membeli sawah, hanya untuk investasi. Siapa sangka suatu waktu akan dapat dibangun perumahan atau pemukiman.

Maraknya petani yang melepas sawah dan ladang yang dimiliki, demi menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, kini tampil jadi masalah tersendiri di perdesaan. Para orang tua yang semula berkiprah sebagai petani, kini sudah harus berpikir mencari profesi lain yang dapat ditekuninya. Bagi petani berlahan sempit, tentu cukup sulit beralih profesi. Ujungnya mereka bekerja dengan berburuh tani juga.

Semoga ada jalan keluar yang dapat kita tempuh. Setidaknya, ada pilihan profesi lain bagi mereka yang secara sadar telah menjual sawah dan ladangnya.

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *