11 January 2025 16:00
Opini dan Kolom Menulis

MENJELANG LEBARAN

MENJELANG LEBARAN !

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Beberapa hari ke depan, seluruh ummat Islam di dunia, bakal meraih Hari Kemenangan setelah sebulan penuh melaksanaksn ibadah shaum. Bagi bangsa kita, Hari Lebaran merupakan saat kembali ke fitrah. Hari penuh kesucian. Semua menyambut dengan beragam perasaan. Semua bersalam-salaman dan tentu saja akan saling mendoakan.

Untuk penentuan Hari Idhul Fitri untuk tahun ini, kini mulai hangat dibincangkan. Berdasarkan perhitungan dan keyakinan nya, Muhammadiah telah memutuskan akan jatuh pada hari Jumat tanggal 21 April 2023. Pemerintah sendiri belum menetapkan kapan Hari Idhul Fitri, karena menunggu Sidang Isbath terlebih dahulu yang direncanakan bakal digelar tanggal 20 April 2023.

Kalau pun untuk tahun ini terjadi perbedaan penetapan Hari Idhul Fitri antara Muhammadiah dengan Pemerintah, sebetulnya bukan hal yang pertama kali terjadi. Sama hangatnya dibahas di masyarakat tentang penetapan hari pertama melaksanakan ibadah shaum. Itu sebabnya, wajar jika dalam penentuan Hari Raya Idhul Fitri kali ini pun tidak terlampau membuat heboh di masyarakat.

Justru yang sekarang ramai digunjingkan adalah adanya beberapa pimpinan daerah yang “melarang” digunakannya lapangan untuk dijadikan tempat shalat Idhul Fitri yang bakal digelar Keluarga Besar Muhammadiah. Aneh tapi nyata. Kok bisa, dinegara yang kaya akan keberagaman ini, masih ada pejabat publik yang mempolitisir tempat shalat Hari Idhul Fitri.

Adanya perbedaan pandangan dalam penetapan Hari Lebaran, sebetulnya tidak perlu terjadi, sekiranya ada komunikasi yang inten antara berbagai komponen bangsa. Pemerintah jauh-jauh hari sudah mengajak Muhammadiah untuk menghitung kapan Hari Lebaran ditetapkan. Hal ini, tidak jauh berbeda, ketika Pemerintah berani menetapkan tanggal merah pada kalender yang dibewarakan kepada masyarakat.

Yang pasti, apa pun yang akan diputuskan Pemerintah terkait dengan Hari Raya Idhul Fitri 2023, tentu kita sepakat tidak akan membuat kehebohan di masyarakat. Mau bersamaan hari antara Muhammadiah dan Pemerintah atau pun berbeda, ada baiknya kita ambil hikmahnya. Tentu akan ada hal-hal yang baiknya untuk dijadikan proses pembelajaran kita bersama.

Tulisan kali ini, memang tidak akan mempersoalkan perbedaan awal antara Muhammadiah dan Pemerintah dalam penentuan kapan hari Lebaran tiba, tapi akan lebih mengarah pada pengalaman penulis sekitar 50 tahun lalu dalam menyambut datangnya Hari Kemenangan tersebut. Lebaran tempo dulu, rupanya tidak seheboh sekarang ini.

Penulis tinggal bersama kakek dan nenek di sebuah daerah bernama Kampung Pulosari di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Suasana religius terasa dalam kehidupan masyarakatnya. Setiap bulan suci romadhon tiba, rumah kakek selalu ramai didatangi para tetangga untuk sama-sama mendoakan. Maklum kakek tergolong tokoh masyarakat Cianjur yang cukup dihormati.

Suasana bulan suci romadhon di kampung saat itu, sungguh jauh berbeda dengan suasana di perkotaan sekarang. Apalagi mereka yang tinggal di jantung kota. Ada beberapa kejadian yang hingga kini masih menempel dalam nurani. Sebut saja agenda “ngabuburit” yang sudah menjadi tuntutan untuk dilakukan menjelang buka puasa.

Ngabuburit sendiri merupaksn kegiatan menunggu waktu buka puasa. Biasanya dilakuksn 1 jam sebelum waktu buka puasa tiba. Ngabuburit dilakukan ke pusat kota sambil mencari sesuatu yang dapat dibeli untuk buka puasa. Di sepanjang trotoar kota dapat disaksikan beragam pedagang yang menjual makanan dan minuman. Ada juga yang bermain sulap. Tak ketinggalan juga doger monyet.

Habis buka puasa dilanjut tarawih, kehangatan kampung diramaikan pula dengan perang “bedil lodong”. Suara dentumam saling bersahutan. Bedil lodong sengaja disiapkan menjelang malam 21 dan malam ganjil berikutnya. Orang di kampung menyebutnya masuk waktu “lilikuran”. Kita menyebutnya malam lailatulqodar.

Selain ramai oleh suara bedil lodong, ada juga yang bermain kembang api. Anak-anak tampak berlarian sambil membawa kembang api. Bahkan ada yang melemparnya ke atas pohon rambutan. Betapa indah percikan kembang api yang menyala dan tergantung di atas pohon. Keramaian setahun sekali menyambut tibanya hari kemenangan.

Yang tak mungkin terlupakan adalah bermain “lalaheran”. Disebut demikian, karena sebagai ban nya menggunakan laher mobil. Lalaheran merupakan permainan mobil-mobilan yang didorong dari belakang oleh teman sendiri. Kegiatan ini dilakukan setelah sahur dan bermain diseputaran Mesjid Agung. Menjelang pagi, anak-anak sudah pulang ke rumah masing-masing.

Begitulah pengalaman penulis 50 tahun lalu menikmati Lebaran di tempat kelahiran. Seakan baru saja berlalu. Sekarang, dunia telah berubah. Suara bedil lodong sudah tidak terdengar lagi. Ngabuburit di sore hari semakin susah mencari tempat. Apalagi yang namanya lalaheran. Semua tinggal kenangan yang terlampau indah untuk dilupakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *