7 July 2024 00:24
Opini dan Kolom Menulis

MENGGUGAT DATA BERAS

MENGGUGAT DATA BERAS

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Harapan untuk memiliki data pangan, khususnya beras yang berkualitas, sepertinya masoh belum terwujud, mengingat berbagai kendala yang dihadapi. Badan Pusat Statistik (BPS) sebagai satu-satunya lembaga Pemerintah yang menangani urusan data, tampak berusaha untuk merilis data terkini melalui penyempurnaan metodologi mutakhirnya.

Setiap perubahan metodologi yang berupaya menyempurnakan perhitungan, pasti akan menimbulkan respon yang berbeda. Sebagai contoh penggunaan model Kerangka Sampling Area (KSA) menggantikan sistem ubinan guna menghitung produksi beras, beberapa tahun lalu, sempat membangkitkan protes keras dari beberapa Kepala Daerah.

Para Gubernur dan Bupati, banyak yang tidak menerima hasil yang dirilis BPS tentang hasil produksi beras di daerahnya. Betapa tidak akan marah, daerah yang asalnya surplus, dengan perhitungan baru malah jadi defisit. Akibatnya wajar, jika banyak Gubernur dan Bupati yang kecewa dengan penggunaan metodologi KSA yang dianggap lebih canggih dan modern.

Terkepas dari menuai protes atau tidak, penyempurnaan metologi perhitungan produksi beras, memang harus dilakukan, sesuai dengan perguliran jaman. BPS tentu tidak ingin divonis sebagai lembaga daa abal-abal, yang menyuguhkan data berbasis pesanan. Sebagai lembaga yang independen, BPS harus tetap mengedepankan obyektivitas dan kualitas data yang dirilis ke masyarakat.

Data pangan sendiri, dinilai kalangan dunia usaha, masih jauh dari yang diharapkan para pengusaha. Untuk beberapa kasus tertentu, kalangan dunia usaha, lebih baik menghitung sendiri data yang diperlukan, dari pada menggunakan data BPS. Hal ini, mestinya tidak perlu terjadi bila BPS mampu menyiapkan data yang lebih akurat dan berkualitas.

Setiap metodologi, tentu memiliki kelebihan dan kekurangan. Begitu pun dalam hal perhitungan produksi beras itu sendiri. Kalau betul yang dijadikan dasar perhitungan adalah Luas Baku Sawah (LBS), boleh jadi tanaman padi yang digarap diluar LBS tidak akan dijadikan perhitungan oleh BPS. Sebut saja tanaman padi gogo, yang banyak ditanam di daerah perbukitan atau pegunungan, praktis tidak akan dihitung.

Atas fenomena seperti ini, wajar bila Kementerian Pertanian sering meminta kepada BPS untuk mengkaji ulang rumusan perhitungan yang digunakan dalam penggunaan metode KSA tersebut. Berdasarkan info dari Kementerian Pertanian, ternyata penanaman padi gogo atau padi huma di daerah, tercatat memiliki luasan yang tidak sedikit jumlahnya.

Dihadapkan pada kondisi semacam ini, tentu sangat dibutuhkan adanya kelegawaan dari Kementerian Pertanian bersama BPS untuk duduk bersama, guna menyerasikan metode dan cara pandang yang berbeda. Duduk bersama, tentu bukan hanya duduk manis sambil ngopi, tapi yang lebih dimintakan adalah menghasilkan solusi cerdas atas esensi masalah itu sendiri.

Data beras berkualitas, sangat diperlukan untuk perencanaan sistem perberasan yang semakin terukur dan akurat. Terlebih untuk mendapatkan angka produksi dan angka konsumsi masyarakat. Dengan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun, berapa produksi yang harus digenjot agar konsumsi masyarakat dapat dicukupi dari hasil produksi dalam negeri.

Perencanaan sistem perberasan juga sangat dibutuhkan untuk keperluan perhitungan cadangan beras Pemerintah. Berapa sih, cadangan beras yang aman sekiranya terjadi krisis beras global ? Apakah cukup dengan 1,5 juta ton atau seperti harapannya Presiden Jokowi yang berharap agar cadangan beras Pemerintah mencapai angka 3 juta ton ?

Tak kalah pentingnya adalah perhitungan kebutuhan beras untuk hal-hal khusus seperti program bantuan pangan beras yang jumlahnya tidak sedikit. Contoh untuk tahun lalu hingga sekarang, dalam kaitannya dengan program bantuan pangan beras 10 kg per bulan selama 12 bulan, untuk 22 juta rumah tangga penerima manfaat, kita memerlukan beras sebesar 2,64 juta ton.

Tanpa adanya perencanaan cukup matang berdasar data yang akurat dan berkualitas, dapat dipastikan kita akan kesulitan untuk menyediakan beras guna memenuhi kebutuhan tersebut. Inilah sebetulnya yang terjadi selama ini. Sampai sekarang pun Pemerintah, baik Pusat atau Daerah, masih belum memiliki perencanaan pangan seperti yang diamanatkan UU Pangan.

Kita sendiri tidak tahu dengan pasti, mengapa Pemerintah seperti yang enggan menerbitkannya. Padahal, perencanaan pangan merupakan landasan teknokratif utama untuk menjalankan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan pangan itu sendiri. Apa jadinya negeri tercinta, jika sampai detik ini kita tidak berani melahirkan regulasi terkait dengan perencanaan pangan.

Adanya semangat dari Wakil Rakyat yang menuntut adanya penyempurnaan data base perberasan, sudah saatnya didukung dengan sepenuh hati. Jangan biarkan dunia perberasan di negeri ini, baik produksi atau konsumsinya, tidak didasari oleh data yang berkualitas. Apalagi, kalau kita masih berkeinginan menggunakan formula SUKSES PERENCANAAN = SUKSES PELAKSANAAN.

Akhirnya, kita berharap Kementerian Pertanian dan BPS dapat secepatnya menyatukan cara pandang dalam menghitung produksi beras secara nasional. Bila hal ini cepat tercapai, mestinya soal beras tidak perlu lagi muncul menjadi masalah yang tidak terselesaikan, namun sebaliknya akan tuntas tanpa melahirkan masalah turunannya.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

 

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 6 Juli 2024Naning Kartini (Guru Ngaji SDN Ciawigede Majalaya) Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *