2 July 2024 09:33
Opini dan Kolom Menulis

“MENGECAT LANGIT” SWASEMBADA PANGAN

“MENGECAT LANGIT” SWASEMBADA PANGAN

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Mari kita luruskan pemahaman yang utuh terhadap pengertian pangan. Mengacu kepada Undang Undang No. 18/2012 tentang Pangan, didefenisikan sebagai segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.

Itulah definisi pangan. Lalu, apa yang disebut dengan swasembada pangan ? Beberapa pakar menyebut swasembada pangan adalah kemampuan sebuah negara dalam mengadakan sendiri kebutuhan pangan bagi masyarakat. Istilah swasembada pangan ini, kini menjadi perbincangan banyak pihak, setelah Prabowo/Gibran dalam kampanye Pilpresnya beberapa waktu lalu, menegaskan perlunya bangsa ini meraih swasembada pangan.

Sebagai kemauan politik, apalagi saat kampanye Pemilihan Presiden, sah-sah saja bila ada pasangan calon yang berharap supaya bangsa ini swasembada pangan. Justru yang menarik untuk dicermati, bagaimana dengan tindakan politiknya ? Apakah swasembada pangan akan benar-benar akan mampu diwujudkan ? Kalau benar, bagaimana pula cara meraihnya ? Jangan-jangan kehendak untuk swasembada pangan ini, hanyalah sebuah mimpi di siang bolong.

Swasembada pangan, dengan mengacu kepada pengertian pangan seperti yang tersurat dalam Undang Undang Pangan, berarti kita harus berswasembada beras, jagung, kedele, daging sapi, gula, bawang putih, dan komoditas pangan lainnya. Catatan kritisnya, apakah mungkin dalam kurun waktu 5 tahun kepemimpinan Prabowo/Gibran, Pemerintah bakal dapat meraih swasembada pangan ?
Menyikapi hal demikian, ada seorang sahabat yang berpandangan, kemauan untuk mewujudkan swasembada pangan adalah target yang ambisius. Bahkan ada yang menyebut sebagai cita-cita yang utophis. Maksudnya, boro-boro mewujudkan swasembada pangan, meraih swasembada beras pun, kini bangsa ini menghadapi kesulitan yang cukup serius. Belum lagi swasembada daging sapi yang sampai detik ini pun belum tampak tanda-tandanya.

Pesimis terhadap kenyataan, memang bukan sifat selaku bangsa pejuang. Kita tetap harus optimis dan realistik. Kita jangan terus-terusan jadi bangsa pemimpi. Betapa pun sulitnya tantangan dan kendala yang menghadang, menjadi tugas kita bersama untuk menghalaunya. Hal yang sama berlaku dengan keinginan untuk menggapai swasembada pangan itu sendiri.

Pertanyaannya adalah bila untuk mewujudkan swasembada pangan selama 5 tahun ke depan sama saja dengan “mengecat langit”, maka hal-hal apa saja yang paling maksimal bisa dilakukan dalam kurun waktu tersebut ? Jawabannya, tentu bisa macam-macam, tergantung di sisi mana dirinya berada. Salah satunya, bisa saja yang dihasilkan cukup hanya Grand Desain/Master Plan/Rencana Besar Perwujudan Swasembada Pangan lengkap dengan Roadmap pencapaiannya.
Hal ini perlu diutarakan, karena sampai detik ini pun, bangsa ini belum pernah memiliki desain perencanaan yang utuh, holistik dan komprehensif, tentang pencapaian swasembada pangan. Bahkan kalau mau lebih jauh lagi, sampai sekarang pun, bangsa kita belum memiliki regulasi terkait dengan Perencanaan Pangan, baik tingkat Pusat atau Daerah. Padahal, hal itu benar-benar telah diamanatan secara tegas dalam Undang Undang Pangan.

Adanya iklim ekstrim dalam beberapa tahun terakhir ini, membuat dunia pertanian di seluruh dunia menghadapi masalah yang sama. Bagi negara kita sendiri, iklim dan cuaca yang tidak bersahabat dengan petani, seperti datangnya sergapan El Nino atau pun La Nina, menjadikan banyak komoditas pangan yang menurun produksinya, khususnya untuk komoditas beras.

Menariknya lagi, turunnya produksi beras dengan angka yang cukup signifikan, suka atau tidak suka, menjadikan bangsa ini harus menghadapi “darurat beras”. Kisruh perberasan di Indonesia, betul-betul sangat merisaukan. Petani padi dalam negeri, sepertinya tidak memiliki kemampuan lagi untuk menghasilkan produksi padi guna memenuhi kebutuhan beras dalam negeri. Akibatnya, impor beras secara besar-besaran pun tidak dapat dihindari.

Dari berbagai informasi, impor beras yang direncanakan Pemerintah membengkak jadi sekitar 5,1 juta ton beras, dari yang selama ini direncanakan sebesar 3,6 juta ton. Angka ini betul-betul cukup mengejutkan. Artinya, produksi beras dalam negeri, tampak sudah tidak mampu lagi kita genjot. Menyakitkan nya lagi, ternyata sekarang kebijakan impor beras telah berubah menjadi sebuah kebutuhan dan bukan lagi sebagai pelengkap.

Tanda-tanda kekurangan beras bagi kebutuhan dalam negeri, sebetulnya sudah tampak dengan adanya fakta di lapangan, semakin menyusutnya jumlah surplus beras setiap tahunnya. Data ini, mestinya penting diantisipasi, antara produksi dan konsumsi sudah tidak terlampau surplus, malah semakin mendekati defisit. Untuk tahun 2023, surplus beras masih tercatat sekitar 900 ribu ton. Angka ini jauh lebih kecil dari surplus tahun-tahun sebelumnya.

Atas gambaran demikian, upaya untuk menggenjot produksi beras setinggi-tingginya menuju swasembada, terekam semakin berat untuk diraih. Terlebih jika iklim dan cuaca masih tidak bersahabat dengan kehidupan petani. Persoalannya, bakal semakin rumit, manakala jalan keluar yang dipilih Pemerintah hanya mengandalkan pada pendekatan sisi produksi, tapi tidak memberi perhatian serius terhadap sisi konsumsinya.

Ini berarti, program diversifikasi pangan, sudah saatnya dihangatkan lagi dan digarap dengan penuh kesungguhan. Penganekaragaman pangan merupakan solusi untuk mengerem laju konsumsi beras masyarakat. Selain itu, kita harus berani mengurangi program yang sifatnya tojai’ah. Jangan lagi ada kebijakan yang memaksa masyarakat mengkonsumsi nasi, padahal sebelum-sebelumnya, mereka mengkonsumsi jagung, sagu, umbi-umbian, singkong sebagai makanan pokoknya.

Tulisan “mengecat langit” swasembada pangan, hanyalah sebuah catatan kritis yang butuh perbincangan lebih lanjut. Sekaranglah waktu yang tepat untuk melahirkan terjemahan cerdas terkait makna swasembada pangan yang tertulis dalam Visi dan Misi Presiden Terpilih NKRI 2024-2029. Kita optimis, secara idealisme swasembada pangan merupakan kebutuhan, namun secara realistik, tidak semudah tukang sulap merubah saputangan berwarna merah jambu menjadi burung merpati berwarna hitam.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

 

Munafik

MUHASABAH SHUBUHSelasa, 2 Juli 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUNAFIQ Saudaraku, ketahuilah bahwa sifat munafik adalah sifat yang merusak ahlak manusia,

Read More »

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 30 Juni 2024Awa Koswara, S.PdGuru SDN Cibeunying 2 Majalaya Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *