6 January 2025 07:08
Opini dan Kolom Menulis

MENANTI UJIAN NASIONAL VERSI BARU

MENANTI UJIAN NASIONAL VERSI BARU
Oleh IDRIS APANDI
Praktisi Pendidikan

Mendikdasmen Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa Ujian Nasional (UN) rencananya akan dilaksanakan kembali tahun 2026. Terkait dengan format dan teknisnya saat ini masih dikaji. UN dihapus sejak tahun 2021 dan digantikan dengan Asesmen Nasional (AN) yang meliputi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), survei karakter, dan dan surver lingkungan belajar. Tujuan AN bukan untuk mengukur ketercapaian kompetensi lulusan, tetapi lebih kepada mendapatkan gambaran mutu literasi, numerasi, karakter, iklim keamanan sekolah, iklim kebinekaan, dan iklim pembelajaran. Sasaran peserta AN adalah kelas 5 SD/MI, kelas 8 SMP/MTs, dan kelas XI SMA/MA/SMK. Sampel peserta AN diambil secara acak. Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan diserahkan kepada satuan pendidikan. Hasil AN tergambar dalam rapor pendidikan daerah dan satuan Pendidikan dan jadi dasar dalam Perencanaan Berbasis Data (PBD) dan penyusunan RKAS.

AN bukan tanpa kritik. Kritik yang muncul terhadap AN diantaranya adalah peserta AN yang diambil melalui sampel dinilai tidak dapat menggambarkan keseluruhan mutu peserta didik atau mutu sekolah. Sampelnya pun tidak diambil secara proporsional berdasarkan populasi, tetapi sampel yang fix. Misalnya, sekolah yang total muridnya 100 orang jumlah sampelnya (peserta AN) sama dengan sekolah yang jumlah muridnya 1000 orang. Kelas 5 SD/MI maksimal 30 responden, kelas 8 SMP/MTs maksimal 45 responden, dan SMA/MA/SMK maksimal 45 responden. Hal ini yang memunculkan keraguan dari sejumlah pihak termasuk satuan pendidikannya itu sendiri terkait validitas hasil AN. Apakah sampel sejumlah tersebut dapat menggambar mutu sekolah? Inilah yang memantik agar AN dievaluasi.

Banyak pihak juga menilai bahwa kelulusan yang sepenuhnya diserahkan kepada satuan pendidikan berdampak terhadap menurunnya motivasi belajar peserta didik. Mau serendah apapun nilai yang didapatkan, mau seperti apapun karakter dan tingkat kehadiran seorang peserta didik, ybs hampir dipastikan lulus. Dampaknya, perguruan tinggi dan dunia kerja ragu terhadap kompetensi seorang lulusan walau nilai rapor dan nilai ijazahnya bagus.

Walau sebenarnya satuan pendidikan diberikan kewenangan untuk tidak menaikkan atau tidak meluluskan peserta didik setelah melalui pertimbangan yang sangat matang, tetapi pada kenyataannya, seolah ada aturan tidak tertulis bahwa peserta didik bagaimana pun kondisinya wajib naik kelas atau lulus. Hal ini yang menyebabkan menurunnya mutu lulusan. Ada kasus peserta didik SMP bahkan SMA yang belum bisa atau lancar membaca atau berhitung walau tugas atau soal yang diberikan termasuk kategori mudah. Hal ini dinilai sebagai dampak sekolah yang menaikkan atau meluluskan peserta didik yang sebenarnya tidak layak.

Dihapuskannya UN tahun 2021 bukan tanpa alasan. UN dinilai banyak berdampak negatif, utamanya terkait dengan integritas pelaksanaannya. Pada masa awal UN menjadi syarat kelulusan, segala cara ditempuh agar peserta didik lulus. Sekolah membuat tim sukses, terjadi kecurangan, dan terjadi kebocoran soal atau kunci jawaban. Peserta didik stres, guru stres, kepala sekolah stres, dan orang tua pun stres. Kepala Dinas Pendidikan pun ikut stres karena diwanti-wakti oleh bupati atau walikota jangan sampai nilai UN dan tingkat kelulusan rendah. Pelibatan tim pemantau dan aparat kepolisian dalam pengawasan UN walau tujuannya untuk memastikan pelaksanaan UN berjalan jujur, tetapi pada kenyataannya dirasakan menambah stres bagi panitia dan pengawas UN.

Dengan kata lain, UN menjadi horor tahunan di dunia pendidikan. Belajar selama 3 tahun ditentukan hanya dengan UN selama 3 hari, dan selama 2 jam pengerjaan soal. Ada sekolah yang didemo karena ada peserta UN yang tidak lulus, bahkan ada anak bunuh diri karena tidak lulus UN. UN yang hanya mengujikan empat mata pelajaran, yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan Bahasa Inggris dinilai kurang fair. Seolah empat mata pelajaran itu saja yang penting, sedangkan mata pelajaran yang lainnya tidak penting.

Jelang UN, sekolah sibuk melakukan pemantapan atau pengayaan mata pelajaran yang di-UN-kan. Sekolah tidak ubahnya seperti lembaga bimbel. Peserta UN di-drill mengerjakan latihan-latihan soal UN. Pengadaan buku latihan soal UN pun kadang menjadi beban bagi orang tua tidak mampu dan menjadi sarana oknum tertentu meraup keuntungan. Begitu pun orang tua yang khawatir anaknya tidak lulus UN, memasukkan anaknya ke bimbel walau harus membayar mahal.

Walau dalam perkembangannya UN tidak menjadi syarat kelulusan mutlak peserta dari satuan pendidikan karena digabung dengan nilai US, tetapi tetap pada pelaksanaannya stres dan suasana horor masih terasa. Soal-soal UN yang hanya dalam bentuk tes tertulis pun dianggap menjadi kelemahan karena hanya fokus kepada aspek kognitif, sedangkan kompetensi peserta didik bukan hanya kognitif, tetapi juga afektif, dan psikomotor sehingga hasil UN tidak menggambarkan kompetensi peserta didik secara utuh. Hal inilah yang mendorong dihapuskannya UN pada tahun 2021.

Munculnya rencana UN dilaksanakan kembali tahun 2026 tentunya diharapkan tidak lagi mengulang masalah sebagaimana yang terjadi pada masa sebelumnya. Oleh karena itu, tentunya Kemendikdasmen harus benar-benar hati-hati dalam melakukan kajian sebelum fix memutuskan melaksanakan UN kembali. Hal yang perlu diperhatikan misalnya kriteria peserta UN, jumlah mata pelajaran yang di-UN-kan, tipe soal yang diujikan, dan proporsi dengan aspek lain seperti nilai ujian sekolah, nilai rapor, karakter/sikap, dan kehadiran peserta didik sebagai dasar kelulusan peserta didik. Harus dibuat Prosedur Operasional Standar (POS) yang benar jelas agar pelaksanaan UN benar-benar berintegritas. Hal yang tidak kalah penting adalah perlunya peningkatan mutu proses pembelajaran sejak awal tahun, jangan lagi terjebak men-drill soal-soal latihan UN.

Model evaluasi apapun yang digunakan untuk mengukur hasil belajar peserta didik ada plus dan minusnya. Walau demikian, evaluasi pencapaian hasil belajar peserta didik diharapkan bisa dilakukan secara objektif, otentik, komprehensif, dan berkeadilan sehingga nilai-nilai yang tercantum pada ijazah benar-benar menggambarkan kompetensi seorang lulusan. Jadi, mari kita tunggu UN versi baru dengan catatan UN tidak menjadi syarat kelulusan peserta didik tetapi lebih kepada dasar bagi pemerintah untuk mengevaluasi dan menentukan arah peningkatan mutu pendidikan nasional.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *