14 October 2024 03:25
Opini dan Kolom Menulis

“LUHUR BUDI HANDAP ASOR”

“LUHUR BUDI HANDAP ASOR”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Peribahasa Sunda “luhur budi handap asor, someah hade ka semah”, sering dimaknai kita perlu memiliki perilaku yang baik, rendah hati, dan menghormati sesama. Peribahasa semacam ini mengingatkan kepada kita, dalam mengarungi kehidupan, kita perlu menjaga, memelihara dan melestarikan nilai-nilai kehidupan, yang selama ini menjunjung tinggi keadaban dan budaya adiluhung.

Jujur kita akui, seiring dengan perkembangan jaman, cukup banyak nilai-nilai kehidupan yang penuh kesakralan, berubah drastis karena perubahan jaman. Kehidupan yang penuh dengan kesahajaan bergeser dengan kehidupan yang hedonis. Hidup sederhana berubah jadi sofistikasi. Pamer kemewahan pun terjadi dimaba-mana.

Gawatnya lagi, penghargaan masyarakat terhadap kehidupan pun banyak berubah. Ukuran materi lebih dihargai ketimbang idealisme. Dalam pemilihan pejabat publik, baik itu anggota legislatif atau Kepala Daerah, ukurannya tidak lagi berbasis idealisme, namun lebih diutamakan sisi realisme nya. Mereka yang tidak cukup cuan nya, jangan pernah mimpi bakal menjadi Wakil Rakyat.

Hal ini sejalan pula dengan penghormatan yang diberikan rakyat kepada para inohongnya. Masyarakat cenderung akan memberi penghormatan lebih tinggi kepada para konglomerat ketimbang tokoh masyarakat yang ada disekitarnya. Rakyat akan memberi sambutan berbeda terhadap orang yang datang naik Toyota Alphard ketimbsng yang naik motor Yamaha.

Ya, itulah kehidupan. Keterpukauan orang-orang terhadap kemewahan tidak bisa lagi dikalahkan oleh kesederhanaan. Peribahasa “luhur budi handap asor” sangat sulit dijadikan ukuran dalam menilai perilaku seseorang. Masyarakat cenderung akan membuat ukuran sendiri yang cenderung pragmatis. “Someah hade ka semah” pun semakin memudar dalam kehidupan.

Orang-orang, tidak lagi melihat siapa sosok yang berkunjung, namun lebih melihat apa yang dibawanya ketika berkunjung. Masyarakat akan senang kalau ada pejabat yang bagi-bagi kaos atau bingkisan, ketimbang mereka yang datang hanya sekedar berpidato politik saja. Rakyat di pelosok-pelosok, terkesan butuh yang konkrit, bukan cuma impian.

Inilah barangkali yang menjadi alasannya, mengapa dalam Pemilihan Pejabat Publik di negeri ini, jarangsrkali rakyat yang memilih sosok yang pinter pidato tapi tidak membawa “bingkisan” apa-apa. Penghormatan masyarakat kepada calon pemimpinnya, tidak lagi menggunakan nilai keluhuran budi, tapi lebih ditentukan oleh kekuatan materi yang menyertainya.

Bangsa ini, kini sedang dihinggapi nilai kehidupan pamer kemewahan yang dipertontonkan dalam berbagai bentuk kegiatan. Banyak ibu-ibu pejabat yang doyan memamerkan barang-barang mewah yang dimilikinya. Gaya hidup sofistikasi (sofisticated) alias tak pernah merasa puas atas apa yang sudah diraihnya, tampil menjadi trend kehidupan.

Yang lebih memilukan, ternyata tidak sedikit orang-orang yang mengembangkan gaya hidup karikatif atau bersandiwara, hanya sekedar untuk memuaskan hawa nafsunya semata. Kepura-puraan pun diperlihatkan lewat berbagai bentuk. Ada yang senang memakai barang palsu, seperti pakai sepatu bermerk Bally buatan Itali. Padahal yang dipakainya sepatu buatan Cibaduyut.

Ada juga ibu-ibu yang begitu bangganya mengenakan jam tangan mewah bermerk, tapi sebetulnya buatan Surabaya. Lebih sedih lagi ada seorang ibu muda yang memperlihatkan barang-barang mewahnya di medsos, membuat suaminya dipanggil oleh Aparat Penegak Hukum. Maklum sang suami adalah seorang Aparat Sipil Negara yang penghasilannya bisa diukur.

Begitulah, secuil fenomena pergeseran gaya hidup yang kini muncul jadi nilai baru dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Banyak nilai budaya adiluhung yang tergerus oleh nilai kekinian yang cenderung bertabrakan dengan nilai-nilai budaya adiluhung. Keadaban dianggap sebagai hal yang tidak penting. Semua tertelan oleh hal-hal yang sifatnya pragmatis.

Penghambaan terhadap materi, tampak sudah menjadi “berhala” baru dalam kehidupan. Kekayaan dan kemewahan, sudah dianggap sebagai ukuran dalam menilai kehebatan seseorang. Keluhuran budi tidak lagi dijadikan indikator status sosial seseorang dalam kehidupan. Walau berbudi luhur, tapi hidupnya sederhana, susah untuk mendapat pengakuan dari masyarakat di sekitarnya.

“Luhur budi handap asor, someah hade ka semah”, sepertinya semakin susah untuk diterapkan dalam kehidupan nyata di masyarakat. Nilai kehidupan seperti ini, terlihat semakin sulit ditemukan. Penghormatan yang diberikan kepada seseorang, juga mengalami perubahan yang cukup mendasar dalam kehidupan. Pertanyaan pun sering mengumandang dalam kehidupan nyata di masyarakat.

Contoh : apakah masih layak kita memberi sebutan “yang terhormat” kepada para Wakil Rakyat, jika semakin banyak ditemukan diantara mereka yang senakin sering melakukan kejahatan “kerah putih” ? Apakah bukan sesuatu hal yang memalukan, jika semakin banyak anggota DPR yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Aparat Penegak Hukum ?

Mengenaskan, nemang ! Keluhuran budi seorang Wakil Rakyat, rupanya kalah keren oleh oknum-oknum yang doyan mengumbar hawa nafsu untuk menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Yang jelas, prinsip ” kapan lagi akan berperilaku “mak mak meuk meuk”, kalau tidak dilakukan saat ini, tampak seperti dogma baru dalam kehidupan.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Kekhawatiran Nabi Kepada Pemimpin yang Bodoh

𝓑𝓲𝓼𝓶𝓲𝓵𝓵𝓪𝓪𝓱𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓶𝓪𝓪𝓷𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓲𝓲𝓶Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuuh Ahad, 13 Oktober 2024 / 10 Rabi’ul Akhir 1446 Kekhawatiran Nabi Terhadap Pemimpin yang Bodoh

Read More »

Empat orang yang tidak tersentuh api neraka

𝓑𝓲𝓼𝓶𝓲𝓵𝓵𝓪𝓪𝓱𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓶𝓪𝓪𝓷𝓲𝓻𝓻𝓪𝓱𝓲𝓲𝓶Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barokatuuh  Sabtu, 12 Oktober 2024 / 9 Rabi’ul Akhir 1446 Empat Orang yang Tidak Tersentuh Api Neraka   عَنْ عَبْدِ

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *