7 October 2024 05:49
Opini dan Kolom Menulis

Lampu Kuning Ketahanan Pangan

LAMPU KUNING KETAHANAN PANGAN

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Lampu kuning ketahanan pangan kini tengah berkelap kelip. Arahnya tentu saja ke lampu merah. Soal ketahanan pangan bangsa dalam beberapa waktu belakangan ini, memang berada dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. Bukan saja karena merangkaknya harga beras yang susah dikendalikan, namun dsri sisi ketersediaannya pun, berada dalam kondisi yang merisaukan. Padahal kita tahu persis, yang namanya ketersediaan pangan merupakan penentu utama kokoh atau tidsknya ketahanan pangan sebuah bangsa.

Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, telah menegaskan Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.

Indikasi ketersediaan pangan, khususnya beras mengkhawatirkan, sebetulnya dapat kita lihat dari dibukanya kran impor beras yang selama ini ditutup rapat. Pemerintah sendifi seperti yang tidak yakin akan produksi dalam negeri. Menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, akhirnya Pemerintah menerapkan lagi kebijakan impor beras. Untuk tahun ini Pemerintah merencanakan impor beras sebesar 2 juta ton.

Antisipasi semacam ini, tentu dimulai dengan banyak kajian dan analisis terkait dengan perkembangan perberasan, baik di dunia internasional atau pun di dalam negeri. Berkaca pada pengalaman tahun lalu dimana kita direpotkan oleh menipisnya cadangan beras Pemerintah, yang di penghujung tahun berada dalam posisi mengkhawatirkan, maka saat ini Pemerintah tidak mau lagi “kecolongan”, karena teledor dalam membaca isyarat jaman.

Bayangkan jika kita tidak merencanakan impor sebesar 2 juta ton, lalu kini kita menghadapi sergapan El Nino, lalu dari mana kita akan memenuhi kebutuhan beras di dalam negeri, baik untuk keperluan konsumsi masyarakat, untuk cadangan beras Pemerintah, untuk kebutuhan bantuan sosial beras dan lain sebagainya lagi ? Masalahnya bisa menjadi semakin rumit, manakala Pemerintah meramalkan, akan terjadinya gagal panen berkisar antara 380 ribu ton hingga 1,2 juta ton gabah kering panen.

Pemerintah memang telah menyiapkan langkah untuk mencari solusi cerdasnya. Dengan ditempuhnya penambahan luas tanam sebesar 500 ribu hektar yang tersebar diberbagai daerah sentra produksi padi, diharapkan mampu mengganti tanaman padi yang gagal panen. Tapi, ceritanya akan menjadi lain, sekiranya ramalan gagal panen tidak terjadi dan penambahan areal tanam berhasil sesuai yang direncanakan. Tinggal sekarang, bagaimana kita mengupayakannya.

Upaya memperkokoh ketersediaan pangan, khususnya beras dari hasil produksi petani di dalam negeri, sepertinya berada di pundak Kementerian Pertanian. Sesuai dengan tugas dan fungsi yang menjadi urusan dan kewenangannya, Kementerian Pertanian dituntut untuk dapat meningkatkan produksi dan produktivitas hasil-hasil pertanian setinggi-tingginya menuju swasembada.

Ketika berlangsung acara NGOBRAS tentang Penyuluhan Pertanian tanggal 5 September 2023 di Bogor tentang Strategi Ketersediaan Pangan Nasional, Pemerintah tetap memberi titik tekan kepada program intensifikasi dan ekstensifikasi. Pemerintah optimis, langkah menggenjot produksi dengan penerapan inovasi dan teknologi baru di bidang budidaya tanaman, bakal mampu memacu produksi ke arah yang diharapkan. Penambahan luas tanam dan percepatan masa tanam, dinilai sebagai langkah kreatif yang dapat ditempuh.

Lampu kuning Ketshanan Pangan dalam beberapa hari bdlakangan ini pun semakin cepat berkelap kelip. Pasalnya, karena harga beras merangkak dengan cepat. Naiknya hargs beras diawali dengan naiknya harga gzbah yang mencapai Rp. 6800,- hingga Rp. 7000,- per kilo gram. Bagi petani, naiknya harga gabah di pasaran, bolehlah disebut sebagai berkah kehidupan, namun bagi masyarakat selaku konsumen, naiknya harga beras, jelas sebagai tragedi kehidupan yang memilukan.

Akan tetapi semangat pengendalian harga beras, tentu saja tidsk luput dari amatan Presiden Jokoei. Jauh-jauh hati Presiden telah menugaskan para Pembantunya untuk segera menetapkan harga beras yang wajar. Pengertian wajar ini tentu diarahkan bagi petani selaku produsen, bandar dan tengkulak selaku pedagang, dan masyarakat selaku konsumen. Pertanyaannya, mengapa sampai sekarang, harga yang wajar itu belum diperoleh juga ? Ada apa sebetulnya dengan harga beras saat ini ?

Problem seperti ini, mestinya mampu segera kita jawab secara cerdas. Mengapa para Pembantu Presiden ibarat yang tak berdaya menghadapi naiknya harga beras ? Apakah mereka lebih sibuk ngurus Partai Politiknya, mengingat sekarang ini sudah menghangat Tahun Politik ? Atau, memang mereka tidak mampu melahirksn langkah cerdas guna mengendalikan kenaikan harga beras itu sendiri ? Untuk jawabannya, kita yakin Presiden sudah mengantonginya.

Jujur harus diakui, merangkaknya harga beras selama ini, cukup banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya, karena semakin lsngkanya beras di pasaran. Situasinya menjadi lain, jika beras melimpih ruah di pasar. Memang ada yang berpandangan, naiknya harga gabah dan beras dengan angka yang sangat bombastis, disebabksn oleh menurunnya produksi yang dihasilkan para petani di dalam negeri. Hal semacam ini, sesungguhnya telah mampu dibaca oleh Pemerintah.

Catatan kritisnya adalah mana mungkin Pemerintah akan merencanakan impor beras sebesar 2 juta ton, bila produksi dalam negeri mampu menjamin kebutuhan beras bagi masyarakat. Beban ini semakin berat, mengingat beberapa bulan sebelum Pemerintah memutuskan impor beras lagi, Pemerintah baru saja mendapat Piagam Penghargaan dari IRRI dengan sepengetahuan FAO atas kisah suksesnya menggenjot produksi, sehingga mampu meraih Swasembada Beras kembali.

Tak kalah pentingnya untuk dijadikan perbincangan lampu kuning ketahanan pangan, tentu saja erat kaitannya dengan program penganekaragaman pangan yang selama ini tidak digarap dengan serius. Langkah meragamkan pola makan agar tidak bergantung kepada satu jenis bahan pangan ini, terekam belum ditempuh secara sistemik dan berkelanjutan. Kalau pun ada kegiatannya, terkesan masih sporadis. Atau hanya sekedar untuk menggugurkan kewajiban semata.

Padahal, kalau kita mampu menggarapnya secara serius, program diversifikasi pangan ke arah pangan lokal, dapat menjadi solusi cerdas untuk mengurangi beban sisi produksi yang kini tampak sudah sangat berat. Kita berharap dengan dinaikannya anggaran ketahanan pangan jadi Rp. 108,8 trilyun tahun 2024, akan semakin memberi berkah bagi perjalanan ketahanan pangan di negeri ini, sehingga kelap kelipnya menjadi lampu hijau.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

“LIANG COCOPET”

“LIANG COCOPET” OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA “Liang Cocopet” adalah ungkapan umum dalam kehidupan masyarakat. Tatar Sunda, yang intinya menggambarkan tempat

Read More »

Tanda Terimanya Sebuah Amal

MUHASABAH AKHIR PEKANMinggu, 6 Oktober 2024 TANDA DITERIMANYA SUATU AMAL BismillahirrahmanirrahiimAssalamu’alaikum wr wbrkt… Saudaraku,Perlulah kita ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *