8 January 2025 00:20
Sentuhan Qalbu

“Kuleuheu”

“KULEUHEU”

OLEH : ENTANG SASYRAATMADJA

Kuleuheu itu bahasa Sunda. Secara umum, artinya dekil atau kotor belum dicuci. Kuleuheu lebih menggambarkan penampilan seseorang. Kuleuheu juga sering disebur “kurang berseka”. Contoh, ketika ada mahasiswa yang terlalu asyik belajar, dirinya lupa cuci muka, mengingat pagi itu harus ujian. Pas datang ke kampus, kelihatan sekali dirinya itu kuleuheu.

Dalam melakoni kehidupan, setiap insan dituntut untuk berseka (bersih, sehat dan berkah). Hidup bersih merupakan tuntutan kehidupan. Itu sebabnya, para orang tua mengajari anak-anaknya, minimal sehari mandi dua kali. Pagi dan sore. Begitu pun dengan sehat. Setiap anak diajarkan agar setiap pagi harus sarapan agar daya tahan tubuhnya terpelihara.

Madi dan sarapan di pagi hari adalah warisan kehidupan yang secara alami diajarkan para orang tua kepada anak-anak mereka. Setelah itu, setiap anak sebelum berangkat ke sekolah akan menyalami ayah dan ibunya untuk pamit dan orang tuanya akan mendoakan anak-anaknya supaya memperoleh ilmu pengetahuan yang memberi berkah dalam kehidupan nya kelak.

Namun begitu, seiring dengan perkembangan jaman, perilaku kehidupan seperti ini, sudah sangat jarang kita temukan lagi. Para orang tua masa kini, tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Sang ayah dan ibunya, pagi-pagi sudah harus pergi kerja agar tidak telat masuk kantor dan anaknya diurus oleh asisten rumah tangga.

Dapat dibayangkan, kalau setiap pagi anak-anak mereka diurus oleh asisten rumah tangga, praktis sentuhan kasih sayang orang tua terhadap anak mereka, memudar dengan sendirinya. Terlebih jika asisten rumah tangganya, seseorang yang selama hidupnya tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua. Maklum dirinya dibesarkan oleh nenek dan kakeknya di kampung.

Saat penulis kuliah di Bogor akhir tahun 1970an, rata-rata mahasiswinya tampak kuleuheu. Maklum kurikulum yang ketat, setiap hari Sabtu ujian, mana mungkin mereka bisa bersolek. Yang mereka pikirkan, bagaimana cara belajar yang baik agar hasil ujiannya bagus. Sebab, kalau nilai akhirnya F, maka dirinya akan di drop out dan kembali ke kampung halamannya.

45 tahun lalu, kuliah di Bogor betul-betul menuntut pengorbanan. Bukan saja hampir setiap pagi sampai sore hujan, sehingga kemana-mana harus nawa jas hujan, ternyata padatnya mata kuliah dan praktikum, membuat para mahasiswa terpaksa harus tampil kuleuheu. Gaya hidup berseka, susah untuk dijalani. Setiap hari harus bergumul dengan buku teks.
Akibatnya wajar, jika di akhir tahun, akan kita saksikan ratusan mahasiswa yang dikembalikan ke keluarganya, mengingat nilai akhirnya ada mata kuliah bernilai F. Kalau pun tidak ada nilai F, tapi jika nilai komulatifnya banysk D, sehingga kurang dari 2,0, maka dirinya pun harus mengucapkan “good bye” Kota Bogor. Selamat tinggal bemo, kendaraan kesayangan mahasiswa Bogor.

Perlu dibewarakan, para mahasiswa yang kuliah di kampus penulis, umumnya berasal dari Kabupaten/Kota yang tersebar dari berbagai pelosok tanah air. Pokoknya dari Sabang sampai Merouke kumpul di Kota Bogor. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai miniatur Indonesia. Mau nyari orang Sunda, Jawa, Padang, Batak, Bugis, Irian dan lain-lain kumpul disana.

Mereka adalah putera-puteri terbaik di jamannya, yang diusulkan oleh SMA masing-masing seluruh Indonesia atas undangan tanpa test dari kampus. Akibatnya wajar, kalau penampilan mereka di kampus, ibarat 1000 macam bunga yang sedang tumbuh. Segala macam suku bangsa ada. Segala nilai kehidupan dapat diamati. Pokoknya. Ke-Indonesia-an tergambarkan disana.

Akan tetapi, sekali pun di kampus tersebut terekam ada beragam perbedaan, ternyata setelah sekian bulan kuliah, ada kesamaan yang mudah kita lihat. Mereka terlihat kelelahan dan terkesan kurang tidur, karena dipacu belajar untuk menghadapi ujian dan praktikum setiap minggunya. Lumrah, bila banyaj yang menyebutnya “karuleuheu”.

Kata kuleuheu sendiri, saat itu sempat beken dan jadi “trade mark” para mahasiswa di Kampus Rakyat. Penamaan ini sengaja dikembangkan oleh Dewan Mahasiswa, mengingat para mahasiswa yang kuliah, mewakili segenap rakyat Indonesia. Inilah kehebatan para Guru Besar di kampus yang mendambakan segenap anak bangsa dapat menduduki bangku Universitas.

Sejak itu, para mahasiswi banyak yng berkaca diri. Sekali pun sibuk kuliah, karena kurikulum yang ketat, pelan tapi pasti, akhirnya para mahasiswi pun mulai banyak yang berseka. Terlebih setelah hadirnya mahasiswa yang pada masanya disebut sebagai “publik figur”. Mahasiswa yang kuleuheu semakin berkurang jumlshnya. Kini bertebaran yang modis-modis.

Sebagai catatan penutup tulisan ini, para mahasiswa yang tumbuh dan berkembang di Kampus Rakyat kurun waktu akhir tahun 1970an, pasti akan selalu ingat terhadap kata kuleuheu. Terlebih bagi seorang mahasiswa yang naksir mahasiswi adik angkatannya, karena penampilannya yang kuleuheu. Ternyata harus diakui, sosok yang kuleuheu pun dapat membawa berkah kehidupan.

Dunia telah berubah. Kini, kita cukup kesulitan menemukan mahasiswi yang kuleuheu di kampus-kampus. Paling, ada satu dua orang saja. Sekarang, para mahasiswi sudah “charming-chatming”. Selain itu, hampir tidak akan ada mahasiswa yang naksir mshasiswi yang kuleuheu. Semoga jadi percik permenungan bersama.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *