4 July 2024 10:47
Opini dan Kolom Menulis

KUDU NYANGHULU KA HUKUM, NUNJANG KA NAGARA , MUFAKAT KA BALAREA

KUDU NYANGHULU KA HUKUM, NUNJANG KA NAGARA , MUFAKAT KA BALAREA

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Diterjemahkan secara bebas, arti pepatah Sunda diatas adalah harus mengacu kepada hukum, menjunjung negara dan mufakat untuk kebaikan bersama. Pepatah ini, lebih diarahkan kepada mereka yang diberi amanah menjadi pemimpin bangsa. Bagi seorang pemimpin, dirinya tidak boleh berlawanan dengan atiuran hukum yang berlaku. Artinya, kalau seorang pemimpin dilarang korupsi atau gratifikasi, maka menjadi tanggungjawab dirinya untuk tidak melakukan perbuatan yang tercela diatas.

Seorang pemimpin juga harus selalu berjuang untuk mewujudkan tujuan negara sebahaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Kepentingan pribadi, keluarga dan kelompoknya perlu dinomor-duakan ketimbang kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan Merah Putihlah yang wajib diutamakan. Itu sebabnya, menjadi pemimpin bangsa, dipundaknya terpikul beban yang cukup berat. Seorang pemimpin, tidak boleh melupakan apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan warga bangsanya.

Sedangkan bermufakat untuk kepentingan dan kebaikan bersama, juga patut mendapat titik tekan dari seorang pemimpin bangsa. Semua rencana pembangunan, sepantasnya dibahas dan dibincangkan dengan segenap komponen bangsa. Pemimpin penting untuk mendengar apa yang diaspirasikan warga masyarakatnya. Pemimpin tidak boleh “nawa karep sorangan”. Hanya pemimpin bangsa yang mampu menyelami hati rakyat, yang bakal mampu membawa bangsa tersebut mersih cita-cita kemerdekaan nya.

Dalam kehidupan masyarakat di Tatar Sunda ada istilah pemimpin itu harus “masagi”. Artinya, pemimpin harus mampu SATU antara tutur kata dan perbuatan. Pemimpin perlu menjadi panutan warga masyarzkatnya. Pemimpin tidak boleh merasa pintar sendiri. Lebih jauhnya lagi, pemimpin penting untuk berani bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya. Pemimpin yang masagi adalah sosok pemimpin yang dicintai dan dihormati oleh rakyatnya sendiri.

Dalam budaya adiluhung masyarakat Sunda dikenal adanya istilah “silih asah, silih asih dan silih asuh”. Selain itu, ada juga sebutan “silih wawangi”. Kepemimpinan Sunda tidak mengenal adanya pemimpin yang arogan, apalagi terlihat jauh dari warga masysrakatnya. Pemimpin Sunda selalu dekat dengan rakyat. Tidak pernah susah ditemui rakyat. Pemimpin yang masagi tidak akan pernah memposisikan diri sebagai manusia yang “legeg” alias blagu.

Menurut catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), selama ini banyak pemimpin, baik di tingkat Nasional atau Daerah yang ditangkap, karena terlibat penyalah-gunaan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya. Sebagai Kepala Daerah, mereka mestinya tahu, jika dirinya melakukan jual beli jabatan, maka ujung-ujungnya akan berakhir di penjara Sukamiskin, Bandung. Menghargakan jabatan birokrasi jelas bertabrakan dengan hukum yang berlaku.

Selain bisnis jabatan, banyak Kepala Daerah yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT), karena terjerat gratifikasi. Kita masih ingat kasus seorang Kepala Daerah yang ketahuan menerima sepatu bermerk luar negeri, sebagai bentuk gratifikasi. Hal ini terjadi, karena pejabat publik yang bersangkutan terlibat dalam urusan memenangkan sekelompok pengusaha dalam proyek Pemerintah dengan nilai milyaran rupiah. Nasib sial benar-benar menimpanya. Padahal, dirinya hanya sekedar menerima komisinya saja.

Tidak hanya itu. Ada Kepala Daerah yang menjadi aktor intelektual dalam pengaturan proyek yang ada dalam APBD nya. Semua proyek dengan nilai milyaran rupiah, harus dapat restu dirinya. Para pengusaha nya pun diatur. Sebagian besar yang mendapatkan proyek umumnya Tim Sukses yang menopang dan menghantarkan dirinya menjadi Kepala Daerah. Bayangkan, berapa banyak uang proyek yang masuk kocek dirinya jika dan hanya jika menduduki jabatan selama dua periode.

Dalam kehidupan masyarakat yang hedonis dan gaya hidup yang sofistikasi, seorang pejabat publik memiliki kesempatan untuk berbuat yang macam-macam jika dirinya tidak tahan godaan. Dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya, seorang Kepala Daerah bisa saja memanfaatkan APBD guna memuaskan kepentingan dan ambisi pribadinya. Itu sebabnya, dalam suasana yang demikian, para pemimpin bangsa sangat dituntut kehati-hatian dalam menjalankan kepemimpinannya.

Ketaat-azasan seorang pemimpin terhadap aturan dan hukum yang berlaku, menjadi modal utama seorang pejabat publik dalam menjalankan kepemimpinannya. Hal ini penting untuk disampaikan, karena sehebat apa pun gaya kepemimpinan yang diterapkan, namun jika tidak diikuti oleh ketaatan terhadap hukum, sekalinya nasib sedang sial, boleh jadi dirinya akan berhadapan dengan Aparat Penegak Hukum juga. Tidak jarang pula pejabat yang terjaring OTT KPK adalah seorang Sarjana Hukum.

Menjadi pemimpin yang baik, sebetulnya bukan hal yang sulit untuk diwujudkan. Selama kita tetap berpijak pada budaya adiluhung yang dimiliki, mestinya para pemimpin bangsa, tidak perlu berhadapan dengan Aparat Penegak Hukum seperti KPK, Kejaksaan dan Kepolisian. Dengan mengedepankan spirit “silih asah, asih, asuh dan wawangi”, rasanya tidak perlu para pemimpin harus tergelincir ke lembah kehidupan yang penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.

Secara esensial budaya adiluhung diatas, mengingatkan agar dalam melakoni kepemimpinannya, seorang pemimpin bangsa akan selalu mengasah dirinya untuk tampil menjadi pemimpin yang bersahaja. Dirinya akan tahan terhadap bujuk rayu pihak-pihak tertentu yang ingin memanfaatkan jabatan dan kewenangan yang dimilikinya. Gaya hidup bersahaja atau boleh juga disebut selalu menyesuaikan dengan perilaku kehidupan rakyat banyak adalah syarat utama yang patut untuk dipenuhinya.

Tidak mudah untuk menjadi seorang pemimpin. Apalagi jika berkehendak untuk jadi Kepala Daerah. Selain butuh kemampuan intelektual dan moral yang mumpuni, juga menuntut adanya modal financial yang memadai. Menjadi Gubernur, Bupati dan Walikota, perlu dana yang tidak kecil. Tanpa punya dana yang kuat, sebaiknya dihaous saja keinginan untuk menjadi Kepala Daerah. Mekanisme Pemilihan Kepala Daerah secara langsung dipilih rakyat, melahirkan hanya para calon bermodal kuat saja yang mampu meraihnya.

Akibatnya wajar jika setelah dirinya terpilih, maka yang jadi fokus utamanya adalah bagaimana langkah terbaik dan tercepat untuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya. Yang paling mungkin untuk ditempuh adalah dengzn mengutak-atik anggaran yang ada dalam APBD atau pun APBN. Pengalaman menunjukan, jika dirinya tidak waspada, bisa saja langkah dan gerakannya akan menjadikan dirinya masuk ke dalam penjara.

Pemimpin bangsa, tentu harus selalu taat hukum. Pemimpin juga harus selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Bahkan pemimpin yang baik, akan selalu berjuang keras untuk selalu dekat dengan rakyat yang telah memilihnya. Itulah pemimpin bangsa sejati. Dirinya akan tetap menjaga komitmen yang telah diikralkan tatkala nengucapkan sumpah jabatan. Itulah salah satu esensi dari pepatah Sunda yang dijadikan tulisan diatas.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Jangan Sembunyikan Ilmumu

WASILLAH SHUBUHKamis, 4 Juli 2024. BismillahirahmanirahimAssallamu’alsikum wr wbrkt JANGAN SEMBUNYIKAN ILMUMU. Saudaraku…Ketika saya menyampaikan postingan tentang agama, itu tidak berarti

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *