7 July 2024 01:42
Opini dan Kolom Menulis

Komitmen Bela Petani

KOMITMEN BELA PETANI

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Kata komitmen berasal dari bahasa latin yaitu “commiter” yang maknanya adalah menyatukan, mengerjakan, menggabungkan dan mempercayai. Arti komitmen sebenarnya sangat luas. Secara definisi, istilah ini menggambarkan suatu pengabdian atau perjanjian pada diri seseorang terhadap suatu hal dalam jangka waktu yang lama. Dalam hubungan percintaan misalnya, komitmen adalah tanggung jawab diri kepada pasangan yang perlu dijaga bersama-sama.

Komitmen Bela Petani dalam tulisan ini, tentu saja memiliki kaitan erat dengan pemahaman “bela negara”. Bukan saja melakukan pembelaan terhadap petani merupakan kehormatan dan tanggungjawab untuk memartabatkan nasib sesama anak bangsa, namun bela petani pun merupakan upaya mewujudkan hak petani untuk dapat hidup sejahtera.

Agar pemahaman ini menjadi utuh ada baiknya kita mulai dari hakekat dan tujuan bela negara. Seperti yang diketahui, bela negara diartikan sebagai sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh rasa cinta dan kesadaran akan kewajiban membela negara dan bangsa. Lahirnya konsep Bela Negara berkaitan dengan proses perjuangan bangsa Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari penjajahan Belanda.

Tujuan bela negara bagi bangsa Indonesia adalah menumbuhkan jiwa nasionalisme atau cinta Tanah Air di antara warga negara Indonesia. Adanya jiwa cinta Tanah Air inilah yang dapat menjaga keutuhan bangsa dan negara Indonesia dari berbagai ancaman terhadap persatuan dan kesatuan.
Komitmen Bela Petani, sebetulnya wujud dari kecintaan terhadap anak bangsa yang hingga kini, kondisi kehidupannya masih memprihatinkan.

Salah besar, jika masih ada diantara kita menganbil kesimpulan, sebagian besar petani di Tanah Merdeka, sudah hidup sejahtera. Jujur harus kita akui, kaum tani di negeri ini, umumnya masih tetap terjebak dalam perangkap kemiskinan yang tak berujung pangkal. Kaum tani, khususnya petani padi berlahan sempit atau sama sekali tidak memiliki lahan, nasib dan kehidupannya benar-benar masih memilukan.

Berpuluh-puluh tahun, mereka menghadapi tekanan hidup yang cukup berat. Hampir 79 tahun Indonesia merdeka, belum mampu membawa perubahan nasib ke arah yang lebih baik. Mereka tetap menderita dan melakoni kehidupan dengan penuh kesengsaraan. Akibatnya, tidak terlalu keliru, bila banyak pihak menyatakan mereka layak disebut sebagai “korban pembangunan”.

Nelangsanya kehidupan petani berlahan sempit, pasti sudah sama-sama kita kenali. Seiring dengan itu, kita juga memahami, ada segolongan orang yang pantas disebut sebagai “penikmat pembangunan”. Mereka terlihat cukup sejahtera dan betul-betul dapat merasakan nikmatnya pembangunan. Kehidupan mereka benar-benar kontradiktif dengan kehidupan kaum tani.

Bagi mereka, pembangunan yang kita lakoni sekarang, betul-betul sebuah berkah kehidupan. Hal ini, sungguh jauh berbeda dengan kehidupan yang dialami kaum tani. Dibenak mereka, pembangunan yang dijalani benar-benar sebuah tragedi kehidupan yang menyedihkan. Lebih sedih lagi, mereka masih bisa menyambung nyawa kehidupan, karena adanya bantuan sosial dari Pemerintah. Tanpa bansos, boleh jadi “tidak ada” kehidupan lagi.

Membela petani, tidak cukup hanya dengan menerbitkan sebuah regulasi sekelas Undang Undang dan seabreg turunannya. Apalah artinya Undang Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, yang kemudoan dosempurnakan dengan Undang Undang Cipta Kerja, jika dalam kenyataannya tidak dapat diterapkan. Hal inilah yang patut dijadikan percik permenungan bersama.

Betul ! Sudah lebih dari 10 tahun Undang Undang yang semangatnya melindungi dan memberdayakan petani dilahirkan. Pertanyaannya apakah para petani telah merasa dilindungi dan diberdayakan dalam mengarungi kehidupannya ? Atau masih belum, dimana makna perlindungan dan pemberdayaan petani ini, masih mengedepan sebagai cita-cita dan belum dapat terasakan dengan nyata oleh para petani ?

Jawabannya tegas : belum ! Para petani, umumnya belum terbebas dari permainan oknum tertentu yang doyan memainkan keberadaan pupuk subsidi tatkala musim tanam tiba. Akibatnya wajar, jika mereka selalu mengeluhkan kelangkaan pupuk. Lebih parah lagi, bila pupuknya kurang. Resikonya banyak petani yang tidak kebagian jatah pupuk
subsidi. Hingga kini, pe-er ini belum terselesaikan dan tertuntaskan.

Baru tahun ini Pemerintah menyadarinya, sehingga kebijakan anggaran pupuk bersubsidi ditambah 14 trilyun rupiah. Yang jadi soal, mengapa baru sekarang kebijakan itu dilakukan ? Bukankah akan lebih baik, kalau tambahan anggaran pupuk bersubsidi ini ditempuh sejak beberapa tahun lalu ? Rasanya, cuma Pemerintah yang bakal mampu menjawab pertanyaan ini dengan gamblang.

Kelangkaan pupuk bersubsidi di waktu musim tanam tiba, betul-betul menjadi masalah rutin yang harus dihadapi para petani. Mengapa masalah ini sangat sulit dituntaskan, padahal yang namanya musim tanam padi, paling hanya 2 atau 3 kali saja berlangsung dalam satu tahun nya ? Masa sih, kita tidak mampu mengantisipasi segala kemungkinan yang jadi pokok persoalannya ?

Gambaran ini hanya salah satu teladan, betapa sulitnya Pemerintah menjawab soal pupuk bersubsidi. Lalu, apakah betul masalah ini terjadi karena minimnya anggaran yang diberikan Pemerintah? Ini yang patut dicermati lebih seksama. Apakah dengan ditambah anggaran 14 trilyun rupiah, maka masalah pupuk bersubsidi akan tertuntaskan ? Inilah yang pantas kita analisis lebih dalam lagi.

Membela petani yang kondisi kehidupannya masih memprihatinkan, jelas merupakan pekerjaan yang sangat mulia. Sebagai warga bangsa, petani mestilah tampil dengan penuh keceriaan dan bahagia. Petani tidak boleh menderita. Sebab, betapa nelangsanya Ibu Pertiwi, bila masih menyaksikan ada anak bangsa yang belum terbebas dari suasana hidup miskin.

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 6 Juli 2024Naning Kartini (Guru Ngaji SDN Ciawigede Majalaya) Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *