7 July 2024 00:38
Opini dan Kolom Menulis

“KOKOD MONONGEUN”

Foto: Prof. Dr. M. Surya PB PGRI

KOKOD MONONGEUN

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Dalam catatan Idris Afandi (2016), ada sebuah pernyataan menarik dari makna “kokod monongeun” yang disampaikan oleh Prof. Mohamad Surya, pakar pendidikan yang juga pernah menjadi ketua PB PGRI (1998-2003) dan mantan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili Jawa Barat Periode 2004-2014 pada sebuah seminar pendidikan sekitar 8 tahun lalu.

Kokod Monongeun, istilah yang digunakan oleh Prof. Mohamad Surya dalam tulisannya, adalah sebuah idiom dalam Bahasa Sunda, yang artinya sebuah pekerjaan atau hal yang tidak pernah matang atau selesai karena terlalu banyak tangan (kokod) yang mengurusinya. Ganti pejabat, ganti kebijakan. Itu adalah salah satu bentuk kokod monongeun yang terjadi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat saat ini.

Pembeda utama seorang pejabat dan bukan pejabat terletak pada kekuasaan dan kewenangan jabatan yang digenggamnya. Sebut saja soal hak prerogatif yang dimiliki seorang Presiden. Di negeri ini, hanya Presiden yang memiliki hak untuk mengangkat para Pembantunya. Ketua MPR, DPR, MA, MK, KPK dan lain sejenisnya tidak memiliki hak untuk mengangkat seorang Menteri.
Namun begitu, seorang Presiden tidak dilarang untuk meminta pandangan terhadap koleganya, jika dirinya akan menetapkan seseorang menjadi Pembantunya. Sebut saja, ketika Presiden akan mencari Menteri Pertanian. Presiden tentu memiliki banyak pilihan untuk menetapkan siapa yang paling pas untuk menduduki jabatan tersebut.

Presiden dengan hak prerogatifnya, bisa saja mengangkat siapapun yang bakal menjadi Pembantunya. Isteri, anak, kakak, adik, keponakan dan lainnya lagi, boleh boleh saja dijadikan Menteri dalam Kabinet yang bakalan dibentuknya. Presiden berhak pula mengangkat Pembantunya yang semua Menterinya bebas kekerabatan. Mereka tidak ada satu pun yang memiliki hubungan darah atau ikatan keluarga.

Jaman Orde Baru, Presiden Soeharto mengangkat puterinya Mb Tutut sebagai Menteri dalam Kabinet yang dipimpinnya. Ini sah-sah saja dilakukan. Begitupun kalau Presiden ke depan bakal mengangkat keponakan tercintanya menjadi Menteri. Namanya juga hak prerogatif. Secara hukum tidak boleh ada yang menentangnya. Tinggal bagaimana secara moralitasnya.

Hal yang sama dapat kita rasakan dalam dunia kepolitikan yang dialami sekarang. Belum lagi Presiden terpilih dilantik, perbincangan Kabinet sudah merebak di berbagai media. Petinggi partai koalisi yang mendukung pemenangan Presiden terlihat sibuk mencari kader partai terbaiknya untuk dinominasikan menjadi kandidat Menteri. Begitupun dengan Tim Sukses yang merasa memiliki andil menghantarkannya jadi Presiden.

Suasana ini wajar terjadi, karena ujung dari perebutan kekuasaan adalah memposisikan kolega-kolega dekatnya untuk manggung dalam birokrasi kekuasaan. Dulu, mereka inilah yang sering disebut sebagai “the ruling class”. Dihadapkan pada kondisi seperti ini, tentu hanya pemimpin yang memiliki karakter unggul saja yang bakal mampu mengatasi “kokod politik” dan “kokod bisnis” dalam penetapan keputusannya.

Pemilihan Menteri yang jumlahnya ditengarai bakal membengkak jumlahnya dibanding Kabinet sebelumnya, kini mengemuka menjadi isu hangat dalam kancah perpolitikan nasional. Presiden sendiri, sepertinya tidak akan asyik sendiri untuk menentukan siapa yang akan menjadi pembantunya. Presiden pasti akan disibukkan oleh beragam sikap kolega-kolega dekatnya.

Tidak tertutup kemungkinan ada permintaan dari partai koalisi yang menuntut jatah Menteri dengan jumlah tertentu dalam Kabinet nanti. Tapi ada juga petinggi partai politik yang menyerahkan semuanya kepada Presiden terpilih. Yang menarik dicermati lebih dalam, berapa sebetulnya jatah Menteri dari Partai Politik yang diketuai langsung oleh Presiden terpilih ?

Setiap Presiden terpilih, umumnya akan mengajak Wakil Presiden untuk mencari dan menetapkan siapa-siapa yang pantas untuk diangkat menjadi Menteri dalam Kabinet yang akan dipimpinnya. Selain mereka berdua, para petinggi partai politik pun akan dimintai saran dan pandangannya. Begitupun dengan kalangan pebisnis, kalangan akadenisi, kalangan komunitas, media dan komponen bangsa lainnya.

Catatan kritisnya adalah apakah Presiden NKRI terpilih untuk periode 2924-2029, akan meminta pandangan Wakil Presiden terpilih untuk mencari Menteri-Menteri yang akan membantunya ? Atau tidak, karena Wakil Presiden sendiri telah menyerahkan semuanya kepada Presiden terpilih. Terlebih yang menyangkut hak prerogatif.

Kita percaya, karena pengangkatan dan penetapan Menteri yang akan membantu Presiden dalam Kabinet merupakan hak prerogatif Presiden, mestinya tidak ada pihak-pihak lain yang ikut-ikutan mempengaruhi Presiden dalam menggunakan hak prerogatifnya. Berikan keleluasaan politik kepada Presiden. Stop perilaku “kokod monongeun”, baik kokod politik atau pun kokod bisnis.

Memang, masih tersisa waktu sekitar 5 bulan ke depan bagi Presiden terpilih untuk menyusun Kabinetnya. Saat ini Presiden tentu telah memiliki calon Menteri yang akan membantunya. Presiden sudah mengkaji posisi Kementerian mana saja yang membutuhkan seorang Menteri yang berlatar-belakang selaku praktisi. Lalu, mana yang butuh sosok akademisi. Bahkan bisa juga dari LSM.

Akhirnya kita berharap, Presiden terpilih akan mampu memilih para Pembantunya sebagai sosok anak bangsa yang jempolan. Semoga pula dalam penggunaan hak prerogatifnya, Presiden akan terbebas dari orang-orang yang kokod monongeun. Kita percaya Presiden terpilih adalah sosok anak bangsa yang memiliki komitmen untuk mewujudkan Indonesia ke suasana kehidupan yang lebih baik.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 6 Juli 2024Naning Kartini (Guru Ngaji SDN Ciawigede Majalaya) Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *