30 November 2024 12:41
Opini dan Kolom Menulis

Kelangkaan Pangan

KELANGKAAN PANGAN


OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Bicara soal kelangkaan pangan, tentu tidak terlepas dari kondisi krisis pangan. Pengertian krisis pangan menurut Undang Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan adalah keadaan kelangkaan pangan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat di suatu wilayah, yang disebabkan oleh kesulitan distribusi pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, serta konflik sosial termasuk perang.

Penyebab kelangkaan pangan antara lain disebabkan jumlah penduduk semakin bertambah. Penduduk membutuhkan bahan pangan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bisa juga disebabkan jumlah kebutuhan akan bahan pangan melebihi kapasitas atau kemampuan untuk memproduksi bahan pangan. Dan keterbatasan produksi bahan pangan.

Melansir buku Krisis Pangan karangan Andreas Maryoto, Indonesia dsudah pernah mengalami krisis pangan sejak abad 16 hingga 17. Tepatnya di Kerajaan Aceh. Saat itu, daerah tersebut mengalami krisis pangan beras, yang diperparah dengan tipologi lahan bercorak rawa, serta faktor kemarau berkepanjangan.

Atas berbagai pengalaman, ciri-ciri kelangkaan pangan antara lain :
– Jumlah barang tersebut sangat terbatas, sehingga sulit untuk dicari.
– Sumber daya yang tidak tersedia, sehingga menyebabkan barang atau jasa tidak mencukupi.
– Warga bangsa sebagai konsumen harus berkorban untuk bisa mendapatkan produk tersebut.

Krisis pangan bisa terjadi di tingkat global yang berdampak ke tingkat regional, nasional bahkan ke tingkat lokal. Krisis pangan di beberapa negara sempat memporak-porandakan kehidupan perekonomian masyarakatnya. Tidak tertutup kemungkinan, krisis pangan dapat menimbulkan ketidak-stabilan politik, yang ujung-ujungnya dalam merongrong jalannya roda pemerintahan.

Saat ini, kondisi pangan di tingkat global terlihat dalam kondisi yang sedang tidak baik-baik saja. Dampak perang Rusia versus Ukraina, membuat keperluan gandum bagi banyak negara menjadi terganggu. Begitu pun dengan kebutuhan dasar untuk membuat pupuk jadi berkurang pasokannya. Sejak perang terjadi, hingga kini, kondisinya belum normal kembali.

Yang cukup mengkhawatirkan adalah dampak iklim ekstrim yang dalam tahun ini, bakal dicirikan oleh adanya El Nino. Banyak negara dan bangsa di dunia yang perlu bersiap diri menghadapinya. Puncak El Nino diramalkan terjadi di bulan Agustus 2023. Badan Pangan Dunia (FAO) mengingatkan
agar setiap anggota FAO meningkatkan kewasdaan dalam pengelolaan pangan nya.

Negara kita sendiri, sebetulnya kaya pengalaman akan sergapan iklim ekstrim. Indonesia sempat mengalami dampak La Nina yang membuat tanaman pertanian yang gagal tanam karena adanya curah hujan yang sangat tinggi. Banjir dimana-mana. Sawah banyak yang tergenang air. Petani pun tampak nelangsa, karena panen yang ditunggu-tunggunya tak pernah kunjung datang.

Kita juga berpengalaman dengan hadirnya El Nino. Kemarau yang berkepanjangan membuat bencana kekeringan yang memilukan. Lahan sawah banyak yang mengeras, membuat tanaman padi tidak dapat tumbuh secara baik. Berbagai cara mensiasati agar turun hujan telah dilakukan. Sayang, seabreg ihtiar tersebut belum mampu membasahi lahan pertanian yang mengering cukup parah.

Atas gambaran yang demikian, mestinya kita tidak perlu risau akan adanya El Nino atau La Nina. Dengan segudang pengalaman yang dimiliki, tentunya kita dapat merumuskan langkah-langkah strategis melalui pendekatan “early warning”, untuk menanggulangi dampak buruk dari El Nino tersebut. Persoalannya adalah apakah kita sudah memiliki Langkah Besar untuk menangani nya ? Apakah kita sudah siap dengan inovasi dan terobosan cerdas yang patut ditempuh ?

Selama kita tidak mampu menyiapkannya perencanaan secara berkualitas, jangan harap kita bakal mampu menjawabnya dengan baik. Terlebih bila kita tidak memiliki kehendak dan kesungguhan untuk menghentikan pendekatan “pemadam kebakaran” dalam menangani setiap persoalan yang muncul dalam fakta kehidupan ini. Bangsa kita tetap saja bakal menghadapi masalah yang sama dari waktu ke waktu.

Solusi mengatasi kelangkaan pangan adalah memperkokoh ketersediaan pangan, khususnya melalui peningkatan produksi dan produktivitas hasil pertanian dari dalam negeri yang ditempuh oleh kiprah para petani di dalam negeri. Selain itu, ketersediaan pangan, perlu juga diikuti oleh penguatan cadangan beras Pemetintah yang kita miliki. Kalau cadangan beras Pemerintah perlu disiapkan 1,2 juta ton, maka jangan sampai terjadi tinggal 300 ribu ton.

Perum BULOG sebagai operator pangan dimintakan untuk lebih serius melaksanakan kehormatan dan tanggungjawabnya dalam memperkuat cadangan beras Pemerintah. Berbagai kelemahan fan kekurangan yang selsma ini dirasakan Perum BULOG, segera diperbaiki dan dicari sebab musababnya. Kok bisa cadangan beras Pemerintah sampai menipis dan berada pada angka yang sangat merisaukan ? Lalu, bagaimana antisipasi yang harus dilakukan, agar hal itu tidak terulang kembali ?

Kuncinya kembali ke Tata Kelola Sistem Perberasan itu sendiri. Perum BULOG sesuai dengan penugasan Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2021, jelas memikul beban yang tidak mudah. Perum BULOG perlu merumuskan perencanaan dan pengelolaam cadangan beras Pemerintah yang berbasis data berkualitas. Tanpa ada perencanaan, jsngan harap akar masalahnya bakal terpecahkan. Hanya dengan sinergi dan kolaborasi segenap pemangku kepentingan sektor perberasan, kita akan mampu menjawab persoalan yang ada.

Sebagai bangsa yang hidup di negeri agraris, suatu hal yang cukup ironis, bila Tanah Merdeka ini menghadapi kelangkaan pangan. Sekalipun sinyal krisis pangan sudah dinyalakan oleh Badan Pangan Dunia (FAO), tapi kita tetap optimis, kejadian seperti ini tidak akan terlalu menggsnggu Ketahanan Pangan bangsa dan negara. Dengan kewaspadaan yang tinggi diiringi ihtiar yang serius, kita optimis bakal mampu menghalau krisis pangan.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *