7 July 2024 00:41
Opini dan Kolom Menulis

“KAWEUR”

“KAWEUR”

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Dalam Kamus Sunda-Indonesia, kaweur atau “elekesekeng” diartikan sebagai tidak bisa tenang bekerja karena terganggu oleh pendengaran atau banyak yang dipikirkan. Seorang Ketua Panitia sebuah perayaan memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI di Kecanatan, terlihat kaweur, karena sampai dengan waktu yang ditetapkan, petugas pembaca teks Proklamasi belum tampak batang hidungnya.

Kekaweuran Ketua Panitia ini wajar terjadi, karena di ruang peringatan Pa Camat beserta tokoh masyarakat lain, sudah hadir dan siap untuk mengikuti upacara pembukaan acara peringatan tersebut. Gambaran seperti ini, sebetulnya sudah sering kita alami. Serapih dan seketat apa pun perencanaan sebuah kegiatan disiapkan, namun ada saja hal-hal yang tidak terduga sebelumnya.

Contoh, pembaca teks Proklamasi tadi terlambat hadir, karena tanpa diduga motor miliknya tiba-tiba mogok dan tidak bisa digunakan ke tempat peringatan HUT Kemerdekaan.
Akibatnya, dengan terpaksa Ketua Panitia mencari pengganti yang belum siapkan sebelumnya. Akhirnya peringatan HUT Kemerdekaan pun berlangsung dengan khidmat dan sesuai dengan yang direncanakan.
Situasi kaweur sendiri, sebetulnya bisa menimpa siapa saja. Di dunia ini, tidak ada seorang pun manusia yang mampu membebaskan diri dari perasaan kaweur. Seorang Pembantu Presiden misalnya, dirinya akan kaweur bila dalam sebuah acara yang meminta Presiden untuk membukanya, secara tiba-tiba AC di ruang acara mati mendadak. Padahal, hanya dalam hitungan menit acara bakal segera dimulai.

Pembantu Presiden ifu lumrah bersikap kaweur, karena terbayang bagaimana kecewanya Presiden jika harus mandi keringat karena kepanasan. Untung, walau dalam hitungan menit, Pembantu Presiden ini langsung meminta stafnya untuk memindahkan AC duduk yang ada di ruangan lain. Pembantu Presiden tahu persis, sikap kaweur jangan dipelihara namun perlu dijadikan kekuatan untuk melahirkan sebuah solusi cerdas.

Penulis sempat mengalami sikap kaweur ini. Saat itu, penulis terpilih menjadi Ketua OSIS, lewat pemilihan langsung oleh seluruh siswa. Sebagai Ketua OSIS baru, penulis diminta untuk bicara sepatah dua patah kalimat dalam acara pelantikan. Penulis pun menyusun dan menyiapkan konsep pidatonya. Ketika akan menyampaikan sambutan, ternyata konsep pidato itu tertinggal di kelas.

Dalam beberapa waktu, penulis betul-betul kaweur dengan perasaan yang tak menentu. Tidak mungkin lagi harus lari ke kelas karena jarak yang cukup jauh. Ujung-ujungnya terpaksa penulis mengambil sikap dan perlu berani memberi sambutan tanpa teks. Dengan penuh percaya diri penulis mampu melawan rasa kaweur dan menurut teman-teman pidato tanpa teks tersebut dinilai bagus.

Situasi kaweur, bukan hal yang patut dipelihara dalam kehidupan. Sesulit apa pun, kita harus mampu melawannya. Seorang sahabat sempat bercerita, bagaimana dirinya merasa kaweur, ketika akan menjadi nara sumber dalam sebuah Focus Grup Diskusi (FGD). Penyebabnya, karena bahan paparan yang disiapkan disimpan dalam flashdisk. Entah karena teledor atau ada hal lain, flashdisknya tertinggal dan tidak terbawa ke tempat FGD.

Kontan untuk sementara waktu, dirinya sempat kaweur. Namun, berbasis pada pengalaman sebagai pemateri unggul, sang sahabat pun mampu dengan baik memprwsentasikan materinya tanpa menggunakan power poin yang telah disiapkannya. Beberapa peserta FGD tampak terpukau, mengingat begitu menariknya materi yang disampaikan oleh sahabat tadi.

Perasaan kaweur bisa juga menimpa seseorang yang dalam sebuah acara keluarga datang mantan kekasihnya di masa mudanya dulu. Dirinya tidak pernah cerita kepada isteri tercinta kisah cinta masa lalunya. Kejadiannya terjadi sekutar 20 tahun lalu. Saat itu, mereka sama-sama kuliah di satu kampus. Sayang percintaan meteka tidak sampai ke pelaminan, karena lelakinya kabur tanpa pesan.

Kita tidak tahu, apakah si gadis yang ditinggalkannya patah hati atau tidak. Yang pasti, lelakinya itu telah menikahi rekan sekantornya. Akibatnya, ketika mereka bertemu lagi, rasa salah lelaki tersebut muncul dengan mendadak. Janji gombal yang diucapkan ketika pacaran pun tampil dalam bayangan masa lalunya. Tak terelakan dirinya pun tampak kaweur. Rasa kaweurnya tak berlangsung lama, karena kekasih lamanya telah menikah dengan lelaki impiannya. Mereka berdua hanya senyum dan bersalaman.

Ada juga pengalaman seorang mahasiswi yang sempat kaweur ketika sedang ujian tertulis di kampusnya. Orsng Sunda bilang : “teu puguh cabak”. Terbayang, apa yang harus diperbuat manakala ujiannya diawasi cukup ketat oleh para pengawasnya. Dia tidak menyangka kalau pengawas nya ada 4 orang. Padahal, peserta ujiannya hsnya 8 orang. Nasib menimpanya, ujiannya kebagian di ruang tambahan.

Dia betul-betul kaweur, karena kebiasaan nyonteknya jadi sulit dilakukan. Contekan yang disiapkan semalaman menjadi tidak ada gunanya. Selama ujian berlangsung, dirinya hanya bolak-balik membaca soal. Ujung-ujungnya, lembar jawabannya terlihat kosong karena tidak ada satu soal pun yang bisa dijawab. Ini jelas, pelajaran berharga bagi mahasiswa yang masih belum mampu membebaskan diri dari kebiasaan nyontek.

Perilaku kaweur memiliki kaitan erat dengan perasaan seseorang. Rasa kaweur umumnya diciptakan oleh dirinya sendiri. Upaya mengatasi kaweur, salah satunya perlu percaya diri apa yang akan dilakukan. Dari awal, kita sudah harus siap dengan apa yang menjadi resiko terburuk, bila akan melakukan sesuatu. Itu sebabnya, salah besar kalau ada yang beranggapan rasa kaweur akan selesai dengan bantuan orang lain.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 6 Juli 2024Naning Kartini (Guru Ngaji SDN Ciawigede Majalaya) Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *