6 October 2024 05:40
Sastra dan Budaya

JANJI SEPOTONG ROTI

Cerpen
 
JANJI SEPOTONG ROTI
Oleh AMBU IDA
 
 IA berjalan menyusuri lorong sempit antara rumah dan rumah. Di sepanjang jalan tak ditemui seorang pun yang menyapa dirinya apalagi menanyakan keadaan ibunya. Hidupnya terasa begitu sepi di tengah penduduk yang berjubel. Tak ada teman untuk berbagi cerita tentang indahnya kekayaan alam, tentang susahnya mencari makan. Yang ada hanya tatapan sinis, atau tatapan penuh curiga. Anak tak berharta sering diidentikkan dengan anak yang tak punya adab atau tak punya moral. Begitu menyakitkan.
 Setiap petak rumah yang ia lalui, berpagar besi nan tinggi, atau tembok bangunan yang nempel dengan pinggir gang, sehingga motor yang berpapasan harus berhenti dulu salah satunya karena tidak muat untuk dua motor.
 
 Semenjak lahir ia hidup di situ, tetapi banyak tetangga yang tidak kenal padanya. Kalau pun menyapa, bila ada keperluan misalnya menyuruh buang sampah ke penampungan sementara.
 Dengan langkah terburu-buru ia menuju mall yang sering memberikan harapan untuk menyambung hidupnya. Ia berharap hari ini mendapatkan makanan atau uang, bahkan walau pun hanya sepotong roti pun tak apa, yang penting dapat memberikan makanan untuk ibunya yang sedang menahan sakit lambung karena sudah dua hari tidak makan.
 Di usia yang sangat muda, baru menginjak kelas empat SD ia harus menanggung beban yang begitu berat. Ibunya yang hidup tak bersuami karena ditinggal pergi entah ke mana, semenjak kelahiran dirinya, kini sedang tergolek tak berdaya karena sakit kanker rahim yang dideritanya sejak dua tahun lalu.
 
 Mereka tinggal di rumah tepatnya gubuk peninggalan neneknya. Sesekali ada yang menengok hanya sekedar menanyakan keadaan ibunya yang sakit atau kadang ada yang mengirimi makanan alakadarnay karena kasihan atau karena makanan di rumah sudah tidak dimakan lagi oleh anggota keluarganya. Dari pada dibuang mending mereka berikan pada ia dan ibunya. Walau demikian, ia sangat bersyukur masih ada tetangga yang baik hati.
 Sambil berjalan, sesekali ia menengok ke kanan atau kiri jalan yang kebetulan ada tempat sampah di depan gerbang rumah. Walaupun dipenuhi rasa takut ketahuan yang punya rumah, beberapa kali ia mengais sampah tersebut, dengan harapan mendapatkan makanan yang ia butuhkan. Ia sering mendapat teguran dari yang punya rumah, saat mengais sampah pada tong sampah yang ada di depan rumahnya. Makanya ia berhati-hati naik ke rumah tersebut. Sudah beberapa buah tong sampah ia ais, tetapi tak ada, kalaupun ada makanan tersebut sudah apek atau busuk.
 Ia sangat bingung karena tidak tega melihat ibunya yang menahan lapar. Rasa lapar sebetulnya bukan hanya ibunya, melainkan ia sendiri. Badannya sangat lemas, perut terasa keroncongan. Tetapi ia lebih memperhatikan ibunya dari pada pada dirinya sendiri. Ketika ia ke luar rumah, ibunya sedang merintih kesakitan, tangannya menekan perutnya yang buncit seperti orang sedang hamil, karena kanker rahim yang dideritanya. Rasa lapar yang sangat, menambah rasa sakit yang dideritanya. Lambungnya sangat perih.
 “Yuda, carikan makanan, nak, Ibu gak kuat, ulu hati perih sekali!” kata ibunya.
  “Tunggu ya Bu, aku akan mencari makanan. Minum saja dulu!” katanya sambil memberikan segelas air hangat.
 
 Ibunya minum, sambil memegang perutnya yang sangat sakit.
 Akhirnya ia sampai juga pada tempat yang ia tuju, bergegas ia menghampiri tong sampah yang berjajar di sudut mall. Dengan menengok ke dalam tong sampah, badannya agak membungkuk, karena tong sampah itu besar dan agak tinggi. Ia mengais-aiskan tangannya barangkali ada makanan itu, tapi sayang tidak ada, hanya kertas dan plastik saja. Padahal dua hari yang lalu ia mendapatkan makanan yang lumayan agak banyak dari tong sampah itu.
 Ia menghampiri tempat duduk para pengunjung mall, dengan harapan akan ada orang yang membutuhkan bantuan, misalnya membawakan barang belanjaan.
 Sedang duduk sambil memandangi orang yang lalu lalang, ia melihat seorang ibu yang perawakannya gemuk, sedang menenteng belanjaan di dalam kantung plastik, sepertinya berat sekali.
 
 
 Ia menghampiri sambil berkata, “Boleh saya bantu bawakan, Bu?”
 Ibu itu menatap tajam, “Gak usah, Dek! Lagi pula gak akan kuat membawa belanjaan yang begitu banyak.” jawabnya ketus.
 “Anak zaman sekarang sudah pandai membuat modus kejahatan. Bukannya sekolah malah berkeliaran di mall,” gumamnya.
 Sepertinya ibu tersebut tidak suka pada Yuda.
 Ibu itu bergegas menghampiri sepeda motor Honda Beat berwarna merah hati. Tapi sayang belum juga ia menyimpan bawaanya, kantung plastik itu tersangkut pada stang motor, hingga barang-barang di dalamnya tumpah beserakan. Segera ia masukkan lagi barang-barang itu, tanpa minta bantuan siapa pun, bahkan kelihatannya sangat prtotektif, tidak mau ada yang melihat atau membantunya. Setelah barang belanjaannya dimasukkan lagi ke kantung plastik, ibu tersebut segera pergi dengan menggunakan motornya.
 Ketika sepeda motor itu sudah berlalu, baru kelihatan bahwa di bawah motor ternyata ada sebungkus roti yang ketinggalan. Dengan hati berdebar, Yuda meghampiri roti itu. Ia mau mengambilnya, tetapi ia takut ketahuan oleh ibu tersebut. Sejenak ia terdiam, hatinya bimbang antara takut dan btuh. Bayangan wajah ibunya yang sedang merintih menahan sakit dan lapar terus bersemayam dalam ingatannya. Dengan kepala clingak-clinguk ia memberanikan diri mengambil bungkusan roti itu. Hanya sayang sekali, roti itu ternyata terlindas oleh ban sepeda motor ibu itu.
 Ia sangat sedih ketika mendapati roti itu rusak, tetapi beruntung juga karena masih ada yang utuh di dalam plastik tidak terlindas ban sepeda motor. Ia ambil bungkusan roti itu untuk dibawa pulang.
 “Alhamdulillah akhirnya aku mendapatkan roti juga, katanya sambil memasukkan roti tersebut pada kantung bajunya, yang sudah agak kehitaman. Ia berjalan cepat untuk menemui ibunya.
 “Ibu tunggu ya ini makanan untukmu!” katanya sambil berlari.
 Sesampainya di rumah ia segera membuka pintu, sambil berteriak, “Bu, ini roti!”
 Ia mendapati ibunya seperti sedang tidur, tangannya masih mengepal di atas perutnya seperti menahan lapar.
 
 Badan ibunya yang sedang berbaring, tangannya mengepal di dekat ulu hatinya, ia guncangkan sedikit sambil berkata, “Bu bangu,n ini rotinya. Yang rusaknya jangan dimakan, ini masih ada yang utuh walau hanya sepotong!”
 Tetapi ibunya tetap tidak bangun, tidak menyahut sepatah kata pun. Yuda penasaran lalu ia guncangkan kembali agak keras. tetapi tidak menyahut lagi.
 “Ibu bangun … Ibu bangun! Kenapa Ibu merem terus?”
 Yuda meraung menangisi ibunya yang sudah terbujur kaku, ia tak tahu apa yang terjadi pada ibunya, ia hanya menyangka bahwa ibuya tidur panjang yang susah dibangunkan. Sepotong roti yang ia genggam sejak tadi, disimpan di atas perut ibunya.(*)
 
 
 
 

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *