JANGAN BOSAN BICARA BERAS
JANGAN BOSAN BICARA BERAS
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Sangat tepat, pangan bukan hanya beras. Sesuai Undang Undang No. 18/2012 tentang Pangan, yang namanya pangan cukup beragam. Ada yang disebut pangan pokok dan strategis seperti beras, jagung, kedelai, daging, gula, horti dan lain-lain. Ada juga pangan lokal seperti sukun, ganyong, hanjeli, garut dan lain-lain. Jadi wajar jika kita diskusi soal pangan, mestinya menyangkut banyak komoditas pangan, bukan cuma beras.
Masalahnya, mengapa sampai sekarang orang-orang lebih senang membahas beras ketimbang bahan pangan lain ? Sahabat penulis Bro Cuncun bilang, karena sampai detik ini persoalan beras tak kunjung selesai. Jadi, lumrah bila banyak pihak yang tetap ramai membahasnya. Hal ini semakin menarik, karena beras telah divonis sebagai komoditas politis.
Memang ada pihak-pihak yang sepertinya kurang sreg lagi membahas beras. Mereka ingin agar komoditas pangan non beras pun perlu untuk dibincangkan. Kita, setuju-setuju saja dengan pandangan yang demikian. Namun begitu, sebaiknya kita tetap jangan pernah merasa bosan membincangkan beras. Apalagi jika alergi untuk mengkajinya.
Bagi bangsa kita, beras merupakan sumber kehidupan dan penghidupan sebagian besar warga bangsa. Sebagai sumber kehidupan, banyak warga bangsa yang membutuhan beras sebagai pangan pokok untuk menyambung nyawa kehidupan. Artinya, tidak ada nasi seolah-olah tidak ada lagi kehidupan. Itu sebabnya, beras harus selalu ada dan tersedia sepanjang waktu.
Sebagai sumber kehidupan, beras dan turunannya seperti bubur, lontong, bacang dan lain sebagainya, terbukti melibatkan banyak orang untuk menggelutinya. Sebagian besar dari mereka, menggantungkan nasib dan kehidupannya kepada beras. Itu sebabnya, menjadi sangat masuk akal, kalau Pemerintah memberi perhatian khusus terhadap pengembangan usahatani padi di Tanah Merdeka ini.
Ketekunan dan ketelatenan memberi prioritas dalam pembangunan dunia perberasan, sejak 40 tahun lalu, sebetulnya mampu membawa bangsa kita untuk dihormati oleh bangsa-bangsa lain di dunia, khususnya negara-negara yang tergabung dalam Badan Pangan Dunia (FAO). Pencapaian Swasembada Beras 1984, memastikan keperkasaan bangsa kita dalam menggenjot produksi beras.
Mata warga dunia pun banyak yang terbelalak. Mereka bertanya-tanya, kok bisa Indonesia meraih swasembada beras ? Sikap keheranan ini wajar terjadi, karena yang mereka kenali selama ini, Indonesia adalah salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia. Jadi, suatu hal yang lumrah, jika mereka pun banyak bertanya strategi apa yang digunakannya, sehingga dalam waktu singkat mampu merebut swasembada beras.
Untuk menjawab kepenasaranan mereka, akhirnya Presiden Soeharto pun didaulat oleh FAO guna menjelaskan kiat-kiat apa saja yang ditempuh Pemerintah, sehingga mampu meningkatkan produksi setinggi-tingginya menuju swasembada. Di sisi lain, disadari salah satu titik lemah kita, sebetulnya berada pada kualitas swasembada beras yang kita capai.
Swasemvada Beras yang kita capai lebih bersifat sebagai swasembada beras “on trend”, bukan swasembada beras yang berkelanjutan. Swasembada beras “on trend”, bisa juga dikatakan sebagai swasemvada beras kadang-kadang. Jika iklim dan cuaca mendukung, maka Indonesia mampu berswasembada beras, tapi kalau tidak, tidak bisa dihindari kita harus impor beras dengan jumlah yang fantastis.
Inilah yang terjadi dalam tahun-tahun terakhir Presiden Jokowi manggung. Untuk menutupi kebutuhan beras dalam negeri, mengingat produksi beras secara nasional melorot dengan angka cukup signifikan, membuat bangsa ini harus merencanakan impor beras sebesar 5 juta ton, sekalipun fakta yang terjadi, kita hanya mengimpor sekitar 4 juta ton.
Berkaca pada pengalaman seperti ini, Presiden Prabowo dan Kabinet Merah Putihnya, terlihat tidak mau lagi terjebak dalam kejadian impor beras yang cukup melelahkan ini. Lebih sedih lagi, bangsa ini harus impor beras sebesar 4 juta ton, hanya beberapa bulan setelah Pemerintah dapat penghargsan internasional dari IRRI atas kisah suksesnya meningkatkan produksi beras, sehingga swasembada beras lagi.
Menyadari hal ini, sangat masuk akal jika di awal Pemerintahannya, Presiden Prabowo telah mencanangkan pencaoaian swasembada pangan, utamanya beras, sebagai satu program prioritas yang perlu diwujudkan dalam tempo yang sesegera mungkin. Presiden optimis, dalam 3 tahun ke depan, Pemerintahan yang dipimpinnya akan mampu mencapainya.
3 tahun bukanlah kurun waktu yang panjang. Bila dikaitkan dengan panen padi, kita hanya memiliki kesempatan untuk 6 kali panen saja. Kalau ke 6 waktu panen ini tidak dioptimalkan pengelolaannya, boleh jadi yang namanya swasembada beras susah untuk diwujudkan. Bahkan tidak tertutup kemungkinan, kita hanya mampu berswasembada beras diatas kertas semata.
Semangat Pemerintah yang menginginkan agar tahun 2025, bangsa kita akan menyetop impor beras dan beberapa bahan pangan lain seperti jagung untuk pakan ternak, gula konsumsi dan garam, sepertinya patut memperoleh acungan jempol. Pemerintah memang harus bersikap optimis. Bila ternyata gagal, wajib hukumnya untuk dievaluasi dan dicari faktor-faktor penyebabnya.
Semoga tekad Pemerintah mencapai swasembada pangan, utamanya beras akan menjadi pemicu bagi Kabinet Merah Putih untuk memberi kinerja terbaiknya, terutama Kemenko bidang Pangan, yang selama ini diposisikan sebagai “dirigen” pencapaiannya. Kita percaya “pasukan” Bung Zulhas ini akan bekerja “all out” untuk meraihnya.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).