7 July 2024 00:46
Opini dan Kolom Menulis

Jangan Alih-Fungsikan Lahan Subur

JANGAN ALIH-FUNGSIKAN LAHAN SUBUR

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Sekitar 71 tahun lalu, ketika memberi sambutan dalam peletakan batu pertama gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Baranangsiang, Bogor, Proklamator Bangsa Bung Karno telah menyatakan urusan pangan menyangkut mati dan hidupnya suatu bangsa. Pesan moral semacam ini, tentu tidak boleh dianggap angin lalu. Pangan harus selalu tersedia dan terjaga dengan baik, sehingga ketahanan pangan bangsa menjadi kokoh. Untuk itu, keberadaan lahan pertanian harus dilindungi dan dilestarikan keberadaannya.
Menarik apa yang dipesankan Ibu Megawati Soekarnoputeri kepada Presiden Joko Widodo ketika memberi arahan dalam Rakernas PDIP belum lama ini. Bu Mega minta secara khusus agar Pemerintah tidak lagi mengalih-fungsikan lahan subur. Bu Mega ingin agar lahan subur tetap dijaga dan digunakan untuk kepentingan pertanian. Kalaupun lahan tersebut harus dialih-fungsikan demi kepentingan pembangunan, sebaiknya dilakukan secara selektif dan mendahulukan lahan yang tidak subur.

Membabi-butanya alih fungsi lahan pertanian produktif ke non pertanian, telah terasa sejak puluhan tahun lalu. Di beberapa daerah, kita saksikan adanya alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri. Di tempat lain, kita lihat adanya lahan-lahan pertanian yang berubah menjadi kawasan perumahan/pemukiman karena adanya tekanan penduduk yang membutuhkan tempat tinggal. Bahkan ada juga alih fungsi lahan pertanian yang digunakan untuk pembangunan infra struktur dasar.

Kesadaran untuk melindungi lahan subur, sebetulnya telah tumbuh sejak lama di benak para penentu kebijakan pembangunan di negeri ini. Kemauan politik untuk mewujudkan “sawah abadi” telah muncul di era Orde Baru. Dengan membaca isyarat jaman, para perencana pembangunan meyakini betul, jika tidak dilakukan perlindungan secara tegas, lahan sawah bakal menyusut. Itu sebabnya, sejak 14 tahun lalu, bangsa ini melahirkan regulasi setingkat Undang Undang, yakni UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Dilahirkannya UU ini diharapkan agar alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dapat dikendalikan. Yang menarik untuk dibincangkan, bahkan menjadi ironi, sekalipun kita telah mengaturnya lewat regulasi sekelas UU, Peraturan Daerah, Peraturan Gubernur/Bupati/Walikota, namun alih fungsi terus berjalan. Alih fungsi lahan sawah benar-benar sangat diminati para pengembang perumahan/pemukiman yang membutuhkan lahan yang sudah jadi untuk dibangun. Sawah adalah lahan yang telah siap untuk dibangun.
Tekanan terhadap alih fungsi lahan, tidak boleh tidak, harus dilakukan secara tegas dan konsisten. Pemerintah perlu tampil sebagai penjaga utama, agar alih fungsi lahan tidak seenaknya terjadi. Pejabat Pemerintah yang menangani soal alih fungsi lahan, mesti teruji dan sosok pegawai teladan. Dirinya memiliki integritas terhadap masa depan bangsa dan negara serta tidak gampang disogok hanya untuk memuaskan kebutuhan pribadi semata. Bangsa ini butuh pejabat yang memiliki integritas .

Apa yang dipesankan Bu Mega ke Pak Jokowi diatas, semoga tidak masuk dari telinga kiri dan langsung keluar lagi dari telinga kanan. Kita berharap agar Pak Jokowi sebagai “petugas partai” mampu menterjemahkan keinginan Ketua Umum Partai yang mengusungnya jadi Presiden, kepada langkah nyata di lapangan. Pesan moral Bu Mega ini, benar-benar menggambarkan keberpihakan terhadap keberlanjutan pertanian di masa depan. Pertanian harus dibela dan jangan dimarginalkan.

Perseteruan kelompok yang menginginkan terjadinya alih fungsi lahan dengan kelompok yang ingin menjaga dan melindungi lahan pertanisn, kelihatannya bakal terus berlangsung, hingga adanya tindakan politik yang tegas dari Pemerintah. Komitmen melakukan perlindungan terhadap lahan pertanian, tidak bisa lagi hanya disampaikan sebagai kemauan politik, namun yang lebih dimintakan adalah ada ketegasan untuk menindak pihak-pihak yang mengalih-fungsikan lahan pertanian itu sendiri.

Dihadapkan pada kondisi yang demikian, ada baiknya kita berkaca pada pengalaman Pemerintah membangun Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Tengah. Bayangkan, jika IKN ini dibangun di Jawa Barat atau sentra produksi pangan lainnya. Berapa luas lahan pertanian produktif yang harus dikorbanlan untuk pembangunan IKN ? Pemerintah tahu persis, jika IKN dibangun di Kalimantan Tengah, tidak bakal ada lahan pertanian pangan produktif yang terpaksa harus dikorbankan demi IKN.

Lahan pertanian yang kita miliki adalah titipan Tuhsn ysng perlu dijaga, dipelihara dan dilestarikan.keberadaan nya. Lahan pertanian merupakan “investasi kehidupan” bagi sebuah bangsa, yang sebagian besar warga bangsanya berkehidupan dan berpenghidupan dari sektor pertanian. Lahan pertanian inilah yang menjadi “pabrik” penghasil gabah dan beras sebagai bahan pangan utama masyarakat. Tanpa beras seolah-olah tidak ada kehidupan. Nasi inilah penyambung nyawa kehidupan sebagian anak bangsa

Tingginya kebutuhan Pemerintah atas lahan pertanian untuk dialih-fungsikan guna pembangunan infra struktur dasar, tampaknya cukup sulit untuk dihentikan. Sebut saja kasus pembangunan bandara internasional Kertajadi di Majakengka, Jawa Barat. Atau pembangunan pelabuhan internasional Patimban di Subang, Jawa Barat. Bahkan ketika akan dibangun bantalan dan rel Kereta Api Cepat Bandung-Jakarta pun, Pemprov Jawa Barat tak kuasa melawannya. Otomatis, alih-fungsi berlangsung dengan sendirinya.

Sebagai wujud komitmen Pemerintah untuk “mengganti” lahan pertanian yang dialih-fungsikan, program pencetakan sawah baru memang telah dilakukan sejak lama. Sayang dalam perjalanannya, program pencetakan sawah baru ini, banyak gagalnya ketimbang kisah suksesnya. Banyak laporan menyebut, kegagalan program pencetakan sawah baru lebih disebabkan oleh lemahnya perencanaan yang disiapkan. Apalagi dengan adanya target yang harus dicapai. Praktis yang namanya kualitas dikesampingkan.

Sejak diberi kepercayaan untuk menakhkodai bangsa dan negeri tercinta, Presiden Jokowi telah mengenalkan yang namanya Nawacita. Salah satu yang menjadi cita-cita pentingnya adalah mewujudkan kedaulatan pangsn. Presiden ingin agar hak negara dan bangsa secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangan, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat, dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.

Menjadikan bangsa yang berdaulat atas pangan, jelas harus diawali oleh kemampuan kita dalam mewujudkan swasembada pangan. Ini patut dicatat, karena hingga detik ini pun kita belum mampu meraihnya. Setelahnya dilengkapi oleh ketahanan pangan yang kokoh, sampai akhirnya mampu mandiri pangan. Dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan telah ditegaskan, ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan adalah satu kesatuan pola pikir dalam melahirkan pembangunan pangan yang berkualitas.

Kini pokok masalahnya sudah sedikit tergambarkan. Harapan Bu Mega ke Pak Jokowi adalah sebuah pesan yang cukup mulia dari seirang puteri Proklamator Bangsa, yang mengunginkan agar bangsa ini tidak terjebak dalam krisis pangan, karena keteledoran kita sendiri. Kita yakin, dalam sisa waktu sekitar satu tahun ke depan Presiden Jokowi akan betul-betul memperhatikan pesan yang dibewarakan Bu Mega tersebut. (PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

 

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 6 Juli 2024Naning Kartini (Guru Ngaji SDN Ciawigede Majalaya) Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *