7 July 2024 00:32
Opini dan Kolom Menulis

IMPOR BERAS : KEBUTUHAN ATAU PELENGKAP ?

IMPOR BERAS : KEBUTUHAN ATAU PELENGKAP ?

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Ada pertanyaan penting, mengapa kita harus impor beras ? Secara gampang pertanyaan ini bisa dijawab, karena beras yang dibutuhkan tidak cukup. Produksi beras dalam negeri, hanya mampu mencukupi kebutuhan konsumsi. Sedangkan keperluan untuk cadangan beras Pemerintah dan Bantuan Langsung Beras, tidak ada.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, produksi beras nasional tahun 2023 tercatat sekitar 30,90 juta ton. Konsumsi masyarakat terekam sebesar 700 ribu ton. Angka surplus sebesar ini, sangat tidak mencukupi untuk pengokohan cadangan beras Pemerintah sekitar 1,2 – 1,5 juta ton. Belum lagi untuk Program Bantuan Beras Langsung ke masyarakat yang membutuhkan.

Program Bantuan Pangan Beras sebesar 10 kg/bulan yang diberikan kepada 22 juta keluarga penerima manfaat, kalau dilaksanakan selama 6 bulan, kita butuh beras sekitar 1,32 juta ton. Jadi, kalau mengacu kepada gambaran seperti ini, tidak bisa tidak impor harus ditempuh. Artinya, impor beras tampil menjadi kebutuhan mendesak dan bukan lagi hanya sebagai pelengkap semata.

Masalahnya, dalam situasi pangan dunia yang merisaukan ini, mencari beras impor dari produsen beras dunia, bukanlah hal mudah untuk dilakukan. Kita butuh perjuangan panjang untuk mendapatkannya. Banyak produsen beras dunia yang lebih mengatur diri masing-masing atas kecukupan pangan pokoknya.

Isu krisis pangan global, yang sudah sejak lama dihembuskan Badan Pangan Dunia (FAO), membuat produsen beras dunia seperti Thailand, Vietnam, India, Pakistan, dan lain-lain, mulai berhati-hati melepas beras yang dimilikinya. Mereka pun tentu mesti memikirkan nasib dan kehidupan masyarakatbya, sekiranya terjadi krisis pangan global.

Namun begitu, berkat kegigihan dan kesungguhan Pemerintah untuk memperoleh beras impor, untuk tahun 2024, kita sudah berhasil melakukan penanda-tanganan kontrak impor beras. 2 juta ton beras dari Thailand dan 1 juta ton beras dari India. Angka impor beras 3 juta ton, setidaknya kita nampu menutup kebutuhan jangka pendek yang diperkukan.

Catatan kritis yang perlu percik pernenungan bareng-bareng adalah bagainana ke depannya ? Jujur kita akui, ketergantungan terhadap impor beras, sebaiknya segera kita tinggalkan. Impor beras, tentu masih dapat ditempuh hanya dalam kondisi darurat dan tidak dalam jumlah besar. Menjadi bahaya serius, kalau impor beras dijadikan kebutuhan yang sifatnya permanen.

Dihadapkan pada suasana seperti ini, langkah untuk menggenjot produksi beras setinggi-tingginya menuju swasembada merupakan harga mati yang tidak boleh ditawar-tawar lagi. Pemerintah perlu memberi perhatian khusus dan berani menyenpurnakan Tata Kelola Perberasan Nasional ke arah yang semakin profesionak dan berkualitas lagi.

Menggenjot produksi beras sendiri, tidak cukup hanya dengan menambah politik anggaran belaka. Ada yang tak kalah penting untuk dijadikan komitmen bersama. Salah satunya, perlu ada jaminan dari segenap pemangku kepentingan, yang menyatakan keberpihakan Pemerintah terhadap sektor pertanian, tidak akan pernah kendor. Termasuk kecintaan terhadap para petaninya.

Dalam tahun-tahun terakhir ini, secara politik anggaran, Pemerintah telah memperlihatkan keberpihakannya itu. Setidaknya ada dua hal penting yang pantas kita catat. Pertama adanya dukungan tambahan anggaran sebesar 5,8 trilyun rupiah untuk menggencot produksi padi dan jagung serta bantuan alat mesin pertanian untuk para petani.

Kedua adalah diberikannya dukungan dana Pemerintah untuk menambah jumlah pupuk yang diperlukan petani. Semula hanya sejumlah 4,5 juta ton, kini ditambah jadi 9,5 juta ton. Penambahan kucuran dana sekitar 14 trilyun rupiah ini, tentu disambut gembira para petani, sehingga pengalaman saat musim tanam petani selaku mengeluhkan kelangkaan pupuk bersubsidi, tidak akan terdengar lagi.

Tinggal sekarang, sampai sejauh mana Pemerintah mampu merumuskan model pengendalian lapangan, agar dana sebesar 14 trilyun rupiah ini, benar-benar efektip dan efesien dalam penerapan kebijakan pupuk bersubsidi tersebut. Ini mengajak kepada untuk segera melakukan revitalisasi terhadap Tata Kelola Pupuk Bersubsidi, yang selama ini terkesan masih disodorkan pada beragam persoalan.

Revitalisasi pada intinya memvitalkan kembali yang sudah ada dan tengah berjalan. Revitalisasi juga sering disebut sebagai “giving a new life”. Dalam kaitan ini, penting adanya “darah baru”, baik dari sisi kebijakan, program dan kegiatannya. Itu sebabnya, selain perlu revitalisasi, penting pula ditempuh transformasi dari pengelolaan pupuk bersubsidi itu sendiri.

Mencermati sikap politik anggaran yang dikucurkan Pemerintah terhadap sektor pertanian tanaman pangan diatas, sepantasnya langkah menggenjot produksi beras bukanlah hal yang terlampau sulit untuk diwujudkan. Pengalaman meraih dua kali swasembada beras (1984 dan 2022), perlu dijadikan acuan dasar dalam menggenjot produksi beras yang diharapkan.

Semua ini menarik untuk dicermati, karena kalau saja kita mampu menggenjot produksi beras sesuai dengan yang ditargetkan, boleh jadi kita tidak akan ragu meneriakan kalimat ‘selamat tinggal impor beras”. Justru teriakannya akan bersambung dengan “selamat datang ekspor beras”. Mari lihat kelanjutannya !

 

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 6 Juli 2024Naning Kartini (Guru Ngaji SDN Ciawigede Majalaya) Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *