4 July 2024 10:32
Opini dan Kolom Menulis

HPP dan Kesejahteraan Petani


HPP DAN KESEJAHTERAAN PETANI

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Walaupun banyak yang mengusulkan agar segera dikaji ulang soal ukuran untuk menilai kesejahteraan petani, namun Pemerintah tetap mempertahankan Nilai Tukar Petani (NTP) sebagai satu-satunya ukuran kesejahteraan petani di negeri ini. Nilai Tukar Petani (NTP) sendiri merupakan perbandingan indeks harga yang diterima petani (It) terhadap indeks harga yang dibayar petani (Ib). NTP merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan.

Pertimbangan mereka yang meminta untuk dilakukan kaji ulang soal ukuran kesejahteraan petani, karena NTP menilai terlalu sederhana dalam menyimpulkan kesejahteraan petani. Padahal, saat ini semakin banyak indikator untuk menyatakan petani sejahtera atau tidak. Apakah dalam kurun waktu sekarang, masih cocok menilai kesejahteraan petani hanya dengan membandingkan indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga yang dibayar petani ?

Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) pun seperti yang membuat posisi petani tetap hidup menderita. Dengan menggunakan NTP, kesejahteraan petani seperti yang jalan ditempat dari waktu ke wakrunya. Sekalipun produksi meningkat cukup signifikan, kesejahteraan petani nya tidak beranjak. Selama puluhan tahun NTP padi selalu berada dalam kisaran 97 – 106. Baru beberapa bulan terakhir mampu mencapai angka diatas 110. September 2023, tercatat mencapai angka 114.

Akan tetapi apalah makna NTP dibawah angka 120 ? Beberapa penganat malah menyebut, angka NTP padi itu harusnya mampu diatas angka 130. Jika NTP mampu 130, maka petani betul-betul mendapat untung dari usahatani yang digarapnya. 30 % keuntungan yang diperoleh petani, betul-betul dapat mendongkrak penghasilannya. Terlebih bila mampu meningkat diatas angka tersebut. Itu sebabnya, kalah NTP nya hanya 106, maka petani terekan tidak sejahtera.

Beberapa bulan lalu, harga gabah di tingkat petani melejit hingga menembus Rp. 7000,- per kilogram. Angka sebesar ini jauh melesat diatas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang selama ini dituding “mengekang”” keuntungan petani. Atas hal ini, petani banyak yang mensyukuri kenaikan ini. Bahkan Presiden Jokowi sendiri melihat langsung kegembiraan tersebut. Artinya, apa yang digarap selama ini, benar-benar dihargai dengan nilai ekonomi yang wajar.

Anehnya, tidak semua orang senang dengan apa yang dirasakan oleh para petani di lapangan. Ada pihak-puhak tertentu yang ingin ceoat-cepat menurunkan harga gabah. Ada juga yang ingin mengembalikan harga gabah ke tingkat HPP. Mereka beranggapan jika harga gabah tidak diturunkan, hal ini akan semakin menyulitkan Pemerintah untuk dengan cepat menurynkan harga beras, yang terkesan naik secara ugal-ugalan. Mereka risau akan tingginya angka inflasi.

Seorang sahabat mempertanyakan apakah tepat di tengah kegembiraan petani menikmati kenaikan harga gabah, kita langsung menurunkannya ? Bukankah akan lebih pas, kalau kita menfkaji kembalu penetapan HPP yang berlaku sekarang ? Jangan-jangan HPP nya yang perlu disesuaikan dengan fenonena yang terjadi di tengah kehidupan nyata petani ? Jawaban inilah yang paling dibutuhkan, sehingga kita tidak dituduh sebagai oknum yang tidak senang melihat petani hidup sejahtera dan bahagia.

Sebetulnya, banyak argumen dapat disanpaikan untuk menjawab hubungan antara kegembiraan petani dengan melejitnya kenaikan harga gabah. BPS sendiri merilis, kenaikan harga gabah berkorelasi positip dengan tingkat kesejahteraan petani. Rilis BPS menyebut, disaat harga gabah melejit tunggi, NTP mencapai angka 114. Ini adalah bukti, para petani sangat terbantu dengan kenaikan harga gabah yang tiinggi. NTP sebesar 114 merupakan rekor tertinggi di negeri ini, yang jarang-jarang bisa dicapai. Kita sendiri, perlu nenghargainya.
Jika kita cermati, potret petani padi sekarang, sebagian besar dari mereka mengakhiri usahataninya dalam wujud gabah kering panen (GKP). Jarang sekali petani padi yang mampu mengolah gabah menjadi beras. Dengan bahasa lain, dapat juga dikatakan, petani padi kita, di saat panen berlangsung, akan menjual seluruh hasil panenannya dalam bentuk gabah. Akibatnya wajar, ketika harga gabah terbebas dari kekangan HPP, maka petani banyak yang bersuka-ria.

Bila demikian, siapa sebetulnya pemilik beras yang nanti bakal dijual ke pasar, sekiranya para petani berhenti di gabah ? Jelas, mereka yang memiliki dan menguasai beras adalah par pedagang, bandar, tengkulak, pengusaha penggilingan padi, Perum BULOG dan sejenisnya. Mereka inilah yang meraup nilai tambah ekonomi tertinggi dari agribisnis perberasan itu sendiri. Pertanyaannya adalah apakah ada kehendak untuk menjadikan petani agar pada saat panen, berhenti di beras dalam menikmati hasil panenannya ?

Bila harga gabah dapat bertahan seperti saat ini, petani tidak perlu lagi mengolah dulu gabahnya menjadi beras. Menghindari inflasi tinggal dihitung berapa harga beras yang wajar, jika harga gabahnya diatas Rp. 7000,- per kilogram. Semangat naikan harga gabah dan turunkan harga beras, boleh jadi dapat dijadikan kebijakan teknis. Tidak menutup kemungkinan, kebijakan subsidi pun disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. Adakah keberanian Pemerintah untuk memulainya ?

Suara yang mengharapkan agar subsidi di sisi input seperti yang ditempuh selama ini, digeser menjadi subsidi out put, keluhatannya tidak ada salahnya diterapkan dalam penentuan HPP Gabah dan Beras. Bila sekarang sering digugat soal subsidi benih atau pupuk yang tidak dapat dirasakan manfaatnya oleh petani, barangkali akan lebih baik dialihkan saja subsidinya ke aspek harga. Membeli harga gabah dari petani dengan harga pantas lalu menetapkan harga beras dengan harga yang terjangkau konsumen.

HPP sendiri sepertinya ditetapkan dengan spirit kurang mempertimbangkan pentingnya pencapaian kesejahteraan petani. HPP sepertinya lebih mengarah kepada peredaman angka inflasi agar dapat terkendali yang disebabkan oleh terjadinya gejolak harga beras di pasar. Padahal, kita butuh adanya HPP yang mampu mensejahterakan petani secara nyata dan signifikan.

HPP yang ditetapkan semestinya berbasis pada upaya meningkatnya kesejahteraan petani. Catatan kritis yang dapat dibahas lebih jauh adalah apakah dengan HPP yang sekarang ditetapkan, kesejahteraan petani menjadi semakin meningkat ? Atau tidak, dimana bila ditelaah dari Nilai Tukar Petani padi sendiri, NTP nya seperti yang jalan ditempat ?

Mensejahterakan petani, jelas tidak hanya ditentukan oleh meningkatnya produksi secara signifikan. Produksi yang meningkat hanya akan mensejahterakan petani jika harga jual di tingkat petani benar-benar menguntungkan bagi petani. Ada korelasi yang sangat erat antara produksi yang dihasilkan petani dengan tingkat harga yang terjadi di pasar.

Perlindungan Pemerintah terhadap anjloknya harga di saat musim panen tiba, salah satunya dapat dijawab oleh HPP yang menguntungkan petani. Itu sebabnya, penetapan HPP tidak cukup hanya mengacu kepada perkembangan harga, tapi yang namanya perkembangan pasar pun penting dicernati dengan seksama.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT)

Jangan Sembunyikan Ilmumu

WASILLAH SHUBUHKamis, 4 Juli 2024. BismillahirahmanirahimAssallamu’alsikum wr wbrkt JANGAN SEMBUNYIKAN ILMUMU. Saudaraku…Ketika saya menyampaikan postingan tentang agama, itu tidak berarti

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *