HATI-HATI PRODUKSI BERAS 2025
HATI-HATI PRODUKSI BERAS 2025
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Pertimbangan utama mengapa Pemerintah berani mengumumkan, bangsa kita akan menyetop impor beras mulai tahun 2025, dikarenakan produksi beras secara nasional tahun ini diprediksi akan melimpah ruah. Bahkan menurut keterangan Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi, Indonesia dalam tahun 2025 akan surplus beras sebesar 5 juta ton.
Keputusan Pemerintah menghentikan impor beras mulai tahun 2025 dan optimisnya Kepala Badan Pangan Nasional terkait dengan surplus beras 5 juta ton diatas, tentu tidak dilandasi oleh analisis klenik, namun berdasarkan proyeksi dan prediksi Badan Pusat Statistik (BPS) atas hasil pengkajian dan perhitungannya yang berbasis pada data dan analisa statistik.

BPS memprediksi, produksi beras tahun ini, jauh akan lebih tinggi dibandingkan dengan tahun lalu. Selain itu, BPS juga mencatat cadangan beras Pemerintah sampai akhir tahun 2024 sudah mendekati angka 2 juta ton. Meningkatnya cadangan beras Pemerintah sebesar itu, jelas hal ini merupakan prestasi yang menggembirakan, terlepas dari mana kita memperoleh beras tersebut.
Catatan kritisnya adalah apakah Pemerintah telah mengaitkan proyeksi BPS itu dengan kemungkinan terburuk akan datangnya “tamu tak diundang” seperti halnya El Nino yang menyergap dunia pertanian tiga tahun yang lalu ? Iklim ekstrim dan cuaca buruk, jelas tidak bisa dipetakan menjadi angka-angka statistik. Iklim ekstrim hingga kini masih tampil sebagai misteri kehidupan nyata di lapangan.
Jawaban atas pertanyaan ini, tentu bisa macam-macam, tergantung dari sisi mana kita memandang. Hanya, jika kita amati sergapan El Nino yang membuat bangsa kita mengalami “darurat beras”, boleh jadi Pemerintah perlu lebih waspada dalam menerapkan kebijakan yang diambilnya. Termasuk di dalamnya, pengumuman distopnya impor beras mulai tahun 2025.
Pengumuman penghentian impor beras, sebetulnya bukan hal mendesak dilakukan Pemerintah. Yang lebih penting adalah bagaimana menggenjot produksi beras setinggi-tingginya menuju swasembada. Bagi sebagian besar rakyat, mau impor atau pun tidak, bukan masalah prinsip dalam kehidupannya. Di benak mereka, yang penting bagaimana caranya agar betas dapat tersedia sepsnjang waktu dengan harga yang terjangkau.
Persepsi rakyat yang demikian, boleh jadi berbeda dengan apa yang dipikirkan Pemerintah. Bagi Pemerintah, bila bangsa kita mampu menyetop impor beras, mungkin saja kebijakan ini merupakan prestasi yang membanggakan. Pertanyaannya adalah apakah penghentian impor beras ini dapat ditempuh secara berkelanjutan atau hanya sekedar “on trend” ?
Tanpa pencermatan yang seksama dan hanya mengandalkan kepada angka-angka yang tertera diatas kertas, bisa jadi hasil akhirnya tidak akan utuh, holistik dan komprehensif. Apalagi kalau kebijakan yang ditempuh sifatnya “on trend”. Dalam kalimat lain, bisa juga disebut penghentian impor beras yang “kadang-kadang”. Ya, kadang tidak impor dan kadang juga impor.
Lalu, bagaimana dengan kondisi produksi beras 2025 ? Salah satu gambarannya bisa ditelaah berapa banyak produksi beras yang diprediksi pada awal tahun 2025 ? Adapun berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan adanya kenaikan produksi beras di awal 2025 yang melebihi periode yang sama di 2024. Estimasi produksi beras di Januari 2025 dilaporkan bisa mencapai 1,2 juta ton dan Februari 2025 bisa 2,08 juta ton.
Angka tersebut jika dibandingkan dengan Januari dan Februari 2024 yang ada di angka 0,87 juta ton dan 1,39 juta ton, memperlihatkan adanya surplus sejumlah 1,02 juta ton. Dari itu, perkiraan terjadinya panen raya beras dapat dimulai pada awal Maret sampai Mei mendatang. Hanya patut dicatat, ceritanya akan jadi lain, bila iklim dan cuaca tidak berpihak ke sektor pertanian.
Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana dengan bulan Maret, April, Mei dan seterusnya, apakah produksi beras akan terus menunjukan trend peningkatan ? Apakah pada bulan-bulan mendatang, iklim dan cuaca akan berpihak ke sektor pertanian ? Apa yang terjadi bila bulan Maret – Mei 2025 nanti panen raya bersamaan waktunya dengan musim penghujan ?
Kalau Pemerintah tanggap terhadap apa yang menjadi keinginan dan kebutuhan petani, panen raya di musim hujan, bukanlah soal yang muncul tanpa solusi. Bila petani mengeluhkan gabah kering panennya menjadi basah, karena sinar matahari tak kunjung datang, mestinya Pemerintah sudah siap memfasilitasi petani dengan alat pengering gabah.
Mengapa jika untuk menggenjot produksi, Pemerintah begitu cepat menggelontorkan bantuan Alsintan seperti traktor, namun terkait dengan Alsintan paska panen, Pemerintah seperti yang kesulitan untuk segera menggelindingkan alat pengering gabah misalnya ? Inilah salah satu titik lemah dunia perberasan. Integrasi kebijakan sisi produksi belum satu nafas dengan aspek paska panen dan pasar.
(PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).