5 October 2024 19:27
Opini dan Kolom Menulis

Hari Tani dan Potret Petani Ditanah Merdeka

HARI TANI DAN POTRET PETANI DI TANAH MERDEKA

 

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Kemarin, Hari Tani Nasional yang ke 63, baru saja kita lalui. Banyak harapan yang disampaikan berbagai kalangan. Semua sepakat, peringatan Hari Tani Nasional yang ke 63, benar-benar mampu memberi angin segar bagi perbaikan nasib dan kehidupan kaum tani di Tanah Merdeka ini. Kita ingin hak petani untuk hidup sejahtera, betul-betul segera dapat diwujudkan. Petani sejahtera, bukan lagi sebuah wacana, namun persoalan lahir batin petani bakal terselesaikan dalam kehidupan kesehariannya.

Jujur kita akui, setelah 78 tahun Indonesia Merdeka, yang namanya kaum tani, khususnya para petani gurem dan buruh tani, tampak masih berada dalam suasana hidup yang menyedihkan. Dengan tingkat pendidikan yang relatif rendah dan derajat kesehatan yang buruk, kaum tani hidup penuh dengan derita. Kondisi hidup miskin, susah untuk dirubah. Jebakan lingkaran setan kemiskinan, selalu melekat erat dalam kehidupannya.

Sejak puluhan tahun silam, sebetulnya kita telah mengumandangkan jargon Petani Bangkit Mengubah Nasib. Sampai sekarang, jargon tersebut masih tetap sebatas jargon. Belum menjadi realiras hidup. Kebangkitan Petani masih menjadi cita-cita. Petani hidup sejahtera dan bahagia, sepertinya belum mampu diwujudkan. Yang terjadi, justru kaum tani di negeri ini, hidup sengsara. Petani masih belum mampu menjadi penikmat pembangunan.

Itu sebabnya, dalam memperingati Hari Tani Nasional 2023, ada baiknya kita melakukan perenungan atas potret petani di negara kita. Apakah betul kaum tani Indonesia saat ini masih belum mampu berubah nasib ? Apakah benar para petani masih hidup didera kemiskinan seperti yang selama ini digambarkan banyak pihak ? Dan yang tak kalah pentingnya untuk disampaikan mengapa kita belum mampu merubah nasib dan kehidupannya ?

Lazimnya acara peringatan, kita akan melakukan introspeksi atas apa-apa yang dilakukan selama ini. Begitu pun dengan Hari Tani Nasional sekarang. Saat inilah waktu yang tepat untuk berkaca diri dan menengok ke belakang atas kiprah selama ini. Benarkah kita telah secara serius melakukan pembelaan dan perlindungan terhadap petani ? Betulkah kita telah berjuang habis-habisan untuk meningkatkan harkat dan martabat petani ke arah yang diimpikannya ?

Dari sisi regulasi setingkat Undang Undang, sejak 10 tahun lalu, kita telah melahirkan Undang Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Lucunya, UU ini memang keren di atas kertas, namun tidak bertaji jika sudah dalam tataran pelaksanaannya. Akibatnya wajar, jika yang namanya petani tetap saja terpinggirkan dari panggung pembangunan yang kita lakoni. Petani masih termarginalkan. Bahkan tidak salah bila ada yang menyebut sebagai korban pembangunan.

Yang penting dijadikan percermatan kita bersama adalah semakin terbukanya sikap kaum muda perdesaan terhadap profesi petani, khususnya petani padi. Kaum muda, jelas-jelas tidak tertarik untuk jadi petani. Atas pengalaman dan pengamatannya sendiri, menjadi petani padi saat ini, sama saja dengan menceburkan diri ke dalam lautan kemiskinan. Kalau pun kita bersikukuh agar kaum muda perdesaan berminat lagi jadi petani, maka butuh jaminan, jika berprofesi sebagai petani padi, mereka tidak akan hidup melarat.

Jaminan seperti ini sangat pemting disiapkan dengan matang oleh Pemerintah. Kaum muda, butuh adanya garansi, bila menjadi petani padi, tidak akan lagi hanya dijadikan mesin produksi untuk menghasilkan gabah dan beras, namun nasib dan kehidupannya, tidak dibiarkan terus-menerus menjadi obyek kalangan tertentu. Justru pertanyaannya adalah apakah Pemerintah telah memiliki jaminan yang dimaksudkan itu ? Atau masih belum ?

Kalau UU No. 19/2013 dapat dijalankan dengan murni dan konsekuen, secara regulasi, UU diatas dapat dijadikan salah satu jaminan regulasi untuk mensejahterakan petani beserta keluarganya. Sayang, setelah UU ini diterapkan hampir 10 tahun lamanya, ternyata nasib dan krhidupan kaum tani tetap saja tidak mengalami perubahan yang cukup signifikan. Keluarga petani berlahan sempit, terekam tidak beranjak kehidupannya. Mereka tetap tidak mampu melepas kehidupannya dari suasana hidup miskin.

Sulitnya membebaskan petani dari suasana hidup sengsara, sepertinya sudah dipahami oleh semua pihak. Pemerintah, mestinya tahu persis, apa yang jadi penyebab utamanya, sehingga hal ini bisa terjadi. Ini perlu disampaikan, karena Pemerintah seperti yang kurang sungguh-sungguh dalam membangun petani. Pembangunan petani seolah-olah kalah kharisma oleh pembangunan pertanian. Ini berarti soal petani, khususnya terkait kesejahteraan, masih kalah penting dibanding dengan langkah meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian.

Resiko politiknya wajar, jika Pemerintah seperti yang tidak rela, kalau di lapangan terjadi kenaikan harga gabah yang cukup signifikan dan jelas-jelas meningkatkan pendapatan petani. Akibatnya secara tidak sadar, muncul kehendak politik untuk menurunkan lagi harga gabah. Ini sebetulnya yang kurang senafas dengan semangat meningkatkan kesejahteraan petani. Pemerintah, mestinya tetap menjaga harga gabah pada angka yang tercipta saat ini.

Pertanyaannya apakah harga gabah yang wajar itu berada pada angka Rp. 7000,- per kilogram nya ? Atau harus tetap sesuai Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang terkesan memiskinkan petani ? Ini yang butuh kajian lebih dalam. Kalau Pemerintah ingin meningkatkan pendapatan petani, maka harga gabah di pasaran saat ini, tentu petlu dipertahankan. Lain cerita, kalau Pemerintah tidak berkendak untuk mempercepat terwujudnya peningkatan penghasilan petani padi secara terukur.

Salah satu yang perlu dijadikan semangat Hari Tani Nasional ke 63 adalah sampai sejauh mana Pemerintah mampu menjawan aspirasi petani padi agar harga gabah yang tetjadi sekarang, menjadi salah satu bahan rujukan untuk menentukan HPP baru. Membaca fenomena yang ada saat ini, HPP Gabah dan Beras, memang penting ditinjau ulang. Termasuk di dalamnya soal penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras. Masalahnya, mengapa Pemerintah terkesan lambat menyikapinya ?

Hasrat politik Pemerintah menurunkan harga beras di pasaran, sepertinya mendapat berbagai kendala. Sekalipun Pemerintah telah berupaya keras menurunkan harga beras lewat berbagai langkah dan kebijakan, namun harga beras tetap merangkak naik. Bahkan terkesan naiknya cukup ugal-ugalan. Mestinya, ada pemikiran cerdas, bagaimana menurunkan harga beras, tanpa harus menurunkan harga gabah yang selama ini sudah disyukuri para petani padi.

Akhirnya penting disampaikan, sudah bukan jamannya lagi peringatan Hari Tani diisi lewat kegiatan yang sifatnya seremoni. Kini saat yang pas untuk diisi melalui karya nyata dan karya cerdas di lapangan. Semoga peringatan Hari Tani 2023, benar-benar mampu memberi berkah kehidupan bagi petani dan mulai memupus tragedi kehidupan yang selama ini dirasakan para petani. Dirgahayu Petani Indonesia.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Muhasabah Diri

Semangat SubuhSabtu, 5 oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssalamu’alaikum wrm wbrkt MUHASABAH DIRI Saudaraku,Kadangkala dalam seharian kehidupan kita tak sadar ada tutur kata

Read More »

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN

SOLUSI DIVERSIFIKASI PANGAN OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA Benar yang dikatakan Proklamator Bangsa Bung Karno ketika meletakan batu pertama pembangunan.Gedung Fakultas

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *