4 July 2024 10:33
Opini dan Kolom Menulis

“HARGA MATI” SWASEMBADA BERAS


“HARGA MATI” SWASEMBADA BERAS

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Di penghujung bulan Nopember 2023, dalam acara yang digagas Bank Indonesia, Presiden Jokowi menyatakan betapa susahnya sekarang mencari negara produsen beras dunia yang mau melakukan ekspor beras. Mereka tampak berjaga-jags menyelamatkan kehidupan rakyatnya, ketimbang mengedepankan kepentingan lain. Dampak anomali iklim membuat banyak negara produsen beras, cukup hati-hati dalam menjalankan roda perekonomiannya.

Sebetulnya bukan hanya negara sahabat yang keteteran menghadapi sergapan iklim ekstrim ini. Negara kita pun, tentu saja tidak luput dari sergapan tersebut. Sebagai contoh apa yang dialami dalam empat bulan terakhir. El Nino betul-betul melahirkan bencana serius di sektor pertanian, khususnya komoditas padi. Ketersediaan beras terganggu, karena adanya serangan El Nino yang belum mampu ditangani secara cerdas.

El Nino membuat produksi padi dalam negeri menurun dengan angka yang cukup signifikan. Tidak sedikit petani yang mengeluh karena gagal panen. Hal ini tentu saja membuat produksi berkurang, sehingga harga beras di pasar terekam mengalami kenaikan yang ugal-ugalan. Pemerintah sendiri, seperti yang tak berdaya mengendalikannya. Instrumen kebijakan harga pun susah diterapkan. HPP dan HET beras pun tinggal pajangan.

Penyebab utama naiknya harga beras, dipastikan karena beras di pasar memang tidak tersedia. Produksi yang dihasilkan petani dalam negeri, terbukti tidak mampu memenuhi kebutuhan. Produksi yang dihasilkan, ternyata bukan hanya digunakan untuk keperluan konsumsi masyarakat, namun dalam waktu belakangan ini dibutuhkan pula untuk kebutuhan cadangan beras Pemerintah dan beras bantuan langsung pangan, yang jumlahnya mencapai jutaan ton beras.

Situasi semacam ini, sangat tidak baik didiamkan berlarut-larut atau dibiarkan mengambang terkendali. Dalam tempo yang sesegera mungkin, kita perlu mencarikan jalan keluarnya. Upaya Pemerintah menggenjot produksi setinggi-tingginya, dinilai sebagai solusi yang patut didukung sepenuh hati. Kita jangan terus-terusan menggantungkan diri terhadap impor. Bagaimana pun, impor beras tidak boleh menjadi kebutuhan. Impor beras ditempuh, hanya dalam suasana yang mendesak.

Menghadapi sitiasi seperti ini, salah satu jalan keluarnya, bangsa ini kembali harus mampu mewujudkan swasembada beras. Dalam kalimat agitasinya, swasembada beras adalah “harga mati”. Siapa pun yang dipercaya dan diberi amanah rakyat untuk menakhkodai bangsa dan negara tercinta, tidak boleh melupakan perlu nya swasembada beras dalam merancang kebijakan dan program pembangunannya.

Pencapaian swasembada beras bagi bangsa kita bukanlah hal baru dalam peta bumi pembangunan nasional. Kita sudah dua kali meraihnya dan mendapat piagam penghargaan internasional. Penghargaan yang diterima, jelas bukan diberikan oleh lembaga yang acak adut, namun bangsa ini menerima penghargaan dari Badan Pangan Dunia (FAO) dan Lembaga Riset Dunia yang mengkhususkan perhatian terhadap tananan padi (IRRI).

FAO DAN IRRI merupakan lembaga pangan kelas dunia yang keberadaannya diakui secara internasional. Ke dua lembaga tersebut, tidak mungkin dapat dibeli atau disogok oleh siapa dan negara mana pun di dunia ini. Oleh karenanya, penghargaan yang kita terima, betul-betul merupakan prestasi membanggakan yang diraih para petani dalam negeri. Mereka pantas disebut sebagai pahlawan pangan.

Pengalaman meraih swasembada beras selama dua kali (1984 dan 2022), seharusnya mampu menjadi kekuatan dan modal dasar untuk menggapai kembali swasembada beras di masa-masa mendatang. Hanya penting jadi catatan, bahkan harus menjadi komitmen bersama, swasembada beras yang akan kita raih ke depan, mestilah swasembada beras yang berkelanjutan, bukan swasembada beras yang sifatnya “on trend”.

Langkah menggapai swasembada beras saat ini, jelas lebih rumit ketimbang peraihan waktu-waktu dulu. Selain sekarang kita disodorkan kepada anomali iklim yang sangat ekstrim, ternyata kita pun dihadapkan pada berlangsungnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang semakin tidak terkendali. Alih fungsi di lapangan terlihat semakin membabi-buta dan menyusutkan lahan sawah yang dimiliki.

Resikonya, pasti produksi padi akan berkurang, apalagi jika kita tidak kreatif dan inovatif dalam menggenjot produksi setinggi-tingginya. Menyusutnya “ruang pertanian”, khususnya lahan sawah, tampaknya perlu dijadikan perhatian serius Pemerintah dalam mengelola proses pembangunan pertanian ke depan. Aturan yang melindungi lahan sawah, mesti diterapkan secara sungguh-sungguh. Tanpa langkah ini, bisa jadi yang namanya sawah hanya tinggal kenangan indah belaka

Banyak langkah yang digarap Pemerintah untuk menggenjot produksi padi selama ini. Selain meningkatkan produktivitas per hektar, Pemerintah juga menerapkan perluasan areal tanam dan percepatan musim tanam. Sebagai contoh, Pemerintah kini sedang berupaya untuk “menyulap” lahan rawa sekitar 400 ribu hektar menjadi sawah. Menteri Pertanian sendiri merasa optimis lahan rawa yang tersedia, jika digarap dengan serius, bisa tampil menjadi lumbung beras masa depan.

Keseriusan langkah ini, dibuktikan oleh Menteri Pertanian yang langsung bicara dengan Duta Besar Thailand untuk Indonesia belum lama ini. Ke dua negara sepakat untuk saling berbagi ilmu pengetahuan dan teknologi, terkait dengan optimalisasi keberadaan lahan rawa (rawa gambut, rawa lebak, rawa pasang surut) dalam mendukung peningkatan produksi padi. Kolaborasi penting ditingkatkan sehingga mampu memberi hasil terbaik bagi ke dua negara.

Akan tetapi patut dijadikan bahan diskusi, upaya menggenjot produksi tanpa penataan di sisi konsumsi, maka apa yang kita tempuh selama ini, tidak akan memberi hasil yang optimal. Apalah artinya produksi yang meningkat, jika konsumsi masyarakat terhadap nasi tetap tidak menurun, sebagai dampak tekanan jumlah penduduk yang semakin membengkak jumlahnya. Penanganan sisi konsumsi pun sudah waktunya digarap lebih sungguh-sungguh.

Harga mati swasembada beras, mestinya merasuk kuat dalam nurani setiap penentu kebijakan pembangunan pertanian di negeri ini. Mereka harus tahu persis posisi beras dalam peta bumi pembangunan pertanian. Kita juga berharap agar politik anggaran untuk pencapaian swasembada beras, jangan sampai dibatasi. Sekali saja keliru menerapkan snggaran, jangan sampai menyesal di kemudian hari.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Jangan Sembunyikan Ilmumu

WASILLAH SHUBUHKamis, 4 Juli 2024. BismillahirahmanirahimAssallamu’alsikum wr wbrkt JANGAN SEMBUNYIKAN ILMUMU. Saudaraku…Ketika saya menyampaikan postingan tentang agama, itu tidak berarti

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *