7 October 2024 11:27
Opini dan Kolom Menulis

“HARGA MATI” PENINGKATAN PRODUKSI BERAS

“HARGA MATI” PENINGKATAN PRODUKSI BERAS

OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA

Bagi bangsa kita, peningkatan produksi beras merupakan “harga mati” yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Itu sebabnya, siapa pun yang diberi amanah untuk menakhkodai bangsa dan negara ini, jangan pernah sekalipun bermain-main dengan dunia perberasan. Sekali saja kita keliru memilih kebijakan, maka bisa berakhir dengan malapetaka kehidupan.

Di tahun-tahun terakhir Pemerintahan Presiden Jokowi, bangsa ini dihadapkan pada kondisi “darurat beras” yang cukup merisaukan, karena produksi beras petani padi dalam negeri melorot dengan angka cukup signifikan. Turunnya produksi beras otomatis ketersediaan beras Pemerintah jadi terganggu. Kontan saja Pemerintah pun seperti yang “kebakaran jenggot:

Turunnya produksi beras, apa pun penyebabnya, mestinya tidak boleh terjadi, bagi sebuah bangsa, yang telah menetapkan beras sebagai komoditas politis. Apalagi bangsa kita sudah tercatat sebagai bangsa yang mampu meraih swasembada beras. Namun begitu, kita juga memahami, swasembada beras yang kita capai, memang sifatnya “on trend”, bukan swasembada beras berkelanjutan.

Swasembada beras “on trend”, bisa juga disebut kadang swasembada, kadang juga tidak. Artinya wajar, jika baru saja Indonesia dapat Piagam Penghargaan berkelas.dunia atas kisah sukses meningkatkan produksi dan produktivitas, ternyata beberapa bulan kemudian, kembali bangsa kita menempuh impor beras dengan angka cukup besar.

Begitulah swasembada beras versi Indonesia. Catatan kritisnya, mengapa Pemerintah tidak secepatnya menyiapkan diri agar kita menjadikan swasembada beras bangsa Indonesia adalah swasembada beras permanen ? Apa sebetulnya yang ditunggu-tunggu oleh Pemerintah, sehingga swasembada berss permanen ini, terkesan tidak didukung oleh kebijakan yang ditempuhnya ?

Swasembada beras, apakah yang sifatnya “on trend” atau berkelanjutan, hanya akan terwujud, sekiranya kita mampu meningkatkan produksi dan produktivitas hasil pertanian padi setinggi-tingginya. Tanpa menggenjot produksi, omong kosong swasembada beras bakal tercapai. Hampir tidak ada sebuah negeri dikatakan swasembada beras, sekiranya negeri tersebut masih melakukan impor beras.

Hanya penting diingatkan, tidak mungkin problem perberasan akan tuntas, jika kita hanya menanganinya lewat penanganan sisi produksi. Akan lebih afdol, bila kita menangani pula sisi konsumsinya. Produksi beras yang meningkat, tidak akan menyelesaikan masalah bila laju konsumsi masyarakat terhadap beras tidak ditangani dengan sungguh-sungguh.

Pemerintah sendiri, kelihatannya tidak begitu serius menangani sisi konsumsi. Sebut saja soal program penganekaragaman pangan. Sekalipun program meragamkan pola makan masyarakat agar tidak tergantung kepada satu jenis bahan pangan karbo yakni nasi, telah digarap sekitar 60 tahun lalu, tapi hasilnya belum sesuai dengan yang diharapkan.

Bahkan ada kesan, Pemerintah hanya sekedar menggugurkan kewajiban saja dalam menggarap program diversifikasi pangan ini. Pemerintah terekam lebih serius menggenjot produksi setinggi-tingginya. Seorang sahabat malah menyebut, Pemerintah lebih menganak-emaskan penanganan sisi produksi dan menganak-tirikan penanganan sisi konsumsinya.

Buktinya, secara komulatif, dukungan anggaran Pemerintah untuk menggenjot produksi, jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran untuk meragamkan pola makan. Pertanyaan kritisnya adalah ada apa sebetulnya dengan program penganekaragaman pangan di negeri ini ? Apakah merubah pola makan masyarakat dianggap sebagai program yang sia-sia ?

Tentu kita ingat, beberapa tahun lalu, ada yang disebut dengan program “one day no rice”. Satu hari tidak makan nasi. Program ini sempat jadi unggulan program diversifikasi pangan. Sayang, program ini hanya efektif beberapa bulan saja. Setelahnya kembali masyarakat makan nasi lagi setiap hari. One day no rice, kini hanya tinggal kenangan belaka.

Saat ini ramai dikampanyekan program B2SA (Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman). Secara teori, program B2SA, hampir tidak jauh beda dengan program 4 sehat 5 sempurna. Intinya, bagaimana masyarakat dapat mengkonsumsi makanan yang sehat dan bergizi. Program B2SA sendiri, kini sepertinya kalah pamor oleh program menggenjot produksi.

Titik lemah lain dari upaya meragamkan pola makan masyarakat, juga terkendala oleh banyaknya kebijakan dan program Pemerintah yang sifatnya tojai’ah. Contoh Program Raskin atau Rastra. Di satu sisi, kita ingin mengajak masyarakat untuk mengurangi konsumsi nasi, namun di sisi lain Pemerintah “memaksa” masyarakat mengkonsumsi nasi melalui Program Raskin atau Rastra.

Kalau Pemerintah serius ingin mewujudkan diversifikasi pangan, maka program yang ditempuh harusnya Program Pangkin (Pangan untuk Masyarakat Miskin). Artinya, masyarakat yang kesehariannya mengkonsumsi sagu sebagai makanan pokoknya, maka berilah mereka sagu, jangan beras. Hal yang sama, bagi mereka yang menjadikan jagung atau umbi-umbian sebagai makanan pokoknya.

Anehnya, pemikiran seperti ini, kurang mendapat perhatian dari Pemerintah, sehingga program yang sifatnya tojai’ah pun terus berjalan. Termasuk ditetapkannya Program Bantuan Langsung Beras kepada 22 juta rumah tangga penerima manfaat, sebesar 10 kg beras per bulan selama 12 bulan.

(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).

Untuk Anak-anakku

BERBAGI NASIHAT SHUBUHSenin, 7 Oktober 2024 BismillahirahmanirahimAssallamu’alaikum wrm wbrkt Saudaraku…Ada baiknya tulisan ini dikirim kepada anak2 kita (In-syaa-ALLAH baik untuk

Read More »

“LIANG COCOPET”

“LIANG COCOPET” OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA “Liang Cocopet” adalah ungkapan umum dalam kehidupan masyarakat. Tatar Sunda, yang intinya menggambarkan tempat

Read More »

Tanda Terimanya Sebuah Amal

MUHASABAH AKHIR PEKANMinggu, 6 Oktober 2024 TANDA DITERIMANYA SUATU AMAL BismillahirrahmanirrahiimAssalamu’alaikum wr wbrkt… Saudaraku,Perlulah kita ketahui bahwa tanda diterimanya suatu amalan adalah apabila

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *