HAMBATAN REGENERASI PETANI PADI
OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Anggapan profesi petani padi semakin ditinggalkan oleh anak muda perdesaan, sebetulnya bukan hal baru dalam kehidupan. Sejak 45 tahun lalu, gejala seperti ini telah menguak dalam kehidupan nyata di masyarakat perdesaan. Saat itu pun, telah banyak kaum muda perdesaan yang eksidus meninggalkan kampung halamannya, guna mengadu nasib di kita-kota besar. Sebagian besar dari mereka berpandangan, menjadi petani padi, sangat susah membebaskan diri dari kemiskinan yang mendera kehidupannya.
Menjadi petani padi, apalagi dengan lahan garapan yang terbatas, sulit bagi mereka yang memilih jalan hidup sebagai petani padi, bakalan hidup sejahtera. Dengan pendapatan yang terbatas, dibarengi dengan pengekangan harga gabah dan beras yang diatur lewat Harga Pembelian Pemerintah Gabah dan Beras, mereka susah untuk berubah nasib. Sekalipun mereka mampu menggenjot produksi secara signifikan, namun dengan lemahnya “bargaining posision” dalam menjual hasil produksinya, membuat mereka tidak berdaya menghadapinya.
Akibatnya wajar, bila Badan Pusat Statistik (BPS) pun memberi data kepada kita, terkait hubungan antara peningkatan produksi padi dengan tingkat kesejahteraan petani padinya. Naiknya produksi padi yang cukup signifikan, ternyata tidak berkorelasi positip dengan tingkat kesejahteraan petani. Produksi padi memang meningkat, namun kesejahteraan petaninya seperti yang tidak beranjak alias jalan ditempat. Atas gambaran yang seperti ini logis jika ada pihak yang mempertanyakan : ada apa sebetulnya dengan dunia pertanian tanaman padi ?
Terlalu banyak misteri yang hingga kini belum tertuntaskan sehubungan dengan dunia pergabahan dan perberasan di negeri ini. Salah satu pertanyaan besar yang butuh jawaban cerdas adalah mengapa Pemerintah seolah-olah membiarkan para petani padi kita berujung di gabah dalam melaksanakan usahatani padinya ? Mengapa tidak berjuang keras agar para petani dapat menjual hasil produksi akhirnya dalam bentuk beras ? Bukankah nilai tambah ekonomi dari benih menjadi beras akan lebih tinggi dibanding dari benih menjadi gabah ?
Jujur kita akui, sebagian besar petani padi, mengakhiri usahataninya di gabah. Petani seperti tidak memiliki kemampuan untuk menjual hasil panenannya dalam bentuk beras. Selama mereka hanya mampu menjual hasil panen dalam bentul gabah, maka sangat sulit bagi mereka untuk berubah nasib. Dengan harga gabah yang dipatok HPP mana mungkin mereka akan memperoleh nilai tambah ekonomi maksimal, karena keuntungan ekonomi terbesar dalam agribisnis perberasan, jika kita mampu mengusahakan dari benih menjadi beras.
Sekiranya, ada kemauan politik beserta tidakan politik Pemerintah untuk menggeser petani gabah ke arah petani beras, boleh jadi penghasilan mereka akan berubah. Tinggal dipikirkan, langkah seperti apa yang sebaiknya digarap Pemerintah ? Yang paling masuk akal adalah dengan mengoptimalkan keberadaan Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) sebagai kelembagaan petani yang profesional. Lembaga inilah yang perlu tampil sebagai “prime mover” menggeser petani gabah menjadi petani beras.
Selama petani padi berujung di gabah, selama itu pula, kaum muda tidak akan ada yang mau menjadi petani. Akan tetapi, ceritanya akan menjadi lain, kalau petani padi mampu menjual hasil panenannya dalam bentuk beras. Kondisi ini menjadi semakin menggairahkan para petani padi, ketika harga beras yang terjadi di pasar, jauh diatas angka HPP dan HET. Sayang, saat ini para petani padi belum merasakan nikmatnya harga beras yang dikesankan naik ugal-ugalan. Untung harga gabah pun terbawa naik, sehingga sedikit banyak petani pun menikmati kondisi yang ada.
Kaum muda perdesaan, dijamin halal akan tertarik kembali menjadi petani padi, manakala profesi petani padi, benar-benar mampu memenuhi harapan yang diimpikannya. Siapa pun orangnya, bagaimana pun tata kehidupannya, dan dari mana pun dirinya berasal, selama pekerjaan petani padi mampu menjadikan kehidupannya sejahtera, maka akan banyak kaum muda yang berprofesi sebagai petani padi. Tapi, kalau kondisi petani seperti sekarang, dinana mereka hanya sekedar menyambung nyawa kehidupan, maka kita akan kesulitan mengajak mereka menjadi petani padi.
Profesi petani padi, sebenarnya merupakan bidang pekerjaan yang cukup mulia dan memberi berkah bagi kehidupan sesama anak bangsa. Mereka inilah yang ikhlas bercocok-tanam padi untuk memberi makan kita semua. Terik matahari, lebih-lebih di saat El Nino menyergap, betapa panasnya menyinari kehidupan. Para petani di sawah pun sulit menghindari sengatan panasnya matahari. Hanya untuk membangun harapan agar sanak familinya dapat menyambung kehidupan saja, mereka mau melakoninya.
Terlepas dari fenomena semakin sulitnya anak muda perdesaan yang mau menjadi petani padi, salah satu tugas penting Pemerintah adalah membangun suasana agar kaum muda perdesaan ada yang mau lagi berkiprah menjadi petani padi. Sudah saatnya dibangun kondisi tinggal di desa pun bakal mampu hidup sejahtera. Catatan kritisnya adalah apakah mungkin. Kaum muda perdesaan akan merasakan hidup sejahtera jika tidak ada upaya nyata membangun perdesaan yang mampu menjadi daya tarik untuk mengajak kaum muda perdesaan, membangun kampung halanannya ?
Naiknya harga gabah dan harga beras, sebaiknya dijadikan dasar berpikir bahwa HPP Gabah dan Beras, juga HET Beras perlu dikaji ulang lagi. Ada apa sebetulnya dengan dunia pergabahan dan dunia perberasan di negara kita, sehingga harga gabah dan beras merangkak naik secara signifikan. Suasana ini, tentu saja banyak pihak yang kebakaran jenggot. Beberapa penentu kebijakan tampak sibuk mencari jalan bagaimana caranya menurunkan lagi harga beras ke harga yang wajar. Padahal, perlu juga dibahas, bagaimana dengan kondisi HPP dan HET itu sendiri.
Ketidak-berdayaan Pemerintah mengendalikan harga gabah dan harga beras jauh diatas HPP dan HET, mengindikasikan Pemerintah terkesan lambat dalam menangkap gejala yang sedang terjadi di pasar. Gaya-gaya lama untuk menurunkan harga beras seperti menyelenggarakan operasi pasar beras murah di banyak daerah, rupanya sudah tidak ampuh lagi. Harga beras tetap tinggi dan susah diturunkan. Begitu pun dengan mengguyur pasar oleh beras impor. Lebih sedih lagi, permintaan Presiden Jokowi untuk melahirkan harga beras wajar, hingga kini belum dapat terwujud.
Yang tidak habis pikir, ternyata ketika harga gabah melejit hingga di atas abgka Rp. 7000,- per kilogramnya, ada pihak-puhak tertentu yang segera ingin menurunkannya, karena harga gabah yang tinggi mereka kesulitan untuk menurunkan harga beras. Padahal, bagi para petani, naiknya harga gabah dengan angka yang cukup signifikan, merupakan berkah kehidupan yang ditunggu-tunggu. Selama ini, dengan harga gabah seperti yang diatur HPP, terasa benar bagaimana susahnya para petani padi menjalani kehidupan. Petani seolah-olah terjebak dalam suasana hidup miskin.
Regenerasi petani padi, akan berjalan mulus, seandainya profesi petani padi, betul-betul menjanjikan bagi mereka yang menggelutinya. Kaum muda perdesaan, bahkan bisa saja kaum muda perkotaan pun akan berlomba-lomba jadi petani padi, jika dan hanya jika, penghasilan yang diperoleh jadi petani padi, mampu menghantarkan nasib dan kehidupannya ke arah yang lebih sejahtera dan bahagia. Namun, persoalannya akan terbalik, ketika berprofesi sebagai petani padi, hanya sekedar menambah jumlah antrian kemiskinan.
Akhirnya penting dicatat. Regenerasi petani padi adalah kebutuhan mendesak yang tidak boleh ditunda-tunda lagi. Berbagai hal yang telah dibeberkan diatas, diharapkan mampu mengajak kepada semua pihak untuk mencarikan jalan keluar terbaiknya. Pemerintah segera mencari kebijakan yang betul-betul mampu menjadikan petani padi sebagai profesi yang bergengsi dan mampu memberi keuntungan maksimal bagi yang berkiprah di dalamnya. Ke arah sanalah sebaiknya kita bergerak.
(PENULIS, KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT).