7 July 2024 00:55
Opini dan Kolom Menulis

FANTASI DIGITAL

FANTASI DIGITAL

Oleh Eka Rosmawati
(Guru SMPN 3 Soreang)

Semua manusia pada masa serta zamannya, sesuai kodrat kemungkinan mempunyai angan-angan sendiri tentang kehidupan masa depannya. Banyak anak yang ketika kecil berkhayal jadi dokter lalu bermain dokter-dokteran dengan mengadakan sarana boneka, alat suntik bohongan yang diambil dari bekas alat yang mirip bentuknya. Bisa juga objek yang hendak disuntiknya merupakan benda hidup, tak terkecuali manusia; dalam hal ini temannya sendiri.
Ada pula yang mencontek jadi guru mungkin terobsesi oleh kekagumannya terhadap cara mengajar guru di sekolah; lalu si anak bermain bu guru bu guruan dengan gaya menirukan guru asli yang dilihat sesuai pengalaman kehidupannya. Apa pun itu, berkhayal atau berfantasi memang menjadi bagian dari diri manusia bersama perkembangan otaknya. Bagi seorang anak, apalagi berkhayal positif sesuai contoh yang dikemukakan di atas. tentunya dapat membawa dampak positif ke arah semangat untuk menggapainya dengan cara berusaha belajar lebih giat, melakukan praktik pembelajaran di sekolah dari hasil mempelajari, mengamati, meniru, bertanya, berdiskusi hingga akhirnya mencoba dan memiliki keterampilan sendiri. Sebagaimana kita ketahui bahwa di dalam kegiatan belajar-mengajar ada praktik bedah tubuh hewan, praktik solat, simulasi menjadi aneka tokoh dalam permainan drama sebagai bagian dari pembelajaran Bahasa Indonesia. Semua itu erat hubungannya dengan penyaluran fantasi otak anak didik.

Terkait dengan daya fantasi anak, suatu kali saya menemukan di tiktok bahwa anak didik saya yang baru kelas tujuh muncul dalam gambar digital bersama perempuan fantasinya yang juga masih duduk di kelas tujuh, lengkap dengan dua anak hasil foto imajinasi. Gambar tersebut terlihat menunjukkan adanya keharmonisan, cinta kasih, kesungguhan dalam membina hubungan.
Menyaksikan fenomena itu terbersit dalam pikiran saya, betapa beda daya fantasi anak zaman dahulu dengan anak sekarang. Saya juga mengingat-ingat apakah dahulu semasa kelas satu SMP saya sudah berkhayal tentang kehidupan berumah tangga selengkap itu.Yang lebih mengernyitkan dahi saya, manakala bertemu dengan anak laki-laki tersebut dan ditanyakan soal gambar digital keluarga itu, dia mengiyakan dengan tersenyum yakin tanpa malu-malu.Itulah salah satu fenomena kekinian tentang perkembangan pola pikir anak yang saya temukan akhir-akhir ini. Apalagi kalau dimunculkan satu per satu berita tentang anak yang terkadang sudah jauh di luar kelaziman perkembangan usianya, saya rasa memang ada keterkaitan dengan masalah sosial, global, kebebasan pers, dan kemajuan dunia digital itu sendiri.
Positif dan negatifnya bisa kita nilai sendiri-sendiri. Hanya tak ada salahnya sebagai orangtua, sebagai guru, sebagai manusia yang bertanggung jawab terhadap kebaikan moral generasi bangsa, kita tetap mengawasi, tetap menyempatkan diri menyelipkan petuah atau amanat, bisa dalam beragam bentuk, dalam beragam model, atau dalam kemasan-kemasan menarik yang membuat anak bisa belajar membedakan mana yang boleh mana yang tidak, mana yang pantas dilakukan, mana yang tidak. Begitulah jika bukan oleh kita sebagai orangtua dan pendidik, atau oleh para pakar dalam kondisi formal, oleh siapa lagi. Kebablasan dimulai oleh kebiasaan longgar.

Banjaran, 25 Desember 2023

 

Berita Duka

Innalilahiwainailaihirojiun Telah Berpulang ke Rahmatullah pada 6 Juli 2024Naning Kartini (Guru Ngaji SDN Ciawigede Majalaya) Semoga almarhum diampuni dosanya dan

Read More »

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *